Pamoe Rahardjo: "Tentara Sekarang Tidak Berani Kudeta" (bagian 2)

Siapa saja rombongan yang dibawanya?
Ada Mr. Moh. Yamin, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Chairul Saleh, Mohammad Saleh, Dr. Buntaran, Mr. Budiarto, dan lain-lain sebanyak 11 orang.
Apakah Anda langsung melakukan penangkapan seperti perintah Kolonel Lubis dari Brani?
Saya laporkan kedatangan mereka kepada Presiden Sukarno, lalu saya kembali menemui para tamu. Saya katakan kepada Soedarsono bahwa Presiden bersedia bertemu tapi dengan syarat tanpa membawa senjata. Kemudian, dia menyerahkan vickers kepada saya. Gantian saya keluarkan FN 38 dan saya katakan, "Sekarang Bapak saya tahan dan ikut saya." Soedarsono saya masukkan ke dalam ruang DPA.
Rombongan 11 orang politisi itu juga digiring ke ruang DPA yang menjadi ruang tahanan. Jadi, gagallah usaha kudeta itu. Masalah ini kemudian ditangani oleh polisi tentara. Mayor Jenderal Soedarsono dipecat dari tentara. Sedangkan para pemimpin politik diajukan ke pengadilan. (Koran Merdeka yang terbit pada periode itu menulis bahwa para pelaku peristiwa Juli diperiksa oleh Mahkamah Agung Tentara.)
Selain dalam kudeta Juli 1946 itu, Anda juga menjadi saksi penting dalam Peristiwa 17 Oktober 1952, yang sering disebut sebagai "upaya kudeta yang gagal." Bagaimana kejadian yang sebenarnya?
Buntut terlalu jauhnya campur tangan parlemen kepada tentara membuat beberapa faksi di tentara tidak senang kepada DPR, terutama atas tuduhan korupsi terhadap Kementerian Pertahanan dalam pembelian senjata dari Swedia. Kritik itu membuat banyak perwira marah. Maka, direncanakanlah suatu gerakan untuk mendesak Bung Karno agar membubarkan DPR. Urusan penggalangan massa diketuai oleh Kol. Dr. Moestopo, Mayor Kemal Idris, di bawah pimpinan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kol. A.H. Nasution.
Bagaimana kisah di balik kegagalan upaya kudeta itu?
Pada 16 Oktober 1952, saya, yang waktu itu menjadi staf Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, didatangi oleh Mr. Lubis, anggota Badan Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP). Mr. Lubis lalu bercerita bahwa besoknya Bung Karno akan diancam oleh tentara yang tidak senang dengan Bung Karno, bahkan, kalau perlu, ditembak dan dipaksa menyatakan sesuatu.
Yang menjadi komandan gerakan ini adalah Kolonel Dr. Moestopo. Dan yang dianggap bisa membelokkan jalan pikiran Dr. Moestopo hanya Mayor Pamoe Rahardjo. Saya memang kenal baik dengan Dr. Moestopo, kawan seperjuangan dalam perang di Surabaya pada 1945.
Lalu, Anda membujuk Kol. Dr. Moestopo?
Sore, 16 Oktober itu, saya cari Kol. Dr. Moestopo. Ia sedang berpraktek dokter di Menteng. Pada waktu itu sedang banyak pasien. Melihat saya datang, Dr. Moestopo langsung berteriak, berhenti semua. Ia menutup praktek. Dan pasien yang masih menunggu disuruh pulang.
Saya kemudian ikut ke rumahnya di daerah Kebayoran. Saya disuruh mandi kembang, telanjang bareng dengan Moestopo. Dia orang yang percaya mistik. Selesai mandi, saya diajak makan bersama. Dia lalu mengatakan, "Besok kita akan revolusi lagi seperti di Surabaya 1945. Besok pagi akan kita bakar DPR, akan kita bakar juga Istana Negara. Kamu, Pamoe, sebagai bekas anak buah di Surabaya, harus ikut terus dengan saya." Saya jawab, "Siap."
