Sebuah Kritik bagi Plantungan

PLANTUNGAN
Sutradara: Fadillah Vamp Saleh dan Putu Oka Sukanta
Jenis: Dokumenter
FILM dokumenter Plantungan diawali dengan narasi yang memilukan. Di zaman sebelum kekuasaan Soeharto, Plantungan adalah sebuah sanitarium, pusat penampungan penderita lepra. Pada masa Orde Baru, rezim yang militeristik mengubahnya menjadi tempat wanita-wanita yang dituduh terlibat dalam pembunuhan para jenderal pada September 1965. 

Dalam film yang ditayangkan di GoetheHaus beberapa pekan silam itu, kita melihat Siti Suratih, Suci Danarti, Pujiati, Mujiati, dan Sp. Tican yang meringkuk selama belasan tahun di Plantungan dengan kesaksian yang menggetarkan. Pengakuan demi pengakuan yang dilontarkan korban dalam film ini memberikan bobot yang lebih tajam sekaligus menampik tuduhan keji terhadap wanita yang direkayasa dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI arahan Arifin C. Noer. 

Siti Suratih adalah istri Oloan Hutapea, anggota Departemen Agitasi dan Propaganda Komite Pusat Partai Komunis Indonesia. Oloan dikenal sebagai sosok yang menggeser Nyoto dari Harian Rakyat. Sehari-hari Siti Duratih bekerja sebagai bidan yang bertugas di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Siti Duratih digelandang ke Markas Operasi Kalong Kodim 0501 bersama seorang anaknya, sebelum dibuang ke Plantungan. Sementara Siti Suratih diringkus hanya karena suaminya adalah anggota PKI, Suci Danarti, Pujiati, dan Sp. Tican dikenal sebagai aktivis perempuan di zaman Orde Lama. 

Film ini menyajikan gambar-gambar yang terlalu hambar untuk membawa saya pada kesan sebuah "rumah setan" (ini hanya sebutan saya sebagai tempat yang mengesankan kekejaman). Juga tak ada keterangan berapa banyak penghuni di Plantungan dan berapa yang tewas. 

Bagi generasi Putu Oka Sukanta yang menghayati sengkarut suasana politik menjelang G-30-S, timbul pertanyaan. Dengan hanya menampilkan istri Oloan Hutapea, itu bisa dibaca sebagai posisi sang sutradara. Pada masa 1960-an memang terjadi rivalitas antara Nyoto yang luwes dan Oloan yang dogmatis serta kaku. 

Selain itu, jika ingin menampilkan para istri atau keluarga anggota PKI yang menjadi korban, mengapa Putu Oka tidak memberikan kesempatan kepada mereka yang juga pernah menjadi penghuni rumah yang lebih buruk daripada Plantungan. Tarni, istri Nyoto-Nyoto adalah orang ketiga PKI setelah D.N. Aidit dan M.H. Lukman-layak diwawancarai. Kehadiran Tarni akan lebih memukau. Ketika ditangkap pada pertengahan 1966, Tarni membawa enam putra-putrinya (termasuk bayi yang baru berusia dua bulan) ke dalam kamp konsentrasi Operasi Kalong yang bermarkas di Kodim 0501, Jalan Budi Kemuliaan, persis di belakang gedung Bank Indonesia di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. 

Tarni dikerangkeng di dapur markas tentara itu, yang berdekatan dengan kamar penyiksaan. Jeritan terdengar dari para tahanan yang disetrum dan dicambuk dengan ekor pari yang dikeringkan. Di malam hari, Tarni dan anak-anaknya sering terbangun oleh jerit mereka yang disiksa. Seorang gadis yang juga ditahan ikut mengasuh anak-anak Tarni. Dan gadis ini pula yang acap kali disuruh komandan mengepel lantai yang licin karena darah tahanan yang baru disiksa. Gadis manis ini adalah kekasih saya, Sri Sulasmi, yang kemudian menjadi istri saya. 

Dari yang terpapar, terasa betul film Plantungan tidak didahului dengan riset mendalam sebagaimana film dokumenter Putu Oka terdahulu berjudul Tjidurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas. Film ini menceritakan bagaimana kantor pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat, yang terletak di Jalan Cidurian 19, Menteng, Jakarta Pusat, itu disatroni Angkatan Darat. Rumah besar itu, menurut teks dalam film tersebut, telah dilego dengan harga Rp 200 juta pada 1990-an. Film ini juga berkisah tentang nasib para seniman yang pernah bermarkas di situ. Tak bisa tidak, kisah-kisah mereka memang kelam meski tetap ada sisi-sisi kehidupan yang romantis dan menggelitik. Film ini terasa digarap sungguh-sungguh, bertungkus lumus, melibatkan sebuah tim peneliti yang bekerja keras. 

Mungkin film dokumenter adalah media ekspresi Putu Oka yang baru di luar apa yang sudah kita kenal melalui karyanya. Namun, seperti juga karya sastra, film dokumenter tak boleh menderita penyakit "kejar tayang" seperti seuntai puisi yang ditulis dengan tergesa-gesa karena khawatir ketinggalan kereta. Akibat ketergesaan itu, kemarahan (dalam film) nyaris berubah menjadi amuk. 

Martin Aleida, penulis cerita 

Filemnya dapat diunduh di sini dan sini.

sumber tulisan : tempointeraktif.com

Comments

Popular Posts