Kisah Musso : Kaum Merah dari Bawah Tanah
Suatu siang April 1935. Siti Larang Djojopanatas, aktivis perempuan progresif di Surabaya, diminta menemui seorang tamu rahasia di Hotel Simpang, hotel terkenal di kota itu. Penghubungnya bernama Pamudji, pemimpin koran Indonesia Berdjoeang.
Siti Larang bergegas berangkat. Ketika itu, baru setahun berlalu setelah Siti kehilangan suaminya, Sosrokardono. Sosro adalah tokoh PKI senior yang dipenjara pemerintah kolonial Belanda pada 1919 dengan tuduhan menggerakkan pemberontakan Sarekat Islam di Afdeling-B di sekitar Garut, Jawa Barat. Dua tokoh PKI, Musso dan Alimin, ketika itu juga dibui dengan dakwaan yang sama.
Tak disangka-sangka, tamu rahasia yang menunggu Siti adalah Musso. Pemimpin PKI yang lari ke Moskow, Rusia, pascapemberontakan 1926 itu ternyata diam-diam sudah menyusup masuk ke Indonesia.
Siti Larang adalah salah satu orang pertama yang dicari Musso sekembalinya ke Tanah Air. Selain dekat dengan suaminya, Sosrokardono, Musso sudah mengenal Siti sejak bersama-sama menumpang hidup di rumah Ketua Sarekat Islam H.O.S. Tjokroaminoto.
"Saya perlu dicarikan rumah kontrakan untuk beberapa bulan," kata Musso, begitu mereka bersua, seperti dikutip dari catatan obituari saat Siti meninggal September 1998. Dalam pertemuan itu, Musso banyak bercerita soal ancaman kekuatan fasisme di Eropa dan Asia. Perkembangan baru ini tentu menuntut strategi baru kaum komunis.
Di Moskow, angin perubahan memang tengah berembus. Pada awal 1935, Georgi Dimitrov terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Komunis Internasional. Dialah yang berperan mengubah taktik perjuangan kaum komunis. Dari semula berkeras memerangi imperialis, mereka kini mulai mengulurkan tangan kepada golongan kapitalis dan borjuis nasional.
Tak hanya itu. Dimitrov juga mengeluarkan instruksi agar anggota-anggota Komintern di wilayah jajahan mulai bekerja sama dengan penguasa kolonialnya untuk menghambat gerak maju kaum fasis. Soe Hok Gie dalam bukunya, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, menyebut Musso sebagai agen Komintern yang mendapat mandat untuk menjelaskan garis baru itu di Indonesia.
Pada pertemuannya dengan Siti Larang, Musso mengaku akan segera "mendirikan front demokrasi antifasis di sejumlah kota". Tampak jelas Musso ingin memanfaatkan perubahan taktik perlawanan Komintern untuk membangkitkan kembali PKI di Indonesia.
Langkah pertama Musso ketika itu adalah mempublikasikan Garis Dimitrov di sejumlah surat kabar lokal. Koran Indonesia Berdjoeang, yang dipimpin Pamudji, termasuk yang getol memuat artikel Musso. "Dia menulis tiga artikel soal ini," kata Sumaun Oetomo, Ketua Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru.
Karena itulah Pamudji dipercaya Musso menjadi salah satu pemimpin Komite Sentral PKI baru. Musso juga merekrut Azis, Sukajat, dan Djoko Soedjono. Mereka berlima menjadi ujung tombak upaya aktivis komunis mengkonsolidasikan kembali kekuatannya. "Fokus Musso ketika itu adalah Surabaya dan Solo, Jawa Tengah," kata Hersri Setiawan, mantan Ketua Lekra Jawa Tengah.
Selama enam bulan-sumber lain menyebut satu tahun-di Indonesia, Musso aktif berkeliling dan memberikan ceramah. "Tapi semuanya dilakukan secara rahasia," kata Sumaun. Kuatnya jejaring dinas intelijen Belanda, Politieke Inlichtingen Dienst, membuat gerak-gerik kaum kiri di Tanah Air saat itu amat sempit. Tak sedikit aktivis komunis yang ditangkap sebelum sempat melakukan apa pun. Pamudji bahkan dihukum mati.
Dalam kondisi terjepit itu, Musso berhasil menarik Amir Sjarifoeddin dan Tan Ling Djie masuk PKI. "Musso dikenalkan pada Amir melalui anggota Perhimpunan Indonesia yang kiri," kata Sumaun. Lapis pertama kader Musso di Surabaya ini juga berhasil melantik puluhan pemuda, termasuk Sudisman dan Soemarsono, menjadi kader merah.
Mereka inilah yang kemudian berperan besar dalam aksi-aksi sabotase anti Jepang pada periode 1942-1945. Namun, sesuai dengan instruksi Musso saat itu, semua aksi mereka dilakukan tanpa bendera palu-arit. "Itulah kesalahan strategi besar PKI: terlambat muncul dari bawah tanah," kata pentolan Pemuda Sosialis Indonesia, Soemarsono.
sumber : Tempointeraktif
Comments