Pamoe Rahardjo: "Tentara Sekarang Tidak Berani Kudeta" (bagian 1)

SIANG hari, 16 Oktober 1952, Pamoe Rahardjo kedatangan seorang kawan dari Badan Informasi Staf Angkatan Perang. Ia diminta menggagalkan upaya kudeta yang direncanakan sejumlah tentara terhadap Presiden Sukarno. Caranya adalah dengan mengajak bicara Kol. Dr. Moestopo, salah seorang penggalang massa. Anehnya, yang dilakukan mantan ajudan Bung Karno itu justru membawa Moestopo kepada Presiden, khusus untuk minta izin kudeta. Tindakannya secara tak langsung berhasil menggagalkan upaya perebutan kekuasaan yang kemudian lebih dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober 1952.
 
Ternyata, meredam kudeta bukanlah perkara yang asing bagi Pamoe. Sebagai pendamping Bung Karno selama periode 1946-1948, hidupnya dekat dengan berbagai konflik di seputar pucuk kekuasaan. Enam tahun sebelumnya, ia juga berperan membatalkan kudeta 3 Juli 1946 yang dirancang pihak tentara dan beberapa politisi. Mereka ingin agar Presiden Sukarno mengubah kabinet.
 
Dilahirkan di Blitar, 22 Maret 1925, Pamoe Rahardjo adalah anak keempat dari keluarga Mantri Hutan Yasmin Hastrodijojo dan Amini. Ia mendapat pendidikan MULO di zaman Belanda dan sekolah guru lanjutan di zaman Jepang. Seperti kebanyakan pemuda yang gandrung dengan latihan perang-perangan semasa pendudukan Jepang, Pamoe kemudian mengikuti pendidikan perwira militer Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Ia lulus sebagai shodanco (letnan) pada 1945.
 
Meski ia tak lagi menjadi ajudan presiden semenjak Bung Karno dibuang ke Bangka pada 1948, jiwa perjuangan shodanco ini tak berhenti bergolak. Pada 1957, dialah yang menggalang para pemuda untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang dianggap telah mendanai pelbagai pemberontakan di Tanah Air. Upaya nasionalisasi ini belakangan disesalinya karena aksi tersebut menjurus ke arah penjarahan besar-besaran.
 
Namun, bukan aksi nasionalisasi itu yang membuat karir militernya berakhir dengan tragis. Pada 1960, saat berpangkat letnan kolonel, Pamoe dituduh berencana melakukan kudeta setelah melatih beberapa perwira di Bandung. Padahal, latihan itu dimaksudkan untuk melakukan infiltrasi ke Irian Barat. Kendati demikian, ia sempat diperiksa oleh Oditur Militer. Meski tuduhan itu tidak terbukti, karir militernya tamat sudah.
 
Kini, di usia senjanya, ayah empat anak ini menyibukkan diri sebagai Ketua Umum Yayasan Pembela Tanah Air (Yapeta). Yayasan ini didirikannya pada 1981 untuk menghimpun eks pejuang Peta, yang jumlahnya mencapai 5.500 orang. Tiap hari ia masih menerima tamu di kantor Yapeta di Gedung Proklamasi, gedung yang didirikan di atas tanah milik Bung Karno, orang yang amat dikaguminya.

Pekan lalu, Edy Budiyarso dan fotografer Rully Kesuma dari TEMPO menemuinya untuk sebuah wawancara khusus. Petikannya:


Bagaimana Anda sampai menjadi ajudan Bung Karno pada masa-masa revolusi kemerdekaan 1946-1948?
Di awal 1946, saya sedang bertempur di Surabaya. Suatu waktu, saya dipanggil oleh komandan resimen saya di Kediri dan diberi tahu bahwa saya diminta ke Yogyakarta atas panggilan Presiden Sukarno.
Apa sebelumnya Anda sudah mengenal Bung Karno?
Ya. Saya bertemu pertama kali dengan Bung Karno ketika beliau ke Kediri sebelum ke Blitar mengunjungi ibunya pada Januari 1946. Karena saya punya mobil hasil rampasan Jepang, sayalah yang diminta menjadi sopir untuk mengantar beliau.
