GAMELAN DIGUL, BUKTI SEJARAH KESENIAN DI PENJARA

DIGUL, nama yang pernah menjadi demikian menyeramkan bagi banyak orang. Semuanya diawali dari pertemuan luar biasa Dewan Hindia-Belanda (Raad van Nederlandsch-Indie) pada tanggal 18 November 1926, yang memutuskan pendirian sebuah kamp pengasingan bagi penganut komunis yang melakukan pemberontakan pada 12 November 1926 di Jawa.
 
Digul, nama daerah di bagian selatan Pulau Papua, dianggap daerah yang tepat untuk lokasi itu. Lingkungan gersang, tak berpenghuni, terisolasi, adalah daerah yang cocok untuk pengasingan massal. Dan sejak Maret 1927 Digul menjadi "hotel prodeo" yang menyeramkan bagi mereka yang melawan pemerintahan Hindia Belanda kala itu.
 
Pemerintah Hindia-Belanda mengambil kebijakan pengasingan di lokasi yang berada di wilayah jajahannya, setelah gagal melakukan pembuangan Tiga Serangkai, Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo, di negeri Belanda. Tiga serangkai yang melakukan perlawanan politik di Hindia Belanda itu diasingkan ke negara Kincir Angin itu. Tetapi ternyata di sana mereka justru mendapat dukungan parlemen dan memaksa pemerintah Hindia-Belanda mengubah kebijakannya di negeri jajahan mereka.
 
Akhirnya mereka merevisi kebijakan pembuangan itu dengan mengubah lokasinya. Digul dijadikan sebagai lokasi kamp konsentrasi, dan tamu pertamanya adalah 50 interniran yang diduga terkait dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia tahun 1926. Setelah itu, mendengar nama Digul seperti mendengar nama Pulau Buru atau Pulau Nusakambangan pada era setelah kemerdekaan.
 
Seperti itulah Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menceritakan asal muasal penjara Digul yang dibangun pemerintah Hindia-Belanda. Asvi menjadi pembicara dalam peluncuran buku Gamelan Digul Dibalik Sosok Pejuang yang ditulis oleh Margareth J Kartomi, peneliti musik dari Monash University, Australia, di Jakarta, Kamis (24/11) malam. Selain Asvi dan pengarang buku itu, Hersri Setiawan, budayawan yang menjadi penerjemah buku itu juga menjadi pembicara.
 
Berbicara tentang sejarah Digul, Asvi mengatakan pada masa Orde Baru sedikit sekali literatur yang menerangkan tentang hal ini. Namun belakangan ini muncul tulisan-tulisan yang menerangkan tentang sejarah Digul, salah satu diantaranya adalah karya Takashi Shirasi tahun 1996 yang berjudul The Panthom World of Digul. Buku yang dikarang oleh Margareth Kartomi menuangkan sisi lain dari penjara Digul pada zaman keemasannya.
 
Kartomi yang memiliki spesialisasi pada musik, mengisahkan tentang seperangkat gamelan Jawa yang pertama kali dibawa ke Australia sekitar tahun 1943-45 oleh eks Digulis (sebutan untuk mereka yang pernah berdiam di Digul-Red.). Seperangkat gamelan ini ternyata dibuat oleh RM Pontjopangrawit ketika menjalani masa pengasingan di penjara Digul pada tahun 1927 hingga 1932. Dalam bukunya Kartomi bercerita tentang gamelannya, baik perjalanan dari penjara hingga ke Australia maupun tinjauan musiknya, serta tentang sosok Pontjopangrawit si pembuat gamelan.
 
Kartomi mengisahkan asal muasal ia menulis buku tentang gamelan Digul ini. Sekitar tahun 1976 ia yang menjadi pengajar musik di Universitas Monash Australia mendapat telepon dari Museum Victoria, Melbourne, Australia. "Katanya di museum itu ada seperangkat musik yang tidak jelas, kami diminta datang untuk melihat. Setelah itu saya datang melihat dan saya bisa memastikan bahwa seperangkat alat musik itu sejenis gamelan yang biasa digunakan oleh budaya Jawa. Kami pun akhirnya meminta izin kepada museum untuk mengambil alih seperangkat gamelan itu untuk penelitian," ujarnya.
 
Setelah itu Kartomi melakukan penelitian tentang seperangkat gamelan yang aneh itu hingga 20 tahun lamanya. Gamelan Digul yang dibuat oleh Pontjopangrawit terdiri dari 19 instrumen dengan bahan dasar ala kadarnya. Bahan dasar seperangkat gamelan yang biasanya menggunakan logam kuningan diganti dengan menggunakan kaleng-kaleng bekas tempat susu bubuk, kaleng sarden, dan kulit binatang. Sedangkan untuk gong digunakan periuk tanah besar yang ditaruh dalam sebuah kotak kayu. Dalam perkembangannya kaleng-kaleng itu pun sempat diganti dengan rantang-rantang besi yang sudah tidak dipakai lagi oleh opsir-opsir Belanda.
 
Namun menurut Kartomi, nada-nada yang dihasilkan bahan-bahan itu masih bisa memenuhi pakem tangga nada Jawa, dan tidak kalah bagusnya dengan bahan dasar gamelan yang biasa digunakan. Sehingga walaupun pembuatnya meninggalkan penjara itu pada 1932, perangkat gamelan itu tetap dirawat. Bahkan ketika sebagian interniran melarikan diri ke Australia sekitar tahun 1943-45, gamelan itu tidak luput sebagai bawaan mereka.
 
Gamelan itu selalu dimainkan oleh eks Digulis untuk menjamu tamu-tamu di Hotel Melbourne. Setelah proklamasi kemerdekaan, eks Digulis berniat kembali ke Indonesia. Pada tahun 1946 mereka menyerahkan perangkat gamelan itu kepada pengurus Museum Victoria karena mereka kembali ke Indonesia.
 
Sedangkan mengenai sosok Pontjopangrawit, Kartomi menilai sebagai seniman yang brilian serta menjadi aktivis pergerakan. Sebagai aktivis pergerakan pada saat itu Pontjopangrawit sering ikut dalam diskusi-diskusi politik serta hadir dalam rapat-rapat yang diadakan oleh PKI. Ketika meletus pemberontakan pada tahun 1926, Pontjopangrawit ikut ditangkap beserta 13.000 aktivis komunis lainnya, ia pun dibuang ke Digul. Inilah yang menjadi asal muasal keberadaan Gamelan Digul.
 
Sebagai seniman Pontjopangrawit dinilai jenius. Nama Pontjopangrawit diberikan oleh Pakubowono X karena keahliannya berkaitan dengan hal karawitan. Kemudian setelah ia kembali ke Jawa dari pengasingan di Digul ia pun memunculkan genre baru pada saat itu, yang disebut siteran. Hingga menjelang akhir hayatnya nama Pontjopangrawit menjadi legendaris, karena mengajarkan memainkan rebab secara terbalik, memainkan gambang di punggung, dan sebagainya.

Sumber : Suara Pembaruan (25 November 2005)

Comments

Popular Posts