Plantungan Pembuangan Tapol Perempuan (bagian 1)

 
 
Dituduh Sebagai Dokter Lubang Buaya
(Catatan Dokter Sumiyarsi)

Oleh: Harsutejo


Rumahku Dijarah

Ketika itu jam 5.00 sore 13 Oktober 1965, kami bertiga dengan anak pertamaku dan sopir pulang. Dari kejauhan nampak adanya hal tidak beres yang menimpa rumah dinas kami di Jalan Kesehatan. Benar juga, rumah kami sedang diobrak-abrik oleh gerombolan. Mereka mengeluarkan perabotan, buku-buku, pakaian dan yang lain, menumpuknya di halaman serta membakarnya, sebagian barang lain dijarah. Api berkobar dan asap menjulang. Penghuni rumah telah kami ungsikan sebelumnya. Kami menyingkir dengan pakaian yang melekat di badan dengan bersyukur karena kami masih selamat, kudengar sudah banyak korban jatuh. Aku menuju ke rumah Prof Suprapto SH, tetangga selisih beberapa rumah, sedang sopir bersama anakku yang mulai kuliah di kedokteran pergi ke asrama Cakrabirawa untuk menitipkan mobil tak jauh dari kompleks. Mereka berdua bagaikan masuk ke sarang macan, tempat itu telah diduduki penguasa militer, mereka berdua ditahan bersama tahanan lain. Atas saran dua orang teman baikku, mereka diminta melarikan diri yang dilakukannya pada pagi buta keesokan harinya tanpa memikirkan tentang mobil. Pengawasan terhadap tapol di situ belum terlalu ketat.

Rumah Pak Prapto pun menjadi incaran, tidak cukup aman juga bagiku. Hal ini kami ketahui dari pembicaraan gerombolan pembakar dan penjarah yang lewat tanpa mengetahui bahwa mereka sedang berada di dekat rumah Pak Prapto, tidak aneh karena mereka berasal dari daerah lain sebagai tenaga sewaan, di antaranya para preman Senen. Ketika itu aku masih menjadi anggota panitia bagian medis dari Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) yang sedang berlangsung di Hotel Indonesia, pembukaannya dilakukan oleh Presiden Sukarno. Aku segera meninggalkan rumah Pak Prapto menuju HI. Panitia memberikan kesempatan padaku menginap di HI selama dua minggu dengan mendapat honor dan perlengkapan sehari-hari. Ketika itu aku juga menjabat Bendahara DPP Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). Selama konferensi aku sempat bertatap muka dengan raja Muang Thai Bhumibol Adulyadej dan Pangeran Akihito dalam hubungan jabatanku sebagai dokter perempuan satu-satunya dalam panitia. Kami tetap bekerja dengan semangat seolah di luar arena tidak terjadi apa-apa yang dapat mengancam. Kami dapat merasakan banyaknya intel yang berseliweran di seputar hotel.

Buron, Rumah Tahanan dan Penjara

Ketika konferensi berakhir maka mulailah petualanganku sebagai buron politik selama satu setengah tahun, kadang-kadang bersama suami menjelajah Jakarta, Semarang, Salatiga, Surabaya, Bandung dan Sukabumi. Ujungnya aku terdampar di rumah tahanan dan penjara Sukabumi, kemudian Bandung, Kebayoran Baru, Pesing, Kalong Gunungsahari, Banteng Selatan, Bukitduri, Plantungan dan penjara Bulu, Semarang. Hampir semua tempat tahanan itu begitu sempitnya, maka ketika kami tidur kami harus miring ke kiri atau kanan berbarengan. Jadi waktu tidur kami seperti mengikuti suatu irama komando kiri, kanan, kami tak lagi dianggap sebagai manusia, tetapi tak lebih dari ikan asin atau balok kayu yang bisa ditumpuk-tumpuk.

Yang dirindukan seorang tahanan adalah pembebasan segera. Tetapi hati kecil dan logika politikku mengatakan bahwa itu tidak mungkin. Aku menetapkan diri untuk menghadapi masa ini dalam batas yang tidak kutahu berapa lama. Teman-teman ada yang membayangkan masa penahanan itu sampai dua tahun, ada yang lima tahun. Wah itu terlalu lama, begitu kami memberikan komentar. Tidak seorang pun yang mengatakan bahwa kami akan ditahan lebih dari sepuluh tahun, barangkali itu terasa seperti kiamat kalau kami bayangkan keadaan sehari-hari dalam tahanan yang begitu sempit, pengap, kurang makan, hampir tidak ada fasilitas pengobatan. Aku pasrah kepada-Nya, berdoa dan memohon kekuatan.

