Mahindra Wahyu Paramacipta, Melipat Samudra, Menuju Rumah Ibu

Penulis : Sihar Ramses Simatupang 

Sebaris kalimat "California to Bali Solo 2010" digoresnya di kabin perahu layar “Jensen Marine Cal 30". Seperti ombak, kalimat itu pasang surut di dalam otak. California-Bali, perjalanan jauh bila ditempuh sendiri dalam kapal pesiar ukuran kecil. Total 10 bulan 27 hari dia melayari samudra lepas. 

Ibunya, komposer Trisutji Kamal, menikah puluhan tahun silam dengan Sartono Wondowisastro. Pasangan ini dikaruniai tiga anak, yaitu dia sebagai anak tertua, adiknya Mahindrani Kooswidiyanti Paramasari, dan Mahadharma Wijaya Wardhana Paramagita. Setelah Sartono wafat, Trisutji menikah lagi dengan Ahmad Badawi Kamal. “Saya tak menyangka dia senekat ini,” ujar Trisutji, ketika dijumpai di Gadok, Bogor, Jumat (29/4).

Rob (Rama) Rambini, sapaan akrabnya, telah merantau 30 tahun dan sebagian besar waktu dihabiskannya sebagai fotografer profesional di San Francisco, California. Oleh karena itu, Bali, salah satu wilayah di Indonesia, baginya adalah simbol wilayah kediaman sang Bunda. Lelaki kelahiran 20 November 1958 itu lalu melintasi, menaklukkan, dan “melipat” penghalang laut dan pulau untuk sampai di negeri ibunya.

Rama berlayar sendirian sejak 8 Mei setahun silam, dengan kapal pesiar yang dia namai “SV Kona” dan dia gerakkan secara manual. Kapal dua silinder dengan jenis motor diesel berdaya 16 PK itu tak dilengkapi komputer dan hanya dilengkapi layar beserta tiga kompas dan tiga GPS.

Setiap pukul 8 hingga 12 malam, lelaki berusia 53 tahun ini menatap kalimat di kabin itu saat dia tertidur di lambung kapal. Malam, perahu jalan terus, Rama tertidur tanpa lampu, gelap. Tapi lelapnya serupa lelap unggas, sigap terbangun ketika ombak menggoyang perahu. Bila ombak datang, Rama akan menstabilkan kendali kapal, memeriksa layar, lalu membuang air yang dibawa “tujuh penjuru mata angin”.

Selama perjalanannya dari Oakland, California, Amerika Serikat ke Hawaii, kemudian melintasi Kepulauan Solomon, Vanuatu dan Karang Laut, lalu ke Port Moresby, Papua Nugini. Dari Port Moresby, dia melayari perairan Indonesia, sehari di Pulau Tanimbar, Saumlaki untuk melengkapi perbekalan, lalu melanjutkan ke Wetar dan Alor.

Pertahanan survive-nya untuk memasak adalah alkohol yang berfungsi sebagai pengganti minyak tanah atau parafin. Bekalnya makanan kaleng, mi goreng, juga pan cake dan peanut butter. Di Solomon, tanpa mendarat, dia bertemu penduduk di sana. Rama membeli setandan pisang seharga US$ 6 untuk mengisi kebutuhan perutnya. Untuk beras, harganya cukup mahal. “Per kilo bisa sampai US$ 20 atau Rp 160.000,” katanya.

Pada 13 Mei 2010, 100 mil dari San Fransisco, layarnya sobek dan terbelah. Dia diterpa pilihan, kembali atau melanjutkan perjalanan ke Hawaii yang masih 2.000 mil lagi. Dia memilih melanjutkan pelayaran, layar utama pun digantinya dengan layar kecil. Di Hawaii dia membeli tiga layar bekas dan dapat bonus satu layar, sehingga empat layar dimilikinya. Namun, layar beberapa kali rusak di perjalanan. Dia pun mempelajari buku The Care and Repair of Sails karya Jeremy Howard–Williams untuk memperbaiki layar kapal.

Kebutuhan air tawar, didapat dengan mengambil air yang tersisa dari cekung layar setelah menadah hujan, atau dari embun yang terkumpul di sana. Bahkan, di tengah santai pun, kapal yang kecil membuat dia tetap harus menghindari benturan dengan kapal lain, terutama ketika dekat pelabuhan atau daratan.

