Kisah Musso : Bangkit Setelah Mati Suri

Polisi bernama Ahmad dan Sanusi mengetuk pintu rumah Tribudi-bukan nama sebenarnya-di Candi, Semarang, sekitar pukul dua dinihari. "Zus, Zus, cepat bangun. Sekarang juga kita berangkat," kata mereka kepada ibu Tribudi. Sang ibu segera bersiap, dan bersama ketiga anaknya, termasuk Tribudi yang masih bayi merah, segera menuju kapal Kruiser Java di pelabuhan Semarang. Ayah Tribudi dan banyak orang lain telah menunggu di sana.
 
Sekitar dua pekan kemudian, tepatnya 23 Maret 1927, rombongan interniran-orang buangan-ini tiba di Tanah Merah, Boven Digul, Papua. Di sana, menurut Tribudi, mereka dibawa ke barak-barak yang sudah dihuni oleh rombongan interniran gelombang pertama. "Rombongan Pak Ali Archam dan kawan-kawan," tulis pria 84 tahun ini kepada Tempo lewat surat elektronik.
 
Ribuan tokoh dan pendukung Partai Komunis Indonesia dibuang ke Boven Digul akibat pemberontakan yang mereka lakukan pada 1926-1927. Setelah periode bergejolak itu, PKI tercerai-berai. Buku The Rise and Fall of the Communist Party of Indonesia karya Guy J. Pauker menyebutkan, pascapemberontakan, sekitar 13 ribu orang ditangkap, 5.000 ditahan untuk mencegah kembali terjadinya huru-hara, 4.500 dipenjara, dan 1.308 dibuang ke Digul. PKI dinyatakan ilegal pada 1927. Partai pun sekarat. Apalagi, sebelumnya, sudah banyak petingginya yang dibuang, ditahan, atau dipaksa meninggalkan Indonesia.
 
Soe Hok Gie dalam buku Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan menyebutkan Ali Archam dibuang ke Digul pada 1925. Tan Malaka sudah dipaksa pergi tiga tahun sebelumnya. Haji Misbach meninggal pada 1926 setelah dua tahun hidup di pembuangan. Alimin pun telah lari.
 
Belanda berusaha menangkap Musso pada Januari 1926. Tapi ia berhasil lolos ke Singapura, bergabung dengan Alimin, Subakat, Sanusi, dan Winata. Setelah insiden 1926, Musso berlabuh ke Rusia, Semaoen ditugasi ke Tajikistan, dan Alimin mengembara sebagai petugas Komunis Internasional (Komintern) di Cina.
 
PKI memang mati suri, tapi usaha menghidupkannya kembali tetap dilakukan. Dalam tulisan Soetopo Soetanto di buku Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis disebutkan, di Bangkok, Tan Malaka membentuk Partai Republik Indonesia, meski akhirnya gagal.
 
Di Belanda, Semaoen mendatangi Mohammad Hatta, Ketua Perhimpunan Indonesia. PKI dan Perhimpunan membuat konvensi. Isinya antara lain Perhimpunan Indonesia mengambil kepemimpinan dan bertanggung jawab penuh atas gerakan rakyat Indonesia, PKI harus mengakui kepemimpinan Perhimpunan, dan percetakan di bawah PKI harus diserahkan ke Perhimpunan. Tapi, karena tekanan Komintern, konvensi tersebut dibatalkan setahun kemudian, 19 Desember 1927.
 
Pada saat bersamaan, kader PKI seperti Abdulmadjid berusaha merekrut simpatisan, di antaranya Setiadjid, Rustam Effendi, Sidartawan, Maroeto Daroesman, Gondopratomo, dan Jusuf Muda Dalam. Ketika fasisme mulai mengoyak dunia, dan Jerman menduduki Belanda, kaum komunis Indonesia tersebut-bersama aktivis lain-ikut dalam gerakan bawah tanah. Saat itu, Moskow menetapkan kebijakan baru dengan membentuk front yang menyatukan kaum komunis, sosialis, dan borjuis yang dinamai Garis Dimitrov. Mahasiswa komunis Indonesia di Belanda tidak lagi menuntut "kemerdekaan sekarang juga".
 
Di Digul, menurut Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, keadaan juga kacau. Sebagian orang buangan di bawah Gondojuwono bekerja sama dengan Belanda. Yang tetap keras, termasuk Ketua Umum PKI Sardjono, diasingkan ke tempat yang lebih terpencil, ke Gudang Arang, kemudian ke Tanah Tinggi.
 
Pada 1937, ketika berdatangan orang buangan dari grup PKI Muda atau PKI 1935, seperti Hardjono, Djoko Soedjono, dan Achmad Sumadi, warga buangan di Digul mendapat angin baru. Garis baru Komintern: bekerja sama dengan kaum borjuis dan kolonialis untuk melawan fasis serta memperkuat keyakinan kelompok yang menghalalkan kerja sama dengan Belanda. Mereka pun membentuk Komite Antifasis, yang menyatakan setia ke Hindia Belanda, dan bersedia dipersenjatai untuk melawan kekuatan fasis. Namun taktik itu gagal karena pasukan Jepang keburu menjejak pintu gerbang Digul. Para interniran tersebut diangkut ke Australia.
 