Keadaan kamar tahanan di Pesing, Jakarta itu buruk dan kotor, telah kosong selama enam bulan. Di sampingnya terdapat kamar tahanan kriminal, penghuninya dua orang. Yang seorang bernama Andi Azis, masih muda dan berpenampilan intelek. Yang lain bernama Acong, seperti petinju, keduanya nampak sopan dan ramah. Mereka telah mengenalku dari koran, bahwa seorang tapol wanita, dokter, akan segera menghuni tempat kosong itu. Kami langsung akrab. Pada suatu kali mereka bercerita bahwa Mayor Johan itu tukang todong para tahanan. Sebulan sebelum kedatanganku, tempat tersebut dihuni oleh Prof Can Cu Sim dan Prof Can Cu Som, keduanya anggota HSI. Sang mayor mengira kedua orang besar itu banyak duitnya, di samping guru besar yang satu penasehat kepolisian, yang lain sesepuh DPA. Keduanya hidup sederhana. Maka sang mayor pun tidak mendapatkan apa pun dari mereka berdua, sampai mereka dibebaskan atas perintah Panglima. Sebelum bebas mereka ”mengajari” enam tapol baru yang juga anggota HSI agar memberikan uang sogokan untuk memperingan keadaan. Mereka berenam akhirnya dibebaskan. Tidak lama kemudian datang kelompok tahanan baru, sebagian anggota HSI dan yang lain dari kalangan VIP. Tak seorang pun dari mereka mampu membayar uang yang dimintanya, maka mereka segera dipindahkan ke ruang tahanan di belakang bercampur dengan tahanan kriminal.

Kedua penghuni tahanan sebelahku itu kian akrab meski kami ditahan dari jurusan yang berbeda. Setiap pagi Acong menimbakan air untuk mandiku, sedang Andi membuatkan kopi atau susu, ia pun kumintai tolong untuk membelikan makanan. Dalam hal makanan dan minuman kami saling tolong-menolong. Mereka memberitahuku bahwa biasanya interogasi dilakukan setelah tengah malam. Mudah ditebak agar dalam keadaan mengantuk itu orang akan memberikan jawaban sebagai yang dikehendaki para interogator. Mereka memberikan nasehat agar tetap tenang, berdoa meminta perlindungan-Nya, aku terharu. Ada lagi nasehat mereka yang unik, ”Jika si pemeriksa mulai bicara, Ibu harus menekankan ujung jari kedua kaki dengan niat dan pikiran seolah menginjak mulut pemeriksa. Jika Ibu menjawab, Ibu tekankan kedua tumit Ibu, hingga tumit itu membuat ruang terbuka, Ibu akan dapat berbicara bebas dan benar, sedang ia akan setuju dan percaya apa yang Ibu katakan”. Begitulah dua anak muda itu mencoba memberikan kiat unik ketika menghadapi sang interogator. Benar, suatu hari jam dua dini hari aku dipanggil. Dari ruang sebelah si Andi berbisik agar saya berdoa, membaca Al-Fatihah, lalu mengingatkan ABC nya gerakan kaki. ”Semoga Ibu sukses!”