Sebagai ajudan Bung Karno pada masa revolusi, tentu Anda banyak mengalami peristiwa penting. Kabarnya, Anda mengetahui peristiwa penculikan Perdana Menteri Sjahrir di Solo pada 1946.
Ya, saya berbicara langsung dengan Letnan I Suwarno, anggota Staf Oemoem 1 Intelijen (SO 1) yang menculik dan akan menembak Sjahrir. Kejadian awalnya begini. Sikap Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang berkompromi dengan Belanda menimbulkan ketidaksenangan di kalangan tentara. Di Markas Besar Tentara SO 1, Kolonel dr. Soetjipto mengumpulkan kompi Combat untuk melakukan briefing. Kolonel Soetjipto kemudian mengeluarkan perintah untuk menangkap Sjahrir. Satu grup kecil pasukan yang dipimpin oleh Mayor A.K. Jusuf lalu dipilih untuk menangkap Sjahrir.
Waktu itu, Sjahrir sedang ada keperluan apa di Solo?
Sekitar Juni 1946, Sutan Sjahrir melakukan inspeksi ke Banyuwangi, Jawa Timur, karena pelabuhan Banyuwangi, yang menjadi tempat pengumpulan beras dari rakyat Indonesia, ditembaki Belanda dari laut. Dari Banyuwangi, dengan menumpang kereta api luar biasa, Sjahrir pergi ke Malang, Kediri, Madiun, dan bermalam di Solo pada 28 Juni 1946.
Pemimpin operasi penculikan kemudian menetapkan bahwa penculikan akan dilakukan di Solo. Ada dua tempat yang akan menjadi tempat menginap Sjahrir, Hotel Merdeka atau Loji Gandrung (rumah Wali Kota Solo). Tapi kemudian Sjahrir memilih tempat di Gedung Bank Indonesia lantai 3 karena ingin beristirahat dengan santai.
Kok, para penculik tahu ada perubahan tempat menginap Sjahrir?
Mereka kan intelijen. Untuk menjaga kemungkinan terjadinya bentrokan dengan pasukan pro-Sjahrir, terutama dari Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), mereka menyiapkan tiga batalyon, di antaranya Batalyon Sastro Lawu yang dipimpin Letkol Suadi.
Bagaimana drama penculikan yang menggemparkan itu berlangsung?
Sekitar pukul 19.30 WIB, regu yang akan menculik Sjahrir bergerak. Grup ini kemudian dibagi menjadi dua kelompok kecil yang mengepung Gedung BI dari depan dan dari belakang. Tidak ada perlawanan ketika penculikan terjadi. Di lantai satu hanya ada seorang laskar Pesindo, yang dengan mudah dilucuti senjatanya. Pintu kamar didobrak. Di bawah sorot lampu senter, Sjahrir, yang mengenakan piama, dengan wajah pucat ketakutan dibawa ke Paras, desa yang menjadi tempat peristirahatan Sunan Pakubuwono.
Bagaimana kelanjutan aksi penculikan itu?
Partai Sosialis yang menjadi mayoritas tunggal di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menuduh orang-orang Tan Malaka ada di belakang aksi penculikan itu. Tan Malaka waktu itu memang sangat menentang politik perundingan dengan Belanda yang dilakukan Sjahrir. Pada malam 29 Juni 1946, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin meminta kepada Bung Karno agar membantu menyelamatkan Sjahrir.
Jadi, Presiden sampai turun tangan membebaskan Sjahrir?
Ya. Pada malam itu juga, sekitar pukul 19.30, Bung Karno berpidato dengan penuh wibawa di RRI Yogyakarta. Dengan suara menggelegar, Bung Karno mengatakan, "Ini presidenmu! Kalau engkau cinta kepada proklamasi dan presidenmu, engkau cinta kepada perjuangan bangsa Indonesia, yang insya Allah de jure akan diakui oleh seluruh dunia. Tidak ada jalan kecuali, hai, pemuda-pemudaku, kembalikanlah Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang engkau tawan di Negara Republik Indonesia yang kita cintai. Sadarlah bahwa perjuangan tidak akan berhasil dengan cara-cara kekerasan."