Anda menyetujui Gerakan 17 Oktober 1952 itu?
Saya setuju. Tapi ada syaratnya. Kita (tentara) kan sudah berikrar di Yogyakarta untuk tetap setia kepada Presiden. Karena itu, untuk membakar DPR, kita harus mendapatkan persetujuan dari Presiden. Ia sempat menyela, "La, kok, minta izin kepada Presiden?" Tapi saat itu juga kami pergi ke Istana.
Terpaksa dia ikuti kemauan saya. Sebagai mantan ajudan Bung Karno, saya free pass masuk istana. Sesampai saya di sana, Bung Karno sedang ngobrol dengan banyak orang di teras belakang. Begitu melihat saya, Bung Karno langsung menemui dan mengajak saya ke kamar tidur. Waktu itu, saya bersama Moestopo, dan ia sudah kelihatan pucat.
Saya laporkan kepada Bung Karno bahwa Kolonel Dr. Moestopo akan melaporkan sesuatu. Begitu saya ngomong demikian, Moestopo langsung menghadap ke beranda dan berteriak-teriak, "Aduh biyung, saya diperintahkan oleh KSAD untuk membubarkan parlemen. Sekarang saya malah menghadap Presiden. Bagaimana ini?" Lalu, dia didekati Bung Karno, dan Moestopo langsung mengatakan siap menerima perintah apa saja dari Panglima Tertinggi Presiden Sukarno. Bung Karno kemudian berpesan agar Moes menyelesaikan masalah itu dengan baik demi Republik Indonesia. Setelah itu, kami keluar.
Apa yang kemudian Anda lakukan dengan Kolonel Moestopo untuk menggagalkan rencana kudeta besok paginya?
Saya naik mobil langsung ke Pasarsenen. Saat itu sekitar pukul 20.00. Di sana, Moestopo sudah ditunggu oleh sekitar 500 orang teroris. Moestopo lalu mengatakan, "Ini perintah Presiden dan perintah saya, Komandan Moestopo, agar besok kalian berteriak, 'Hidup Bung Karno.' Jangan macam-macam. Kita harus setia kepada republik ini." Setelah itu, ia mengucapkan hal yang sama di Polonia. Perjalanan dilanjutkan ke Karet dan ke Tanjungpriok. Saya muter-muter sampai pukul 05.00. Lantas, saya pulang, Moestopo pun pulang.
Pagi harinya, Istana sudah didemonstrasi oleh massa dan pasukan dengan tank dan panser?
Iya. Pukul 07.00, saya kembali ke kantor dan situasi sudah ramai. Di Istana juga sudah ada perwira-perwira Angkatan Darat. Ada KSAD Kolonel A.H. Nasution, Suparman (Pahlawan Revolusi), dan Overste Soetoko. Mereka minta kepada Bung Karno agar DPR dibubarkan.
Apa jawaban Bung Karno saat didesak oleh para tentara itu?
Bung Karno bilang, "Bagaimana saya membubarkan DPR? Ini urusan negara. Kamu kan tentara? Saya tidak bisa dipaksa begitu." Kemudian, Bung Karno melihat massa rakyat dan bilang bahwa ia mau minta persetujuan dulu dengan rakyat. Nyatanya, walaupun spanduk mereka bertuliskan bubarkan DPR, massa mengelu-elukan Bung Karno. Setelah itu, Kemal Idris dan kawan-kawan pergi. Moncong meriam berbalik ke selatan. Akibat peristiwa itu, A.H. Nasution mundur sebagai KSAD. Maka, gagallah usaha kudeta itu.
Anda juga terlibat dalam pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda pada 1957. Bagaimana ide awal nasionalisasi perusahaan Belanda?
Pada waktu itu, muncul banyak tindakan subversi, pemberontakan, di daerah-daerah. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kartosuwiryo tidak selesai-selesai. Para pemberontak ini didanai oleh perusahaan-perusahaan Belanda. Sebab, mereka membutuhkan dana yang besar, sedangkan mereka sendiri tidak punya uang.
