KIsah Musso : Radikal Kiri Si Bocah Alim

Musso berasal dari keluarga berada buat ukuran zamannya. Lahir dengan nama Munawar Muso pada 1897, ia tumbuh di Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Musso bersama Sidik, adiknya, hidup berkecukupan. Ayahnya, Mas Martoredjo, pegawai kantoran pada bank di Kecamatan Wates, tak jauh dari rumah. Ibunya bekerja di rumah, mengelola kebun kelapa dan kebun mangga.
 
Di desa terpencil itu, Musso tumbuh bersama dua teman karib: Ronodihardjo dan seorang lagi yang belakangan dikenal sebagai Kiai Kemendung. Mereka bocah alim yang rajin ke Musala Ar-Rahman milik Ki Demang Telo, ayah Ronodihardjo. Ki Demang Telo ketat menjaga ibadah mereka. Ia tinggal hanya 50 meter dari rumah orang tua Musso. "Ke mana-mana selalu bersama," kata Agus Pitono, 47 tahun, cucu Ronodihardjo, yang memperoleh cerita dari kakeknya.
 
Menurut Agus, Musso dan Ronodihardjo mengendarai sepeda motor kebo-merek Ural buatan Soviet. Masuk akal, karena orang tua mereka cukup kaya. Orang tua Ronodihardjo memiliki sepertiga tanah di Desa Jagung. Adapun keluarga Musso menguasai banyak tanah, termasuk di beberapa desa lain. Luas tanah di sekeliling rumah orang tua Musso saja tiga hektare. Di sana berdiri satu bangunan rumah dan ratusan pohon kelapa.
 
Agus mengatakan ibu dan neneknya menggambarkan Musso sebagai orang yang pintar berorganisasi. Perkawanan Musso, Ronodihardjo, dan Kiai Kemendung putus ketika Musso melanjutkan sekolah ke kota pada usia 16 tahun. Ronodihardjo mewarisi jabatan ayahnya, demang. Sedangkan Kiai Kemendung mendirikan pondok pesantren di Dusun Kemendung, Desa Jagung. Itulah sebabnya masyarakat menyebut dia Kiai Kemendung.
 
Tiap kali Musso menjenguk orang tuanya, tiga bersahabat itu selalu berkumpul. Hanya, belakangan Kiai Kemendung jarang bergabung karena sibuk di pondok. "Tinggal Kakek dan Mbah Musso. Seperti saudara kandung," kata Agus.
 
Kini sepetak tanah kosong di Desa Jagung menjadi saksi bisu lahirnya Musso, pentolan Partai Komunis Indonesia. Rumah besar gaya priayi Jawa yang dulu berdiri megah di situ tak ada bekasnya. Rumah itu sudah dibongkar puluhan tahun lalu. Hanya rerumputan dan perdu yang tumbuh. Tanah itu kini milik Erny, 55 tahun. Ia bukan kerabat Musso.
 
Erny membeli tanah ini dari Sidik. Rumah dan tanah sekitar tiga hektare milik orang tua Musso belakangan menjadi milik Sidik. Pada 1970-an, Sidik memecah tanah jadi sembilan petak dan menjualnya. Saat itu harga tanah Rp 50 ribu per ru-satuan luas setara 1 x 14,5 meter. "Mbah Sidik pindah ke dekat penjara Mojoroto," kata Erny, tiga pekan lalu. Mojoroto adalah kecamatan dalam wilayah Kota Kediri. Tapi jejak Sidik tak ditemukan.
 
Sekitar 200 meter dari rumah itu, Nyatin, 80 tahun, yang pernah menjadi pembantu rumah tangga orang tua Musso, membuka warung kopi. Tapi Nyatin tak mau dikorek banyak soal keluarga Musso. Ia pernah didatangi orang yang mengaku intelijen. Itulah sebabnya Nyatin memilih mengubur dalam-dalam kisah kedekatannya dengan keluarga Musso. "Saya takut," kata dia, tiga pekan lalu.
 
Menurut Ruth T. McVey dalam The Rise of Indonesian Communism, yang diterbitkan Cornell University Press, Ithaca, New York, pada 1965, Musso menempuh sekolah guru di Batavia atau Jakarta. Di sekolah ini, ia bertemu dengan Alimin, yang kelak juga menjadi pentolan gerakan kiri Indonesia. Musso adalah anak didik pertama G.A.J. Hazeu, penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan bumiputra. Hazeu pula yang mengangkat Alimin sebagai anak. Hazeu pertama kali berjumpa dengan Alimin sebagai bocah gembel di alun-alun Solo. Hazeu memberi dia beberapa keping uang dan Alimin langsung membagi rata kepada temannya. Hazeu terkesima oleh Alimin kecil yang punya bibit sosialisme.
 
Di sekolah itu, Musso berguru pada seorang reformis politis etis, D. Van Hinloopen Labberton, yang juga Ketua Theosofische Vereeniging di Batavia. Madjallah Merdeka terbitan Oktober 1948 seperti dikutip McVey menyebutkan, setelah tamat pendidikan guru di Batavia, Musso kuliah di kampus pertanian di Buitenzorg atau Bogor. Kampus ini cikal-bakal Institut Pertanian Bogor.
 