Ajakan Bung Karno kepada para penculik itu berhasil?
Siaran radio yang berisi pidato Bung Karno itu tertangkap di Desa Paras, Solo. Di sana berkumpul Letnan I Suwarno, anggota SO 1, dan Letnan Kolonel Suadi. Sebenarnya, perintah dari Kepala SO 1 lewat Komandan Operasi Mayor A.K. Jusuf menyebutkan bahwa setibanya di Desa Paras, segera dilaksanakan hukuman revolusi, yaitu menembak Sjahrir atas nama Proklamasi 17 Agustus 1945. Tapi perintah ini belum dilaksanakan karena ada beberapa persiapan.
Sebenarnya, ketika Bung Karno berpidato, Sjahrir sudah dibawa ke luar untuk dieksekusi. Letnan I Suwarno sendiri sudah siap dengan laras vickers parabellum yang diarahkan ke kepala Sjahrir. Tiba-tiba, Letkol Suadi keluar dari rumah dan berteriak agar menghentikan tindakan itu. Ia baru mendengar pidato Bung Karno.
Jadi, Sjahrir selamat dan dibebaskan oleh para penculiknya?
Ya. Pagi dini hari, sekitar pukul 03.30, para penculik Sjahrir sampai di Yogyakarta. Tanpa banyak bicara, mereka menyerahkan Sjahrir kepada saya sebagai ajudan Bung Karno. Setelah mendengar laporan saya, Bung Karno mengucapkan terima kasih kepada para perwira yang telah menyelamatkan Sjahrir sekaligus menunjukkan ketaatan kepada pemimpin. Sjahrir yang bebas dari maut itu masih sempat mengumpat-umpat bahwa yang menculiknya itu orang suruhan NICA.
Beralih ke masalah lain. Anda kan juga menjadi saksi sejarah peristiwa 3 Juli 1946. Bagaimana sebenarnya detail cerita itu?
Peristiwa itu masih berkaitan dengan penculikan Sjahrir. Saya merasakan situasi politik yang genting saat itu, seperti akan terjadi perang saudara. Pemicunya adalah oposisi dari Persatuan Perjuangan (organ gerakan kumpulan lebih 140 partai yang disatukan oleh Tan Malaka di Purwokerto) terhadap Perdana Menteri Sjahrir. Situasi bertambah panas setelah ditangkapnya Tan Malaka oleh pemerintah Sjahrir.
Apa yang dilakukan ajudan presiden dalam situasi genting seperti itu?
Pada 2 Juli, Kapten Koesno Wibowo, anggota Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani), datang ke Gedung Kepresidenan di Yogya untuk melapor bahwa besoknya, pukul 06.00 WIB, para politisi yang dipimpin Panglima Divisi III Jawa Tengah Mayor Jenderal R.P. Soedarsono akan datang ke Istana. Mereka akan menodong Bung Karno untuk memaksa mengganti kabinet Sjahrir.
Langkah apa yang Anda lakukan mendengar laporan gawat itu?
Saya bingung. Akhirnya, saya menghubungi kesatuan saya di Jawa Timur. Saya kontak langsung Panglima Divisi VII Malang, Mayor Jenderal Imam Soedjai, yang sebelumnya sudah saya kenal. Ia langsung mengatakan, "Besok subuh sudah ada satu batalyon di Yogya."
Bagaimana Anda dapat memastikan bahwa Mayor Jenderal Soedarsono itu akan melakukan kudeta?
Pagi hari 3 Juli 1946, terjadi usaha penculikan Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin di Jalan Opak, Yogyakarta, oleh dua truk tentara. Usaha itu gagal karena Amir berhasil lolos. Dan benar, pada pukul 06.00 WIB tepat, datang serombongan tamu ke Istana dipimpin oleh seorang perwira tinggi berpakaian lengkap yang tak lain adalah Mayor Jenderal Soedarsono. Mereka datang dikawal oleh satu peleton tentara liar yang mengambil posisi di belakang tembok pagar pemisah Istana dengan jalan raya.
