Nasib Warisan Fotografer 'Kiblik'

Madiun, suatu sore di awal Desember 1948. Musso telah terbunuh. Mereka yang dituduh PKI dibabat habis oleh tentara. Bekas perdana menteri Amir Syarifudin, yang ditangkap batalion Kemal Idris, dari interniran Kudus akan dipindahkan ke penjara Yogya.

Foto itu bertarikh Madiun 4 Desember 1948. Amir Syarifudin duduk dalam bangku kereta api. Di tangannya terkulai sebuah buku. Sikap duduknya seolah tenggelam khidmat. Maka, kita menyaksikan sebuah sejarah yang tersibak dari sebuah suasana hati. Apa yang dirasakan Amir Syarifudin saat itu? Adakah ia ingin menenangkan diri sebelum maut menjemputnya dengan membaca kisah cinta?

Soe Hok Gie pernah menulis, PM Amir Syarifudin selama perjalanan dalam kereta api Madiun-Yogya tampak tenang membaca buku Romeo dan Juliet karya William Shakespeare. Padahal, dia tahu, di Yogya eksekusi menantinya. Salah satu rekaman fotografer Ipphos itu—hingga kini belum jelas siapa pemotretnya—mengingatkan kita pada apa yang dikatakan Soe Hok Gie.

Di Jalan Diponegoro, bekas kedutaan Polandia, Jakarta, foto-foto Ipphos (Indonesia Press Photo Service) dari tahun 1945-1950 dipamerkan kembali oleh Galeri i see. Melalui foto-foto itu, kita juga melihat hukuman mati itu begitu keji. Tumpas kelor.

Di kaki Gunung Lawu, seorang fotografer Ipphos berhasil memotret seorang anggota TNI brigade Kian Santang yang berdiri di atas podium sembari memegang leher kepala anggota PKI dan siap menghunusnya. Di muka podium itu, puluhan rakyat jelata mendongak. Kekuasaan memang cenderung merayakan satu aspek dengan menutupi aspek lain.

Selama ini foto-foto Indonesia masa revolusi yang disajikan Orde Baru ke publik hanya sekitar 200 foto yang termuat dalam buku 30 tahun Indonesia Merdeka. Tentu saja seleksi yang ketat tak akan terelakkan saat itu. Dan tentu saja seleksi itu akhirnya seolah-olah membesarkan peran militer belaka. Sesungguhnya, di tangan Ipphos, sejarah perjuangan Indonesia tidaklah semiskin itu. Didirikan pada 1946 oleh kakak beradik Alex dan Frans Mendur, Yustus dan Frans Umbas, serta dibantu oleh Alex Mamusung, Ipphos adalah lembaga foto independen yang telah menunjukkan, melalui karya-karyanya, bahwa dalam perang, pahlawan tak mesti terdiri dari perwira atau politisi. Bahkan para pelacur yang melucuti persenjataan gurkha di tangsi-tangsi juga pahlawan.

"Semua harus dicatat," kata penyair Chairil Anwar. "Semua harus direkam," mungkin demikian prinsip Mendur bersaudara. Jadilah tak hanya Syahrir, Sukarno, Sudirman, yang tampil dalam rekaman foto mereka, tetapi Indonesia di masa itu juga menunjukkan potret para ibu yang menjual bajunya, sampai petani berkeringat di sawah. Yang dipamerkan Galeri i see adalah sebagian dari kekayaan Ipphos itu. Selebihnya, nasib foto-foto itu memang merana.

Sebanyak 250 ribu klise atau film negatif asli warisan yang disimpan di Kampungmelayu Besar 3, kantor Ipphos sekarang, jauh dari konservasi yang ideal. Padahal, itulah satu-satunya saksi sejarah sosial kita di zaman kemerdekaan. Maklum, kini kita tak lagi memiliki klise asli hasil rekaman fotografer "Kiblik" (Republik) yang selamat. Sebagian foto dan film tahun 1945-1950-an yang dimiliki PFN (dahulu Berita Film Indonesia) dan lembaga berita Antara pada saat Clash II disita Belanda. Abdul Wahab Saleh, kepala foto Antara saat itu, bahkan menyimpan klise atau negatif foto itu dalam tanah. Akibatnya, foto-foto itu rusak karena disimpan terlalu lama di dalam tanah.

Pada awal Orde Baru, koleksi foto Antara juga banyak dibakar oleh seorang intel militer. Itu lantaran beberapa pejabat Antara terlibat PKI. Koleksi Ipphos relatif aman karena Ipphos adalah sebuah lembaga swasta yang tidak bernaung di bawah kementerian penerangan RI. Memang, beberapa kali kantor Ipphos mengalami penggerebekan Belanda. Tapi, karena lembaga ini independen, selalu saja lolos. Namun, selamat dari Belanda bukan berati selamat dari jamur. Harta karun itu kini, oleh keluarga para pendiri Ipphos, disimpan di laci empat lemari besi bantuan Ali Sadikin dan dua lemari kayu. Suasana perawatan kumuh. Dan terlihat manajemennya yang kurang rapi.

ilakan buka laci. Anda akan melihat ratusan amplop berwarna cokelat muda dalam kondisi sudah begitu tua dan rapuh. Banyak gigir amplop yang retas. Di setiap amplop itulah mereka menyimpan puluhan negatif yang disimpan tanpa pembatas. Semua negatif ditumpuk jadi satu begitu saja hingga lengket satu sama lainnya. "Sekarang negatif foto ini banyak jamuran," tutur Rudy Yan Umbas. Putra Justus Umbas ini mengakui bahwa perawatan itu seadanya.

