Plantungan Pembuangan Tapol Perempuan (bagian 2)
Pembuangan Plantungan (Catatan Dokter Sumiyarsi)
Oleh: Harsutejo
Oleh: Harsutejo
Plantungan merupakan sebuah desa terletak di suatu lembah kira-kira 15 km ke arah barat daya Sukorejo, kabupaten Kendal. Desa itu terletak di kaki Gunung Prau yang diapit Gunung Butak dan Kemulan di jajaran Pegunungan Dieng yang antara lain terkenal dengan Plateau Dieng yang mengeluarkan gas belerang serta peninggalan candi-candi Hindu dari abad ke 8-9, keduanya menjadi tempat menarik bagi wisatawan. Plantungan dikelilingi dataran tinggi dengan udaranya yang sejuk nyaman. Barangkali nama Plantungan menjadi terkenal sejak dijadikan penampungan penderita lepra di masa penjajahan Belanda. Leproseri di situ dibangun pada 1870. Setelah dipergunakan hampir seabad, rumah sakit itu ditutup pada 1967. Sesudah direnovasi pada 1969 oleh pemerintah dijadikan penjara dan tahanan anak-anak.
Pada 1970 Plantungan memasuki babakan baru, bekas rumah sakit lepra itu digunakan sebagai tempat hunian bagi penderita ”lepra politik” untuk mengucilkannya dari dunia ramai. Tempat itu resminya disebut ’Pusat Pelatihan’ para tapol perempuan dari seluruh Indonesia, terdiri dari kaum cerdik pandai sampai yang baru belajar baca tulis sebanyak 400-500 orang. Barangkali proyek ini dapat disejajarkan dengan apa yang disebut ’Inrehab’ alias pembuangan Pulau Buru dalam skala kecil. Dari namanya seolah tempat itu dipersiapkan untuk membuat para tapol perempuan penghuninya menjadi trampil dan lebih cerdas, dan bukannya pembuangan yang membelenggu. Penamaan ini sebagai kamuflase terhadap dunia luar agar rezim Orba nampak tidak melanggar hak asasi manusia dan berbuat manusiawi terhadap para tapol. Dengan citra yang terjaga di mata internasional maka akan mudah mendapatkan utang luar negeri.
Sebelum rombongan kami dari Jakarta datang, tempat itu merupakan hamparan padang ilalang yang tumbuh liar tinggi. Pemandangan itu kini berubah menjadi lahan pertanian dan peternakan berkat tangan para perempuan dengan peralatan sangat sederhana. Biasanya pekerjaan demikian dilakukan oleh laki-laki dengan sabit panjang dan tajam. Tetapi ketika itu sabit yang digunakan pendek dan tumpul. Arit tipis yang disediakan ketika dipakai sebentar sudah melengkung. Maka tangan para perempuan dan ibu itu pada nyeri lecet berdarah teriris daun ilalang yang kaku tajam, di samping itu menimbulkan gatal-gatal. Banyak di antara mereka yang jatuh sakit.
Para remaja belasan tahun yang ikut latihan di Lubang Buaya dalam rangka Dwikora, kini memasuki usia dewasa tanpa dapat menikmati masa remaja mereka kecuali berbagai pelecehan yang seperti tidak tertanggungkan. Pada tahun pertama mereka umumnya mengalami interogasi berupa pemerkosaan dan pelecehan dengan siksaan seksual. Ketika itu mereka telah mendekam di penjara selama 8 tahun. Mereka belum pernah mempunyai kesempatan menjalin hubungan normal dengan lawan jenisnya. Pendidikan mereka rata-rata SMP, beberapa SMA belum tamat ketika ditangkap. Selama dipenjara mereka banyak belajar termasuk belajar politik. Komandan kamp kami terkenal mata keranjang, dengan kekuasaannya dia berhasil menggaet beberapa tapol muda cantik yang belum berpengalaman itu. Mereka mendapatkan perlakuan berbeda, sebagai kekasih dan sekaligus dijadikan informan. Seorang di antaranya sampai hamil dan melahirkan.