Ombak baginya tak masalah. Sisi keras dan lembut alam sudah cukup dikenalnya. "Yang menyusahkan bagi saya bukan ombak, tapi justru ketika perahu tak mendapat arus dan angin. Lima hari sendirian dan perahu tak bergerak, itu menyiksa," katanya.

Ketika sendirian, burung camar kerap menjadi kawan. Rama pun bersua lumba-lumba. Mereka berkumpul di sekitar kapal yang dia tumpangi, seakan mengucap salam perpisahan. Sejak itu, mereka tak pernah lagi dilihatnya. Ada lagi ikan terbang, yang kerap mendarat di atas geladak. Rama kerap mengambil ikan itu sebagai umpan memancing.

Mengenal Diri Sendiri
Pelayaran ini membuat dia lebih mengenal dirinya. Menahan emosi dan sabar. Semua keinginan manusiawi diuji oleh laut. Alam memiliki arus, cuaca, arah angin. “Kita tak bisa taken for granted. Rencana jauh berbeda dengan kenyataan. Di kota semua terasa pasti. Di laut, apa yang kita rencanakan, tetap ditentukan alam,” ujarnya.

Pada 13 November, dia tiba di Fort Moresby, PNG. Namun di Wetar, wilayah Maluku yang terletak di Laut Banda berbatas negara Timor Leste, arusnya kencang sehingga perahunya sulit menentang. Dia pun memilih tinggal di Alor selama dua bulan.

Dia juga sempat terbawa arus di Selat Sape yang berada di antara sisi sebelah barat Pulau Sumbawa dan sisi sebelah timur Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur. Di Selat Sape yang terletak di tarikan Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur itu, perahunya sempat diam beberapa hari karena tak ada angin.

Perjalanan lautan di wilayah Tanah Air ternyata menyulitkan, karena arus tak menentu dan angin tak stabil. Baru di Nusantara, dia mengaktifkan mesin kapalnya. Pijar harapan di hatinya pun semburat, ketika Minggu dini hari, 3 April, dia tiba di Dermaga Serambi Marina, Benoa. Sebagaimana dilansir berbagai media, pihak pemerintah diwakili Dirjen Pemasaran Kemenbudpar Sapta Nirwandar, Kadis Pariwisata Bali Ida Bagus Kade Subhiksu, dan General Manager Pelindo III Benoa Iwan Sabatini telah menantinya.

Untuk itu, guratan dalam kabin kapal "California to Bali Solo 2010" pun tak lagi menjadi ombak dalam pikiran dan mimpinya. Semua kini telah setenang kenyataan. Dengan begitu, sukseslah Rob “Rama” Rambini datang dan pulang ke ke tanah negeri ibunya, Indonesia.

Menggandeng Ibunya
Mulanya, keinginan Rama adalah tinggal di Amerika Selatan. Negeri itu baginya lebih lifely sehingga menenangkan hati, ketimbang hidup di Amerika Serikat, yang bagi Rama, terasa kejar-mengejar. Di mata Rama, pola hidup orang di Amerika Selatan berada di pertengahan kehidupan masyarakat Eropa dan Asia. “Saya suka pola hidup semacam itu. Tapi, kemudian saya pikir, sudah lama saya tak bertemu ibu. Saya lalu tukar jalur, kalau tak sekarang bertemu, tak akan ada lagi waktu yang lain,” ujarnya.

Perubahan pilihan juga yang membuat dia tinggal di Bali untuk hari mendatang. Namun, kisah pelayaran lelaki itu nyatanya telah menyerupai kisah Caldas karya Gabriella Garcia Marquez, seorang pemenang Nobel Sastra yang mengangkat kisah seorang survive di tengah laut. Juga mengingatkan kita pada Old Man and The Sea novel karya Ernest Hemmingway, tentang perjalanan hidup Santiago.

Sisi kelembutan dan “kekanakan” Rama juga tampak ketika dia bersua dan bercakap dengan sang ibu, Trisutji Kamal. Ucap lembut si anak kepada ibunya. “Mama naik tangga? Pasti bisa. Ayo, Ma!” terdengar tatkala sang ibu meniti tangga di rumah wartawan senior Aristides Katoppo yang berada di wilayah Gadok, Bogor.

Mereka berdua memang sedang bertamu di sana. Trisutji yang tersenyum dan sang anak yang membimbingnya meneruskan langkah, menatap pemandangan alam di pinggiran Bogor. Mereka lalu menikmati lanskap sawah dan pepohonan itu. Nyata di mata Rama, pemandangan di darat tak kalah indahnya dengan lautan. ***

Comments

Popular Posts