Bagaimana Anda menggalang kekuatan pemuda untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan itu?
Saya kumpulkan pemuda-pemuda anggota organisasi onderbouw partai politik, dari Pemuda Nasionalis, Pemuda Sosialis, Pemuda Demokrat, Anshor, GPII, Pemuda Rakyat, dan juga para mahasiswa. Mereka berkumpul, tapi dengan syarat tidak boleh membawa bendera partai. Itulah pertama kali pemuda dari kelompok Islam sampai komunis bersatu.
Para pemuda dan mahasiswa berkumpul di Jalan Proklamasi 56. Mereka setuju dengan ide saya untuk mengusir perusahaan Belanda yang mendanai subversi di Indonesia. Saya manfaatkan suasana politik waktu itu yang menginginkan agar Belanda mengembalikan Irian Barat kepada RI.
Kapan Anda mulai melakukan pengambilalihan perusahaan Belanda di Jakarta?
Sasaran pertama kami adalah Gedung Harmoni, tempat kongko-kongko orang Belanda dan Indonesia yang pro-Belanda, yang kami duduki pada 31 Agustus 1957 dan menjadi markas pemuda. Selain itu, di Gedung Harmoni ternyata ada lockers club (perkumpulan tukar-menukar kunci) yang merupakan klub tukar-menukar istri, baik istri orang Belanda maupun orang Indonesia. Karena ini terbongkar, gegerlah Jakarta. Kami sepakat pada 3 Desember 1957 akan bergerak mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda itu.
Kabarnya, pemerintah Djuanda tidak setuju dengan gerakan Anda itu?
Ya. Djuanda kemudian mengutus Menteri Penerangan Chairul Saleh menemui kami, tapi kami jalan terus. Kemudian, saya dijemput dan dihadapkan kepada Chairul Saleh, Soedibyo, A.H. Nasution, dan Dahiyar. Saya katakan, kalau rencana nasionalisasi saya batalkan, persatuan para pemuda pecah dan Belanda masih akan tetap di sini. Chairul Saleh lalu meminta pertimbangan Nasution. Nasution menepuk pundak saya dan mengatakan, "Saya tidak tahu. Terserah kepada Pamoe saja." Maka, saya teruskan rencana itu. Pukul 17.00, saya kembali ke Proklamasi 56, saya teken dokumen untuk pengambilalihan perusahaan Belanda, dan saya sendiri yang langsung memimpin nasionalisasi itu.
Perusahaan apa yang menjadi sasaran pertama Anda?
Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda yang memonopoli pelayaran nasional pada waktu itu, menjadi sasaran pertama. Direkturnya, Dr. De Geus, sudah saya kenal. Kepada De Geus, saya katakan, "Perusahaan ini kami ambil alih. Kami sudah tidak terikat dengan perjanjian KMB, apalagi Belanda mengingkari perjanjian itu. Silakan dokumen ini tanda tangani dan kamu pulang ke negerimu."
Di seluruh Jakarta, pemuda, mahasiswa, buruh, dan tentara juga bergerak. Bank Escompto, percetakan De Unie, perusahaan Philips, dan perusahaan penerbangan Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM) kami ambil alih. Tapi kami tidak memikirkan dampaknya. Seharusnya pengambilalihan itu dilaksanakan oleh sebuah panitia. Akhirnya, nasionalisasi ini jadi berantakan karena semua orang bebas saja mengambil apa saja.
Sebagai orang yang memiliki pengalaman dalam usaha-usaha kudeta yang dilakukan tentara, apa pendapat Anda tentang kemungkinan adanya kudeta oleh militer saat ini?
Saya memperkirakan tentara sekarang tidak berani. Mereka tidak memiliki garis perjuangan sekental pendahulunya. Apa yang ingin dicapai dari kudeta tidak ada. Selain itu, pemimpin tentara sekarang kaya-kaya, sedangkan dahulu jenderal miskin-miskin. Kalau kudeta, mereka takut miskin.
sumber : majalah Tempo, 24 Januari 2000

Comments

Popular Posts