Rombongan itu saya temui. Mayor Jenderal Soedarsono, yang berbadan tegap dan besar dengan pistol vickers di pinggang dan samurai, dengan geram mengatakan bahwa ia dan pimpinan politik akan menghadap Bung Karno.
Siapa saja rombongan yang dibawanya?
Ada Mr. Moh. Yamin, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Chairul Saleh, Mohammad Saleh, Dr. Buntaran, Mr. Budiarto, dan lain-lain sebanyak 11 orang.
Apakah Anda langsung melakukan penangkapan seperti perintah Kolonel Lubis dari Brani?
Saya laporkan kedatangan mereka kepada Presiden Sukarno, lalu saya kembali menemui para tamu. Saya katakan kepada Soedarsono bahwa Presiden bersedia bertemu tapi dengan syarat tanpa membawa senjata. Kemudian, dia menyerahkan vickers kepada saya. Gantian saya keluarkan FN 38 dan saya katakan, "Sekarang Bapak saya tahan dan ikut saya." Soedarsono saya masukkan ke dalam ruang DPA.
Rombongan 11 orang politisi itu juga digiring ke ruang DPA yang menjadi ruang tahanan. Jadi, gagallah usaha kudeta itu. Masalah ini kemudian ditangani oleh polisi tentara. Mayor Jenderal Soedarsono dipecat dari tentara. Sedangkan para pemimpin politik diajukan ke pengadilan. (Koran Merdeka yang terbit pada periode itu menulis bahwa para pelaku peristiwa Juli diperiksa oleh Mahkamah Agung Tentara.)
Selain dalam kudeta Juli 1946 itu, Anda juga menjadi saksi penting dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, yang sering disebut sebagai "upaya kudeta yang gagal." Bagaimana kejadian yang sebenarnya?
Buntut terlalu jauhnya campur tangan parlemen kepada tentara membuat beberapa faksi di tentara tidak senang kepada DPR, terutama atas tuduhan korupsi terhadap Kementerian Pertahanan dalam pembelian senjata dari Swedia. Kritik itu membuat banyak perwira marah. Maka, direncanakanlah suatu gerakan untuk mendesak Bung Karno agar membubarkan DPR. Urusan penggalangan massa diketuai oleh Kol. Dr. Moestopo, Mayor Kemal Idris, di bawah pimpinan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kol. A.H. Nasution.
Bagaimana kisah di balik kegagalan upaya kudeta itu?
Pada 16 Oktober 1952, saya, yang waktu itu menjadi staf Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, didatangi oleh Mr. Lubis, anggota Badan Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP). Mr. Lubis lalu bercerita bahwa besoknya Bung Karno akan diancam oleh tentara yang tidak senang dengan Bung Karno, bahkan, kalau perlu, ditembak dan dipaksa menyatakan sesuatu.
Yang menjadi komandan gerakan ini adalah Kolonel Dr. Moestopo. Dan yang dianggap bisa membelokkan jalan pikiran Dr. Moestopo hanya Mayor Pamoe Rahardjo. Saya memang kenal baik dengan Dr. Moestopo, kawan seperjuangan dalam perang di Surabaya pada 1945.
Lalu, Anda membujuk Kol. Dr. Moestopo?
Sore, 16 Oktober itu, saya cari Kol. Dr. Moestopo. Ia sedang berpraktek dokter di Menteng. Pada waktu itu sedang banyak pasien. Melihat saya datang, Dr. Moestopo langsung berteriak, berhenti semua. Ia menutup praktek. Dan pasien yang masih menunggu disuruh pulang.
Saya kemudian ikut ke rumahnya di daerah Kebayoran. Saya disuruh mandi kembang, telanjang bareng dengan Moestopo. Dia orang yang percaya mistik. Selesai mandi, saya diajak makan bersama. Dia lalu mengatakan, "Besok kita akan revolusi lagi seperti di Surabaya 1945. Besok pagi akan kita bakar DPR, akan kita bakar juga Istana Negara. Kamu, Pamoe, sebagai bekas anak buah di Surabaya, harus ikut terus dengan saya." Saya jawab, "Siap."