Versi lain menyatakan Musso bersekolah di Hogere Burger School. Soemarsono, pemimpin militer gerakan Madiun 1948, menyebutkan Musso dua tingkat lebih senior dibanding Sukarno, yang masuk HBS Surabaya pada 1915. Di Surabaya, Musso kos di rumah tokoh pergerakan Tjokroaminoto. HBS adalah sekolah lanjutan menengah untuk orang Belanda, Eropa, atau elite pribumi.
 
Sekolah ini berpengantar bahasa Belanda dan ditempuh lima tahun. Bekas gedung HBS Surabaya kini adalah Kantor Pos Besar Kebonrojo, sekitar 300 meter dari rumah Tjokroaminoto di Peneleh. Arnold C. Brackman dalam Indonesian Communism terbitan 1963 mengatakan Musso bekerja sebagai kasir kantor pos Surabaya. Di sini, Musso berhasil mengorganisasi buruh kantor pos. "Musso juga punya reputasi sebagai jagoan jalanan Surabaya," kata Brackman.
 
Buku H.O.S. Tjokroaminoto, Hidup dan Perdjuangannja, terbitan Partai Sarekat Islam, yang dikutip McVey, menyebutkan rumah Tjokroaminoto tempat penting bertemunya secara pribadi pemimpin pergerakan. Asrama ini dikelola Suharsikin, istri Tjokroaminoto, pada 1913-1921. Di sini, Musso, Alimin, dan Sukarno berguru pada Tjokroaminoto. Ketika Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam pada 1912, Musso juga aktif di pergerakan itu. Rumah Tjokroaminoto menjadi pusat kegiatan Sarekat Islam.
 
Di rumah Tjokroaminoto ini, Musso bertemu dengan Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet, yang suka pada ide-ide sosial demokrat revolusioner. Sneevliet datang ke Hindia Belanda (Indonesia) pada 1913. Ia menetap di Surabaya selama dua bulan dan menjadi Pemimpin Redaksi Handelsblad. Selama di Surabaya, Sneevliet kerap berdiskusi dengan murid-murid Tjokroaminoto, termasuk Musso. Musso bersama Alimin, Semaoen, Darsono, Mas Marco Kartodikromo, dan Haji Misbach menjadi kader Sneevliet. Setahun kemudian, Sneevliet mendirikan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV), yang berhaluan Marxisme.
 
Sneevliet pula yang memasukkan gagasan sosialis dalam tubuh Sarekat Islam melalui Musso-Alimin dan lainnya. Sneevliet jeli melihat Sarekat Islam sebagai organisasi rakyat yang memiliki basis massa besar. Itu sebabnya Sneevliet masuk dan menanamkan pengaruhnya dengan membangun blok merah di Sarekat Islam. Apalagi Sneevliet adalah orang yang berani menyuarakan gagasan "Hindia Belanda Merdeka"-gagasan yang revolusioner untuk masa itu ketika Belanda kuat menancapkan imperialisme.
 
Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan mewawancarai Darsono, kawan pribadi Musso, pada 1964. Menurut Darsono, Musso adalah orang yang senang amuk-amukan karena ikut gerakan Sarekat Islam Afdeling-B. Sarekat Islam Afdeling-B atau Seksi B atau Sarekat Islam B adalah suatu cabang revolusioner. Gerakan ini didirikan oleh Sosrokardono pada 1917 di Cimareme, Garut, Jawa Barat.
 
Menurut sejarawan Ricklefs, selain menangkap Sosrokardono, Belanda menangkap Musso dan Alimin. Mereka adalah orang ISDV yang disusupkan ke Sarekat Islam. Selama di penjara, Musso mendapat perlakuan buruk. Meski begitu, sikap revolusioner dia tak langsung tampak setelah bebas dari penjara. Menurut Soe Hok Gie, perlakuan menyakitkan itulah yang membuat Musso makin benci kepada Belanda. Di penjara ini pula Musso intens bertemu dengan kawan-kawan komunis. "Di sana, Musso mendapat political lesson tentang komunisme secara intensif," kata Soe Hok Gie.
 
McVey menyatakan Van Hinloopen Labberton berencana menjadikan Musso asisten mengajar di Jepang. Tapi pemerintah Jepang menyatakan Musso tak memenuhi syarat. Ia dianggap tak mampu mengajarkan bahasa Indonesia menggunakan pengantar bahasa Inggris. Padahal Musso menguasai dua bahasa ini dengan baik. McVey curiga itu lebih karena faktor Musso yang beraliran politik radikal. Apalagi dia pernah dipenjara.

Segera setelah penolakan Jepang itu, Musso mengumumkan berdirinya Partai Komunis Indonesia cabang Batavia. Semaoen mendirikan Perserikatan Komunis Hindia yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia pada 1920. Musso dan Alimin bergabung dengan Partai Komunis Indonesia pada 1923.

Comments

Popular Posts