Mayor Johan telah menunggu beserta dua orang pembantunya. Ia menyalami dan mempersilahkan aku duduk dengan ramah. Aku berdoa sambil menekankan jari-jari kedua kaki seolah aku menginjak mulut sang mayor, tanpa bertanya lagi di mana logika kiat itu. Dalam keadaan terjepit orang akan melakukan apa pun yang mampu dilakukan tanpa mengorbankan harga diri. Mulailah dengan hal standar nama lengkap, keberadaan suamiku dst. Suaranya masih ramah meskipun kadang dengan kata-kata kasar. Ketika menjawab pertanyaan maka posisi kakiku berubah sebagai yang diajarkan anak muda itu. Aneh bahwa aku menjadi begitu berani, menyatakan bahwa aku sama sekali tidak berbuat kesalahan. ”Bagaimana Anda bisa berkata begitu?” Dengan cepat dan posisi kaki yang pas segera kujawab, ”Buktikan dulu bahwa saya bersalah Pak!” Waktu berjalan terus dan tiba jam empat subuh. Ia berkata kepada pengawalnya, “Kembalikan pemberontak ini ke selnya. Dua hari lagi bawa dia kemari jam dua belas malam!” Walaupun pemeriksaan kadang berlangsung keras tetapi tidak terjadi penyiksaan. Rupanya Acong telah menyiapkan segelas kopi buatku. Persahabatan yang unik, aku berterima kasih dan memberitahukan bahwa harus kembali dua hari lagi jam dua belas malam. Mereka mengatakan biasanya baru lima atau enam hari lagi. Mayor Johan ini rupanya memang sejenis makhluk langka, kasar, dengan temperamen tinggi. Dengan anak buahnya pun sering bertengkar. Pada suatu hari Mayor Johan marah besar kepada seorang polisi yang berani menentangnya. Polisi bawahan itu kemudian dipukulinya sambil berteriak-teriak seperti kesetanan. Tak lama kemudian ia terjatuh pingsan tergeletak di lantai. Seorang dokter memeriksa tekanan darahnya 220/130, ia segera digotong pergi. Demikian cerita anak muda itu, suatu bahan yang dapat kugunakan untuk melindungi diri.

Enam hari kemudian pada jam dua dini hari aku dijemput oleh dua orang algojo dengan badan kekar. Seperti sebelumnya Mayor Johan sudah menunggu. Aku duduk diapit dua orang tukang pukul itu yang nampaknya siap menelanku bulat-bulat. Aku berdoa, lalu bersiap dengan bayangan menginjak mulut sang mayor kuat-kuat. “Rasain, mulutmu kuinjak kuat dengan kedua kakiku!” Lagi aku tidak berpikir tentang logika dalam keadaan terdesak. Apa salahnya kalau hal itu membuatku berani tidak gemetaran.

“Sudah siap dengan keterangan dan analisanya?” ia tersenyum. “Siap Pak”, jawabku tenang dengan sikap kaki berubah sesuai dengan petunjuk. Ia berpaling ke tukang pukulnya. Tukang pukul itu segera mengambil pentungan gada yang sudah disiapkan sebagai salah satu peralatan standar interogasi. Interogasi beralih pada seorang pemuda yang dipanggil bersamaku. Mayor Johan setengah berteriak, “Siapa kau? Pemimpin pemuda pemberontak di Lubang Buaya kan?” Pemuda itu menjawab dengan tegas, “Bukan Pak, saya tidak pernah berada di Lubang Buaya”. Langsung kedua algojo mengayunkan pentungannya bergantian ke tubuh pemuda itu. Bahu kanan, kiri, tengkuk, leher, kepala, bertubi-tubi, lalu dada, punggung, tanpa peduli dengan teriakannya yang mengaduh minta ampun. Darah meleleh ke mana-mana. Mukanya langsung membengkak, merah kehitaman, pukulan masih berlanjut. Pemuda itu sudah tidak bereaksi lagi, sementara itu Mayor Johan diam membisu seperti robot. Aku spontan berdiri berteriak dengan perasaan ngeri, “Jangan diteruskan Pak, stop Pak, dia bisa mati. Lihat mukanya sudah biru!” Ia memerintahkan, “Stop, seret kembali ke kandangnya!” Drama sebabak telah lewat, kini babak kedua giliranku. Seperti biasa aku menekankan ujung jari kakiku. Mayor Johan berteriak tetapi suaranya seperti menghilang, menjadi serak, lalu mulai bicara.

“Nyonya, sekarang Nyonya tahu nasib yang akan menimpa Anda”. Tangannya nampak gemetar, mukanya merah padam. Aku menjawab tenang, tak lupa dengan perubahan kaki, “Maaf Pak Mayor, saya khawatir Bapak mengidap tekanan darah tinggi. Saya kira tekanan darah Bapak sudah lebih dari 230/130. Usahakan tenang Pak, jangan marah lagi, sangat berbahaya bagi Bapak sendiri”.

