Kisah Preman Tjap Rante di Jaman Jepang



De gentleman-bandiet oleh Marije Plomp

Imanuel Hutajulu, pria kelahiran 1919 anak petani sederhana di dusun kecil Lagoeboti dekat Danau Toba. Saat berumur 9 tahun ibunya meninggal dunia, umur 15 tahun ayahnya meninggal dunia. Sepanjang masa kanak-kanaknya dia sering berkeliaran di jalan, serta merta untuk mencukupi hidupnya.

Karena tidak punya keluarga lagi setelah ayahnya meninggal, Imanuel pergi ke kota besar, Pematang Siantar. Di sana sepanjang hidupnya selanjutnya sampai dewasa ia menggelandang di jalanan, melakukan berbagai pekerjaan dan pergaulan yang selalu berada pada kendaraan lalu-lintas jalan, mulai jadi kernet truk, berkelahi di jalanan, menjadi preman (bandiet). Karena tubuhnya kekar, sering menang dalam perkelahian, ia seperti diangkat sebagai bos.

Sesuai dengan pergaulan hidup kerakyatan di warung-warung kopi, Imanuel juga terpengaruh oleh pandangan politik kerakyatan. Ia membaca buku yang dipinjamkan kepadanya tentang pemikiran Lenin, Marx, Stalin dan Engels. Tapi juga mengagumi tulisan tentang Napoleon dan Tan Malaka.

Ketika zaman Jepang, tidak ada kendaraan umum bebas seperti semula, Jepang membutuhkan kondektur bis trayek antarkota, Imanuel salah satunya. Zaman Jepang memang zaman rakyat miskin dan kelaparan, termasuk Imanuel dan istrinya. Tapi yang membuat Imanuel geram yaitu banyaknya perempuan Batak dan Jawa yang dipaksa jadi pelacur oleh Jepang. Sudah banyak perlawanan penduduk yang dilakukan memberantas hal ini. Imanuel ingat benar cerita peristiwa di Dusun Kota Tebing. Orang-orang Jepang sangat kejam terhadap penduduk setempat, orang Batak maupun orang Jawa. 

Lambat-laun kebencian terhadap orang Jepang kian membara. Ia pun bergabung dengan orang-orang perlawanan bawah tanah yang memusuhi Jepang, yaitu gerombolan Tjap Rante. Karena pengalamannya jadi bos preman jalanan, Imanuel segera jadi anggota terkemuka di Tjap Rante.

Cerita Imanuel, “Tjap Rante adalah kumpulan pencuri, pengangguran, yang sebelumnya cari makan di sekitar terminal bis Pematang Siantar. Anggotanya tidak didaftar. Salah satu rumah di Jalan Sibolga dijadikan markas, siapa yang mau kerjasama, bergabung atau tidur di sana sudah cukup disebut sebagai anggota. Yang menjadi pengawas di situ Hutasuhud dan wakilnya Malau, lalu aku (Imanuel) ditugasi menjadi bendahara, karena di antara mereka aku salah seorang yang bisa menulis, yang lain buta huruf.

Pekerjaan mereka mencuri, terutama senjata perang milik Jepang. Kami merampok gudang senjata, mencuri ke rumah-rumah orang Jepang, mencegat pengiriman senjata. Kami lakukan secara spontan. Namun setelah senjata terkumpul, ternyata tidak bisa menjualnya, aku bersama Pak Malau di Pematang Siantar menghubungi Urbanus Pardede, pemimpin perlawanan bawah tanah di Sumatra Utara. Dengan pertukaran barang-barang curian kami mendapat pembayaran uang dari situ.

Sebagai bendahara aku membagikan uang itu kepada para anggota. Tidak terlalu makmur, hanya cukup untuk makan. Aku menghidupi keluarga dari situ, sementara juga mencuri barang-barang untuk kebutuhanku sendiri”.

Setelah Jepang menyerah, dan pasukan Belanda menduduki Sumatra Utara, berubahlah wajah perlawanan terhadap musuh. Bagi Hutajulu, hidup sebagai preman sudah menjadi darah dagingnya. Maka apa pun yang bisa mendukung kehidupannya ia lakukan setanja-tanjanya. Tjap Rante terus mengisi kehidupannya, berakhir tahun 1948.

“Selagi zaman perang, kamu hidup sebagaimana zamannya, dan tidak mungkin kamu berdiam diri membiarkan tersiksa menderita, maka apapun perbuatanmu adalah perjuangan pembebasan diri dari penderitaan,” ujar Imanuel Hutajulu (Si Kakek).

Tahun 1955, Imanuel Hutajulu dan istri serta 4 orang anaknya, pulang kembali ke kampung halamannya, Laguboti. Ia mendirikan toko kecil di jalan yang ramai. Dia sukses. Dalam waktu singkat dia mengembangkan usahanya memiliki 4 toko di tengah keramaian Dusun Laguboti. Ia berkecukupan membina keluarganya, dan mengirimkan anak-anaknya ke perguruan tinggi. Sebagai orang mampu, Imanuel juga memasuki politik lokal.