Tahun 1974 lewat sudah, kini sudah pertengahan 1975. Kalau orang duduk-duduk di depan Blok C1, maka kita dapat menikmati pemandangan alam, panorama tepi Sungai Lampir yang penuh batu besar menahan derasnya air yang terus-menerus menerjang tiada henti berkerosak. Di sisi lain nampak lereng gundukan tanah kompleks kamp di bagian atas yang membentuk bukit, hutan bambu, di bawahnya tanaman liar dengan bunga aneka warna. Di antara kami sudah 10 tahun berstatus sebagai tapol, jenis manusia yang dipandang dan diperlakukan paling rendah di republik ini. Aku sendiri sudah berada pada tahun kedelapan, seolah kami sedang berada di lorong tanpa batas, hanya sekedar titik cahaya secercah nun jauh di ujung sana yang tidak kami ketahui dengan pasti.
Waktu berjalan dan memasuki bulan September. Suatu malam pertengahan bulan itu kami dikagetkan dengan bunyi sirene dari pos penjagaan. Kami diperintahkan untuk keluar berkumpul di halaman di depan blok masing-masing. Komandan datang bersama petugas militer dan sipil. Setiap blok diperintahkan untuk menghitung warganya masing-masing dan melapor kepada petugas. Tiba-tiba semua lampu dipadamkan kecuali lampu di pos penjagaan. Terdengar hardikan dari pengeras suara, ”Jangan bergerak dan jangan bersuara!”
Sebelum rombongan kami dari Jakarta datang, tempat itu merupakan hamparan padang ilalang yang tumbuh liar tinggi. Pemandangan itu kini berubah menjadi lahan pertanian dan peternakan berkat tangan para perempuan dengan peralatan sangat sederhana. Biasanya pekerjaan demikian dilakukan oleh laki-laki dengan sabit panjang dan tajam. Tetapi ketika itu sabit yang digunakan pendek dan tumpul. Arit tipis yang disediakan ketika dipakai sebentar sudah melengkung. Maka tangan para perempuan dan ibu itu pada nyeri lecet berdarah teriris daun ilalang yang kaku tajam, di samping itu menimbulkan gatal-gatal. Banyak di antara mereka yang jatuh sakit.
Para remaja belasan tahun yang ikut latihan di Lubang Buaya dalam rangka Dwikora, kini memasuki usia dewasa tanpa dapat menikmati masa remaja mereka kecuali berbagai pelecehan yang seperti tidak tertanggungkan. Pada tahun pertama mereka umumnya mengalami interogasi berupa pemerkosaan dan pelecehan dengan siksaan seksual. Ketika itu mereka telah mendekam di penjara selama 8 tahun. Mereka belum pernah mempunyai kesempatan menjalin hubungan normal dengan lawan jenisnya. Pendidikan mereka rata-rata SMP, beberapa SMA belum tamat ketika ditangkap. Selama dipenjara mereka banyak belajar termasuk belajar politik. Komandan kamp kami terkenal mata keranjang, dengan kekuasaannya dia berhasil menggaet beberapa tapol muda cantik yang belum berpengalaman itu. Mereka mendapatkan perlakuan berbeda, sebagai kekasih dan sekaligus dijadikan informan. Seorang di antaranya sampai hamil dan melahirkan.
Tahun 1974 lewat sudah, kini sudah pertengahan 1975. Kalau orang duduk-duduk di depan Blok C1, maka kita dapat menikmati pemandangan alam, panorama tepi Sungai Lampir yang penuh batu besar menahan derasnya air yang terus-menerus menerjang tiada henti berkerosak. Di sisi lain nampak lereng gundukan tanah kompleks kamp di bagian atas yang membentuk bukit, hutan bambu, di bawahnya tanaman liar dengan bunga aneka warna. Di antara kami sudah 10 tahun berstatus sebagai tapol, jenis manusia yang dipandang dan diperlakukan paling rendah di republik ini. Aku sendiri sudah berada pada tahun kedelapan, seolah kami sedang berada di lorong tanpa batas, hanya sekedar titik cahaya secercah nun jauh di ujung sana yang tidak kami ketahui dengan pasti.