“Bagaimana Ibu tahu?” sahutnya keras.

“Sebagai dokter saya dapat melihat pembuluh darah di pelipis Bapak”, seraya aku berdiri meraba pelipis dan dahinya seolah dia pasienku. “Inilah tandanya, ini berbahaya dapat menyebabkan stroke”, aku menambahkan dengan yakin sebagai seorang dokter berpengalaman dengan otoritas.

“Aduh Ibu benar, apa nasehat Ibu?” suaranya pelan merendah.

“Begini, Bapak harus tenang dan istirahat cukup. Ambil cuti paling sedikit seminggu dan kontrol ke dokter. Sebaiknya Bapak pulang, setelah membaik Bapak bisa memanggil saya lagi. Untuk sementara Bapak sebaiknya berpantang garam, daging berlemak, susu, mentega, dan banyak minum air putih. Semoga Bapak lekas baik kembali”. Ia mengulurkan tangannya mengucapkan terima kasih. Maka drama babak kedua berlangsung sebagai anti klimaks. Bagiku sendiri seperti suatu keajaiban. Aku prihatin dengan pemuda itu, hanya sekedar untuk menerorku ia dijadikan sasaran yang harus bersimbah darah. Kubayangkan andai pemuda itu anak pertamaku, sedang aku tidak mampu melindunginya, membuatku sulit tidur.

Dakwaan terhadapku sampai dengan interogasi yang kualami di tahanan Kalong sungguh berat, aku dituduh sebagai dokter Lubang Buaya yang pada 1 Oktober 1965 memberikan obat perangsang kepada anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat agar mereka bersemangat tinggi untuk menyiksa para jenderal yang diculik.i Beruntung aku baru tertangkap pada 1967 ketika kampanye hujatan fitnah kekejaman jorok Lubang Buaya tidak seganas sebelumnya. Hal-hal yang mengerikan tentang perlakuan terhadap tapol di tempat ini sudah kudengar. Di depan ruang tahanan Kalong terdapat dua pohon belimbing. Setahun sebelum itu seorang tapol laki dan perempuan digantung telanjang bulat di dua pohon tersebut. Sementara itu dua orang tentara baret merah melakukan latihan lempar pisau terhadap keduanya dengan mata ditutup. Hal itu berlangsung dari jam lima sore sampai jam dua dini hari. Peristiwa itu terjadi ketika Satgas dipimpin oleh Mayor Acep yang tersohor keganasannya di kalangan tapol. Lalu datang komandan baru Mayor Suroso, prestasinya dalam menyiksa tapol tidak lebih kecil meski kesadisannya agak berkurang. Seorang ibu pernah disiksa sampai pingsan, setelah dibawa ke rumah sakit ia meninggal. 
 
Suatu kali aku diperiksa oleh Mayor Suroso. Aku dipaksa mengaku bahwa aku dokter Lubang Buaya dan dokter CC PKI. Kubantah dengan mengatakan berani sumpah. Ketika itu aku mau disetrum, aku berteriak sambil memegang tangannya dan meninju perutnya. “Jangan Pak! Saya elektrofil!” Ia terdiam sejenak, melepas kabel listrik lalu bertanya, “Apa itu artinya?” Aku menjawab saja sekenanya, “Saya ini sangat sensitif terhadap setrum listrik, setrum sekecil apa pun dapat mematikan saya. Kalau saya mati nyawa saya akan mencekik Bapak dan asisten Bapak.” Entah kenapa ia terdiam, lalu tertawa terbahak-bahak sambil memerintahkan, “Kembalikan dokter kesurupan ini!” Aku pegang tangan mayor itu dan kusalami, “Terima kasih Pak, Tuhan akan memberkahi Bapak!” Ketika aku meninggalkan tempat interogasi terdengar ia berteriak, “Kurangajar.!” Aku beruntung dapat menciptakan dagelan pada saat kritis. Sebenarnyalah aku tidak tahu persis apakah dagelan itu yang mencegah siksaan terhadap diriku.

(Bahan dari naskah belum terbit dr Hj Sumiyarsi Siwirini C, Plantungan Pembuangan Tapol Perempuan, penyunting Rasmadi AS & Harsutejo)
 
sumber  :Kolektifinfo

Comments

Popular Posts