Tahun 1958 Sumatra Utara dilanda konflik antara pemerintah pusat dan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Di sekitar Danau Toba dikuasai oleh Kolonel Maludin Simbolon yang memisahkan diri dari APRI dan bergabung dengan PRRI yang diproklamasikan di Padang, dan dia (Simbolon) menjadi Menteri Dalam Negeri.

Simbolon tumbuh berkembang di sekitar Danau Toba, mempengaruhi dan mengajak orang-orang daerah berjuang bersamanya. Ketika itu Imanuel Hutajulu orang penting di daerahnya. Ia sebagai kepala keluarga yang berada. Ketika terjadi pembakaran dan perusakan toko-toko dan gedung di Laguboti, Imanuel berada di barisan depan mengawasi siapa saja pelakunya. Hampir setiap toko jadi korban, kecuali milik Imanuel. Ia sepertinya menyambut baik peristiwa itu, tapi ia menolak ikut berbuat.

Perjuangan Simbolon berakhir tahun 1961. Tentara nasional mengadakan pembersihan. Imanuel Hutajulu dianggap ikut makar, maka dia ditangkap dan dipenjarakan di Lubuk Pakam, ibu kota Deli Serdang. Setelah 8 bulan dipenjara dia dilepaskan, tanpa ada kejelasan sebabnya dia dipenjara. Mungkin waktu terjadi pembakaran toko oleh pengikut Simbolon ada yang melihat ia berdiri di depan tokonya, dan oleh saksi hal itu dilaporkan kepada tentara nasional yang mengadakan pembersihan.

Imanuel sangat kecewa dengan peristiwa itu. Ia sebenarnya sepanjang umurnya hidup dengan jiwa kerakyatan (komunistis), namun dia ditangkap oleh tentara nasional yang komunistis (Bung Karno dengan Nasakom-nya saat itu dianggap komunistis), dan tidak ada pengusutan yang tuntas ketika dipenjara.

Tahun 2005 kakek umur 86 tahun ini masih suka duduk di bangku depan tokonya di Laguboti, dekat pangkalan ojek, dengan berpakaian seperti preman. Golok panjangnya terselip di pinggang, berulang kali ia bercerita tentang pengalamannya sebagai preman yang bijak,~”gentleman-bandiet”, ~ didengarkan oleh anak-anak serta tukang becak dan ojek.

Meskipun didongengkan berkali-kali, begitu habis diucapkan, maka lenyap pula cerita Si Kakek. Ia tidak menulis kisahnya, meskipun di antara teman sebayanya ia dipilih jadi bendahara karena bisa menulis. Si Kakek hanya pernah bersekolah di Volksschool (sekolah rakyat). Perjuangan hidupnya, suka-dukanya, tuntutan hidupnya, menjadi tertulis dan terbaca, terpelajari dengan jelas oleh generasi anak-cucu-cicitnya, karena ditulis oleh Marije Plomp dalam buku.

Sumber : telaah Suparto Brata atas buku De gentleman-bandiet karangan Marije Plomp (sumber klik). Di link tersebut dapat dibaca kisah-kisah lainnya di antara 7 Bab yang ada.

Buku garapan Marije Plomp yang berjudul De gentleman-bandiet setebal 164 halaman, dibagi sampai Bab VII, cara Marije Plomp menggarap bukunya juga berlandaskan persandingan-persandingan seperti menelusuri kehidupan seseorang pada suatu waktu dan tempat, disandingkan dengan kisah seseorang yang sebaya pada waktu dan tempat yang sama yang ditulis dalam sastra (buku cerita), atau cerita sezaman yang ditulis oleh pengarang cerita.

Dipersandingkan cerita tokoh yang tidak tertulis dengan tokoh sezaman yang tertulis (novel). Bagaimana cara menelusuri riwayat tokoh yang tidak tertulis, Marije Plomp menggunakan berbagai cara, dengan wawancara anak-cucu si tokoh objek, membandingkan dengan berita suratkabar yang tertulis pada zamannya, dengan bukubuku tentang zaman dan daerah itu, foto-foto keluarga atau keadaan zaman yang tertulis (literatur) yang menggambarkan tempat dan waktu ketika sang tokoh objek penelusuran hidup.

Sehingga penelusurannya itu sangat meyakinkan bahwa tokoh itu memang ada, hidup dengan berbagai kesulitan, perjuangan, pengharapan, kekecewaan, nasib malang atau mujurnya.

Karena tugas Marije Plomp di NIOD, maka pada bukunya De gentlemanbandiet, yang ditulis adalah cerita-cerita kehidupan tokoh yang ditelusurinya disandingkan dengan literatur (cerita roman yang ditulis oleh pengarang lain) yang menceritakan kehidupan orang dalam kurun waktu zaman peralihan Nederlands Indonesia 1930-1960.

Marije Plomp lulusan sebuah universitas di belanda dengan jurusan Sastra Melayu Klasik. Dan keberadaan Marije Plomp yang bekerja di NIOD (Nederland Instituut voor Oorlogsdocumentasie - Lembaga Belanda untuk dokumentasi perang) memampukannya mendapatkan sumber-sumber kisah peperangan dulu.

Comments

Popular Posts