Anda menyetujui Gerakan 17 Oktober 1952 itu?
Saya setuju. Tapi ada syaratnya. Kita (tentara) kan sudah berikrar di Yogyakarta untuk tetap setia kepada Presiden. Karena itu, untuk membakar DPR, kita harus mendapatkan persetujuan dari Presiden. Ia sempat menyela, "La, kok, minta izin kepada Presiden?" Tapi saat itu juga kami pergi ke Istana.
Terpaksa dia ikuti kemauan saya. Sebagai mantan ajudan Bung Karno, saya free pass masuk istana. Sesampai saya di sana, Bung Karno sedang ngobrol dengan banyak orang di teras belakang. Begitu melihat saya, Bung Karno langsung menemui dan mengajak saya ke kamar tidur. Waktu itu, saya bersama Moestopo, dan ia sudah kelihatan pucat.
Saya laporkan kepada Bung Karno bahwa Kolonel Dr. Moestopo akan melaporkan sesuatu. Begitu saya ngomong demikian, Moestopo langsung menghadap ke beranda dan berteriak-teriak, "Aduh biyung, saya diperintahkan oleh KSAD untuk membubarkan parlemen. Sekarang saya malah menghadap Presiden. Bagaimana ini?" Lalu, dia didekati Bung Karno, dan Moestopo langsung mengatakan siap menerima perintah apa saja dari Panglima Tertinggi Presiden Sukarno. Bung Karno kemudian berpesan agar Moes menyelesaikan masalah itu dengan baik demi Republik Indonesia. Setelah itu, kami keluar.
Apa yang kemudian Anda lakukan dengan Kolonel Moestopo untuk menggagalkan rencana kudeta besok paginya?
Saya naik mobil langsung ke Pasarsenen. Saat itu sekitar pukul 20.00. Di sana, Moestopo sudah ditunggu oleh sekitar 500 orang teroris. Moestopo lalu mengatakan, "Ini perintah Presiden dan perintah saya, Komandan Moestopo, agar besok kalian berteriak, 'Hidup Bung Karno.' Jangan macam-macam. Kita harus setia kepada republik ini." Setelah itu, ia mengucapkan hal yang sama di Polonia. Perjalanan dilanjutkan ke Karet dan ke Tanjungpriok. Saya muter-muter sampai pukul 05.00. Lantas, saya pulang, Moestopo pun pulang.
Pagi harinya, Istana sudah didemonstrasi oleh massa dan pasukan dengan tank dan panser?
Iya. Pukul 07.00, saya kembali ke kantor dan situasi sudah ramai. Di Istana juga sudah ada perwira-perwira Angkatan Darat. Ada KSAD Kolonel A.H. Nasution, Suparman (Pahlawan Revolusi), dan Overste Soetoko. Mereka minta kepada Bung Karno agar DPR dibubarkan.
Apa jawaban Bung Karno saat didesak oleh para tentara itu?
Bung Karno bilang, "Bagaimana saya membubarkan DPR? Ini urusan negara. Kamu kan tentara? Saya tidak bisa dipaksa begitu." Kemudian, Bung Karno melihat massa rakyat dan bilang bahwa ia mau minta persetujuan dulu dengan rakyat. Nyatanya, walaupun spanduk mereka bertuliskan bubarkan DPR, massa mengelu-elukan Bung Karno. Setelah itu, Kemal Idris dan kawan-kawan pergi. Moncong meriam berbalik ke selatan. Akibat peristiwa itu, A.H. Nasution mundur sebagai KSAD. Maka, gagallah usaha kudeta itu.
Anda juga terlibat dalam pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda pada 1957. Bagaimana ide awal nasionalisasi perusahaan Belanda?
Pada waktu itu, muncul banyak tindakan subversi, pemberontakan, di daerah-daerah. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kartosuwiryo tidak selesai-selesai. Para pemberontak ini didanai oleh perusahaan-perusahaan Belanda. Sebab, mereka membutuhkan dana yang besar, sedangkan mereka sendiri tidak punya uang.