Di Negeri Kanguru, mereka membuka kontak dengan Partai Komunis Australia dan membentuk PKI di pengasingan dengan Komite Pusat di Brisbane. Penggeraknya adalah Ngadiman, Djoko Soedjono, dan Sabariman. PKI baru ini juga meminta Sardjono, yang tinggal di Melbourne, membentuk PKI Sibar (Serikat Indonesia Baru). Mereka bekerja sama dengan Belanda.
 
Kelompok yang menentang keputusan Komintern 1935 mendirikan Partai Kebangsaan Indonesia, yang tetap berslogan "Indonesia merdeka sekarang juga". Sedangkan di Jawa, sebelum 1935, tak ada peristiwa luar biasa di tubuh PKI. Aktivis komunis yang tersisa bersembunyi atau bergabung dengan organisasi lain.
 
Ketika Moskow memutuskan kebijakan baru dengan menetapkan Garis Dimitrov, Musso kembali ke Indonesia dan membentuk PKI Muda atau PKI 1935. Pengurusnya adalah Pamudji, Sukajat, Djoko Soedjono, Achmad Sumadi, Sutrisno, Sukindar, dan Soehadi. Tapi kemudian pemimpin PKI Muda juga ditangkapi dan dibuang ke Digul. Pamudji, yang sempat lolos, bergerak di bawah tanah. Sebagian pendukung PKI lain bergabung dengan Gerakan Rakyat Antifasis. Ada juga yang kemudian tergabung dalam Gerindo dan Partai Sosialis Indonesia.
 
Apalagi saat itu sudah ada Garis Dimitrov yang mengizinkan kaum komunis bekerja sama dengan kaum nasionalis dan kolonialis. Banyak orang komunis bekerja sama dengan politikus non-PKI dan Belanda, termasuk Amir Sjarifoeddin. Dalam buku Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis, Soetopo Soetanto menyebutkan Amir menerima tawaran Van der Plas membentuk jaringan bawah tanah untuk melawan Jepang. Ia pun diberi US$ 10 ribu untuk mendanai gerakannya.
 
Mantan Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat-salah satu organisasi di bawah PKI-Jawa Tengah, Hersri Setiawan, membenarkan kisah tersebut. "Karena itulah PKI disebut sebagai PKI Van der Plas," katanya. Karena aktivitas bawah tanahnya, pada 1944, Amir bersama ratusan orang lain, termasuk Pamudji, ditangkap dan dijatuhi hukuman mati oleh Jepang. Namun Amir terselamatkan dengan campur tangan Sukarno-Hatta.
 
PKI mati suri. Baru setelah deklarasi kemerdekaan, para aktivis komunis kembali muncul terang-terangan. Pada 21 Oktober 1945, Mohammad Jusuf menghidupkan kembali PKI. Namun, pada Maret 1946, ia memberontak untuk mendirikan Republik Indonesia Soviet. Menurut Harry Poeze dalam The Cold War in Indonesia, 1948, Panitia Pemberesan (Purgation Committee) kemudian mengumumkan PKI Jusuf bukan penerus PKI 1926.
 
Pada saat bersamaan, para tetua komunis dari negeri seberang pulang ke Tanah Air. Pada Maret 1946, kelompok Digul datang dari Australia, disusul para mahasiswa dari Belanda, yang dikenal sebagai kelompok PKI intelektual, seperti Setiadjid, Abdulmadjid, dan Maroeto Daroesman. Pada Agustus, Alimin juga datang.
 
Tan Malaka telah pulang pada Januari sebelumnya. Ia langsung membentuk Persatuan Perjuangan yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Saat itu, kebanyakan pendatang bersikap moderat. Menurut Hersri, PKI dari sayap Belanda dan Digul membentuk satu kelompok. "Mereka ingin meneruskan garis Partai Komunis Belanda, membentuk commonwealth," katanya.
 
Amir Sjarifoeddin pun tetap menjalankan Garis Dimitrov. Dia kemudian menduduki jabatan perdana menteri, merangkap menteri pertahanan. Namun, ketika muncul kebijakan baru yang dideklarasikan saat pembentukan Communist Information Bureau (Cominform), yakni Garis Zhdanov, pada September 1947, era kompromi dan kerja sama dengan kaum nasionalis dan kolonialis pun putus.

PKI melakukan revisi. Semua kebijakan lama disalahkan, termasuk penandatanganan Perjanjian Renville oleh Amir Sjarifoeddin dan penyerahan kekuasaannya. "Ia sampai diadili teman-temannya sendiri," kata tokoh Pemuda Sosialis Indonesia yang juga salah satu pemimpin insiden Madiun, Soemarsono. Kedatangan Musso pada Agustus 1948 kian mengeraskan PKI. Musso pun memulai kampanye konsep baru, "Jalan Baru untuk Republik Indonesia".

Comments

Popular Posts