Atas Nama Kekuasaan dan Seks

Seorang raja mangkat, putra makota-lah penggantinya. Wafatnya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunagoro VIII, pekan lalu, umpamanya, menjadikan Gusti Pangeran Aryo Sujiwo, putra makota, siap dinobatkan sebagai Mangkunagoro IX. Sebab, begitulah tradisi keraton, pengganti raja adalah putra makota, dan dia itu anak permaisuri.

Tak berarti istri-istri raja yang lain, yakni para selir, tak punya peranan. Dalam sejarah raja-raja Jawa, banyak putra selir yang akhirnya mendapat kedudukan penting, meski selir itu datang dari kelas sosial yang lebih rendah. Misalnya, Nyai Karoh, selir Raden Mas Suryaputra (Amangkurat IV) melahirkan Pangeran Arya Mangkunegara. Yang terakhir ini menurunkan Raden Mas Said, yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Samber Nyawa alias Mangkunegara I.

Memang tak tertutup kemungkinan seorang selir menurunkan raja, kata sejarahwan G. Moedjanto, ketika memberikan ceramah di Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Panunggalan Lembaga Javanologi, Yogyakarta, sekitar akhir Agustus lalu. Selir, dalam bahasa Jawa halus disebut garwa ampeyan, seorang wanita yang telah diikat oleh tali kekeluargaan oleh seorang lelaki, tetapi tidak berstatus istri.

Status selir di bawah istri, dan tugasnya membuat laki-laki itu selalu senang. Itu sebabnya, selir juga disebut klangenan (arti harfiah kata ini, kesenangan). Dan kalau lelaki yang punya selir itu belum punya istri yang sah, maka ia tetap saja seorang perjaka. Sudah barang tentu peran selir dan permaisuri berbeda. Permaisuri resmi mendampingi raja sehari-hari dalam urusan kerajaan, sementara para selir hanya melayani kebutuhan raja dalam hal "urusan belakang".

Adapun jumlah selir seorang raja tak ada batasnya. Seorang Hamengku Buwono, menurut Kanjeng Pangeran Haryo Soedarisman Poerwokoesoemo, salah seorang penasihat hukum Keraton Yogya, mempunyai 30 selir. Paku Buwono X, lebih banyak lagi, menyimpan 40 garwo ampeyan.

Moedjanto, dosen IKIP Sanata Dharma, Yogya, tadi lebih melihat perseliran sebagai tindak laku sehubungan dengan politik kekuasaan. Lazimnya, keluarga para selir akan berpihak kepada raja. Ini sebuah dukungan yang tidak kecil bila terjadi krisis di kerajaan -- apalagi bila selir itu anak seorang bupati, biasanya seluruh kabupaten akan berpihak kepada raja. Segi lain dari perseliran, disebutkan oleh Soedarisman, yakni soal seks.

"Sebagai seorang raja, citranya akan menurun bila jajan di sembarang tempat," tuturnya. Dan ada banyak cara untuk menjadi selir. Bisa jadi, seperti Nyai Tumenggung Mardusari, yang langsung diboyong ke Mangkunegaran oleh Mangkunagoro VII. Yang lazim, pada mulanya seorang perawan dititipkan ke keraton untuk menjadi penari bedoyo. Ini sebuah modus agar raja sempat melihat dia. Dan jika raja melirik dan naksir, penari bedoyo itu naik pangkat menjadi peloro-loro.

Bila suatu hari raja memerintahkan punggawanya agar membawa seorang peloro-loro ke kamar, itulah awalnya gadis penari menjadi selir. Keluarga wanita itu akan bangga luar biasa. Bila Islam mengizinkan poligami dengan syarat-syarat tertentu, dalam dunia perseliran pun ternyata ada aturannya. Raja tak bisa seenaknya mengunjungi atau memanggil seorang selir.

Menurut Karkono Kamajaya, seorang pengamat sejarah Jawa, ada punggawa khusus istana yang mengatur jadwal. Para selir harus sabar mendapatkan giliran bercengkerama dengan raja. Raja pun terikat pada jadwal gilir. Rupanya, pemerataan pun mesti dijaga. Tanpa jadwal dan petugas, dikhawatirkan raja hanya memanggil selir yang diingatnya saja.

Paku Buwono X, yang memiliki 40 selir itu, misalnya, bagaimana bisa mengingat semuanya? Bisa dimaklumi, karena selir ini juga manusia normal, yang bisa dirundung rindu, "penyelewengan bukan hal yang mustahil," tutur Karkono.

Skandal seks dalam keraton, konon, bukan cerita aneh. Tahun bertambah, zaman berubah. Raja-raja Jawa di zaman modern tidak lagi mengikuti jejak para leluhurnya. Sultan Hamengku Buwono IX, misalnya, kini hanya punya empat pendamping yang tak dibeda-bedakan statusnya, yang disebut garwo dalem. Menurut Soedarisman, kebijaksanaan HB IX ini sangat demokratis dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sebab, dengan demikian kalau nanti diperlukan pengganti Sultan, Sri Sultan bisa mengangkat salah seorang putranya yang dianggapnya cakap.

Dan memang, menurut Soedarisman, sejak Islam masuk Jawa, perlahan-lahan kerajaan-kerajaan Islam menganut hukum agama Islam pula. Bila masih ada dunia perseliran, tak lagi garwo ampil berjumlah puluhan, cukup, umpamanya Sunan Paku Buwono XII sekarang, enam orang. Bahkan Mangkunagoro VIII hanya punya seorang selir. Uniknya, garwo padmi sendirilah (yang telah wafat pada 1978 lalu) yang menganjurkan dan memilihkan selir itu pada 1965. Umiyarsi, yang kemudian bernama Bandoro Raden Setyowati, nama selir itu, asal Ngadirojo, Wonogiri, daerah asal Nyai Tumenggung Mardusari, selir Mangkunagoro VII yang populer.

Konon, Ngadirojo dulu memang daerah yang wanita-wanitanya dikenal cantik. Bersama pudarnya keraton, pudar pula sejumlah tradisi dan adatnya, termasuk perseliran -- di keraton.

sumber : Tempointeraktif -- 12 September 1987
oleh Putu Setia (Jakarta), I Made Suarjana, & nanik Iamaini (Yogyakarta)

Comments

Popular Posts