Bagaimana Anda menggalang kekuatan pemuda untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan itu?
Saya kumpulkan pemuda-pemuda anggota organisasi onderbouw partai politik, dari Pemuda Nasionalis, Pemuda Sosialis, Pemuda Demokrat, Anshor, GPII, Pemuda Rakyat, dan juga para mahasiswa. Mereka berkumpul, tapi dengan syarat tidak boleh membawa bendera partai. Itulah pertama kali pemuda dari kelompok Islam sampai komunis bersatu.
Para pemuda dan mahasiswa berkumpul di Jalan Proklamasi 56. Mereka setuju dengan ide saya untuk mengusir perusahaan Belanda yang mendanai subversi di Indonesia. Saya manfaatkan suasana politik waktu itu yang menginginkan agar Belanda mengembalikan Irian Barat kepada RI.
Kapan Anda mulai melakukan pengambilalihan perusahaan Belanda di Jakarta?
Sasaran pertama kami adalah Gedung Harmoni, tempat kongko-kongko orang Belanda dan Indonesia yang pro-Belanda, yang kami duduki pada 31 Agustus 1957 dan menjadi markas pemuda. Selain itu, di Gedung Harmoni ternyata ada lockers club (perkumpulan tukar-menukar kunci) yang merupakan klub tukar-menukar istri, baik istri orang Belanda maupun orang Indonesia. Karena ini terbongkar, gegerlah Jakarta. Kami sepakat pada 3 Desember 1957 akan bergerak mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda itu.
Kabarnya, pemerintah Djuanda tidak setuju dengan gerakan Anda itu?
Ya. Djuanda kemudian mengutus Menteri Penerangan Chairul Saleh menemui kami, tapi kami jalan terus. Kemudian, saya dijemput dan dihadapkan kepada Chairul Saleh, Soedibyo, A.H. Nasution, dan Dahiyar. Saya katakan, kalau rencana nasionalisasi saya batalkan, persatuan para pemuda pecah dan Belanda masih akan tetap di sini. Chairul Saleh lalu meminta pertimbangan Nasution. Nasution menepuk pundak saya dan mengatakan, "Saya tidak tahu. Terserah kepada Pamoe saja." Maka, saya teruskan rencana itu. Pukul 17.00, saya kembali ke Proklamasi 56, saya teken dokumen untuk pengambilalihan perusahaan Belanda, dan saya sendiri yang langsung memimpin nasionalisasi itu.
Perusahaan apa yang menjadi sasaran pertama Anda?
Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda yang memonopoli pelayaran nasional pada waktu itu, menjadi sasaran pertama. Direkturnya, Dr. De Geus, sudah saya kenal. Kepada De Geus, saya katakan, "Perusahaan ini kami ambil alih. Kami sudah tidak terikat dengan perjanjian KMB, apalagi Belanda mengingkari perjanjian itu. Silakan dokumen ini tanda tangani dan kamu pulang ke negerimu."
Di seluruh Jakarta, pemuda, mahasiswa, buruh, dan tentara juga bergerak. Bank Escompto, percetakan De Unie, perusahaan Philips, dan perusahaan penerbangan Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM) kami ambil alih. Tapi kami tidak memikirkan dampaknya. Seharusnya pengambilalihan itu dilaksanakan oleh sebuah panitia. Akhirnya, nasionalisasi ini jadi berantakan karena semua orang bebas saja mengambil apa saja.
Sebagai orang yang memiliki pengalaman dalam usaha-usaha kudeta yang dilakukan tentara, apa pendapat Anda tentang kemungkinan adanya kudeta oleh militer saat ini?
Saya memperkirakan tentara sekarang tidak berani. Mereka tidak memiliki garis perjuangan sekental pendahulunya. Apa yang ingin dicapai dari kudeta tidak ada. Selain itu, pemimpin tentara sekarang kaya-kaya, sedangkan dahulu jenderal miskin-miskin. Kalau kudeta, mereka takut miskin.
bersambung...

Comments

Popular Posts