"Mungkin sekitar 30 persen negatif foto yang rusak," kata Meity Mubagio Mendur, 67 tahun, anak Frans Mendur, sang Direktur Ipphos, dengan jujur. Menurt survei yang dilakukan Galeri Foto Jurnalistik Antara yang dilakukan pada 1997-1998, dari 250 ribu negatif Ipphos dari kurun waktu 1945-1975, ada sekitar 20 persen yang rusak. Untuk warisan sejarah sekelas Ipphos, seharusnya, menurut Direktur i see, Yudhi Soerjoatmodjo, yang juga bertindak sebagai kurator pameran foto ini, foto-foto itu dirawat dengan standar khusus. Fotografer yang pernah mengadakan studi banding di museum-museum konservasi foto Eropa itu merinci bahwa foto-foto tersebut harus disimpan dalam ruang dengan suhu sekitar 10 derajat Celsius dan kelembapan sekitar 40 persen. Sedangkan kelembapan di Indonesia mencapai 90 persen. Menyimpan klise di dalam lemari kayu juga mengundang bencana, karena kayu mengeluarkan gas dan mengundang serangga.

Selain itu, alat pendingin (AC) harus dinyalakan selama 24 jam sehari. Lebih-lebih karena negatif Ipphos dibuat dengan kondisi bahan kimia susah. Saat itu Republik diembargo, sehingga Mendur atau Umbas sering lari ke rumah sakit seperti Bethesda Yogyakarta atau Carolus Jakarta untuk mencari bahan kimia. Bagaimana dengan pendataannya? Menurut Yudhi, untuk memudahkan manajemen, setiap satu negatif mestinya memiliki satu entri data. Lalu mesti dibuat gambar positifnya. Satu untuk publik, satu disimpan.

Fasilitas digital untuk memudahkan dokumentasi dan pelayanan informasi juga adalah wajib hukumnya. Itulah yang tak bisa dipenuhi Ipphos. "AC di ruang penyimpanan langsung saya matikan kalau saya meninggalkan kantor," tutur Meity. Di antara dua buah negatif foto, mereka hanya membubuhkan bedak agar tak lengket. Masalahnya klasik: uang. Pendapatan Ipphos hanya bergantung pada penjualan foto lepas. Itu pun cuma laris kalau pas Agustusan dan, "Juga sedikit dari bunga deposito yang kami miliki," ujar Rudy. Deposito yang dimaksud adalah hasil penjualan kantor Ipphos di Jalan Hayam Wuruk. Setelah dibelikan gedung berlantai tiga di Kampungmelayu itu, bunga sisa uangnya untuk membiayai perawatan negatif.

Menyadari ketidakberdayaannya, para pemilik saham utama, yakni keluarga Mendur dan Umbas, bermaksud menjual semua film negatif Ipphos. Syaratnya, pembeli harus tetap memampangkan nama Ipphos di semua foto. "Itu pesan Bapak," kata Meity. Sudah banyak pihak yang tertarik. Tapi sampai sekarang tak satu pun negosiasi terjadi. Ada dari LSM, yayasan Bulog, pemerintah Belanda, Jepang, Inggris, bahkan perantara Megawati.

Sebelum reformasi, pernah seorang utusan Sekretariat Negara (Sekneg) mendatangi Meity, menawar semua koleksinya seharga Rp 35 juta. "Seharusnya Ibu menyerahkan klise ini untuk negara," kata warga Sekneg itu seperti dituturkan Meity. Jelas Meity marah. Sementara itu, LKBN Antara, di bawah pimpinan Handjojo Nitimihardjo, pada masa sebelum krisis ekonomi semula berencana membeli semua koleksi foto itu Rp 1,5 miliar. Meity sepakat.

Tapi, dalam perkembangannya, setelah Handjojo tak lagi menjadi pemimpin, negosiasi itu tak berkelanjutan. Usaha keras keluarga Mendur dan Umbas untuk melego Ipphos ternyata ditolak Stanley Mamusung, putra Alex Mamusung. Menurut Stanley, Ipphos tidak bisa dijual tanpa izin semua pemilik saham pendiri, termasuk dirinya, yang mewarisi saham bapaknya. Meski saham ayahnya kecil, ia berhak bersuara. Ia menyayangkan jika foto-foto itu jatuh ke pihak lain. Bagi Stanley, sebaiknya Ipphos dikelola orang muda. Menurut dia, Ipphos bisa diserahkan, misalnya, kepada Oscar Ganda, anak Johny Ganda, salah seorang pemegang saham B Ipphos. Saham B, untuk membedakannya dengan saham pendiri, adalah saham yang dimiliki oleh orang-orang yang dulu bekerja lama di Ipphos seperti Oscar Ganda dan Sufri Jayasatna.

Hingga kini nasib Ipphos masih terkatung-katung. Hidup segan, mati tak mau. Meity mengaku, jika Ipphos laku, ia ingin banting setir membuka usaha wisata. Dan, menurut dia, Stanley akan mendapat bagian 10 persen. Yang jelas, calon pembeli yang mengendus "hubungan tak serasi antarpemilik" ini jadi bingung. Sementara itu, di musim hujan begini, kelembapan udara semakin tinggi, dan ribuan film negatif itu sudah "menjerit" minta dilindungi. Sementara pameran foto Ipphos ini dinamakan Tahun-Tahun Mukjizat, agaknya para foto itu harus menantikan mukjizat alam untuk menghentikan jamur yang berbiak. Seno Joko Suyono dan Purwani Diyah Prabandari

Comments

Popular Posts