Waktu berjalan dan memasuki bulan September. Suatu malam pertengahan bulan itu kami dikagetkan dengan bunyi sirene dari pos penjagaan. Kami diperintahkan untuk keluar berkumpul di halaman di depan blok masing-masing. Komandan datang bersama petugas militer dan sipil. Setiap blok diperintahkan untuk menghitung warganya masing-masing dan melapor kepada petugas. Tiba-tiba semua lampu dipadamkan kecuali lampu di pos penjagaan. Terdengar hardikan dari pengeras suara, ”Jangan bergerak dan jangan bersuara!”
Dengan menggunakan flash light besar beberapa petugas mulai bergerak menyusuri batas asrama bawah, lereng bukit dan pinggir kali. Mereka seolah mencari sesuatu atau seseorang atau orang-orang tapol Plantungan yang sedang hendak melarikan diri, atau dan melakukan gerakan gelap yang mengancam, sementara komandan dan wakilnya berdiri di tempat ketinggian dengan menenteng lampu petromaks. Tiba-tiba suara komandan berteriak, ”Lampu nyalakan!” Tak lama kemudian terdengar teriakan dari sekelompok ibu berusia tua, beberapa orang ambruk ke tanah. Mereka kelelahan setelah dua jam berdiri bertarung dengan udara dingin dan ketegangan.
Keesokan harinya hampir dapat dipastikan akan banjir pasien. Paginya Ibu Sastro yang mengidap TBC itu mengalami haemoptoe atau muntah darah yang harus segera mendapatkan suntikan dan obat-obatan untuk seminggu lamanya. Ibu ini pembawaannya tenang, menerima segala yang berlaku tanpa mengeluh. Kami memberikan perawatan sebaik-baiknya dengan penuh empati. Sebulan kemudian ketika aku sedang menuju masjid untuk salat magrib, suster mengejarku mengabarkan bahwa Bu Sastro dalam keadaan gawat. Ketika kuperiksa, dari mulutnya keluar darah beku merah tua. Ketika kuambil stetoskop, terdengar hembusan nafas terakhirnya. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun. Bu Ratih terbata-bata hendak memberikan suntikan dan kuberitahu bahwa tidak erlu lagi. Selamat jalan sahabat, semoga diterima di sisi-Nya.
(Bahan dari naskah belum terbit almarhumah dr Hj Sumiyarsi Siwirini C, Plantungan Pembuangan Tapol Perempuan, penyunting Rasmadi AS & Harsutejo)
Keesokan harinya hampir dapat dipastikan akan banjir pasien. Paginya Ibu Sastro yang mengidap TBC itu mengalami haemoptoe atau muntah darah yang harus segera mendapatkan suntikan dan obat-obatan untuk seminggu lamanya. Ibu ini pembawaannya tenang, menerima segala yang berlaku tanpa mengeluh. Kami memberikan perawatan sebaik-baiknya dengan penuh empati. Sebulan kemudian ketika aku sedang menuju masjid untuk salat magrib, suster mengejarku mengabarkan bahwa Bu Sastro dalam keadaan gawat. Ketika kuperiksa, dari mulutnya keluar darah beku merah tua. Ketika kuambil stetoskop, terdengar hembusan nafas terakhirnya. Inna lillahi wainna ilaihi rajiun. Bu Ratih terbata-bata hendak memberikan suntikan dan kuberitahu bahwa tidak erlu lagi. Selamat jalan sahabat, semoga diterima di sisi-Nya.
(Bahan dari naskah belum terbit almarhumah dr Hj Sumiyarsi Siwirini C, Plantungan Pembuangan Tapol Perempuan, penyunting Rasmadi AS & Harsutejo)
sumber : Kolektifinfo
Comments