Mia Bustami : Dari Kamp ke Kamp, Cerita seorang Perempuan

Kepahitan tanpa Dramatisasi

TEMPO Interaktif, Jakarta: 

Kusen gerbang rumah itu berwarna merah cerah, mempertegas karakter si pemilik rumah. Serasi benar dengan taman yang dipenuhi berbagai jenis bunga. Taman yang terawat dan ditata apik memeluk hangat rumah mungil yang berlokasi di Jalan Swadaya, Kampung Poncol, Desa Limo, Depok, tersebut.

Di rumah itulah Mia Bustam menghabiskan waktunya, sendirian, untuk menorehkan pengalamannya dari penjara ke penjara 13 tahun lamanya. Dengan mengandalkan ingatan, catatan kecil, serta foto-foto pribadi, ia menggali lagi pengalaman-pengalamannya itu dalam kertas folio. Tulisan itu begitu rapi. Sulit dipercaya bahwa tulisan itu dibuat seorang yang sudah uzur.

Itulah Mia, penulis buku Dari Kamp ke Kamp: Catatan Seorang Perempuan. Awal Agustus 2008, buku itu diluncurkan di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta. Mia sendiri yang memberi judul pada buku keduanya itu. "Saya mulai menulis buku ini sejak tahun 1997," ujar Mia kepada Tempo, yang berkunjung ke rumahnya pada Kamis pekan lalu.

Adapun sampul buku, Mia melanjutkan, diambil dari lukisan putra keduanya berupa paduan Srikandi-Subrada dan di belakangnya samar-samar lukisan leak. "Srikandi dan Subrada perpaduan karakter ibu yang tegas, berani, sekaligus lembut hati. Sedangkan leak adalah simbol kejahatan," kata Sri Nasti Rukmawati, salah seorang putri Mia dengan S. Sudjojono, mantan suaminya.

Dari Kamp ke Kamp memuat 113 kisah yang ceritanya diawali ketika Mia aktif di kegiatan seni dan budaya. Kemudian berlanjut saat untuk pertama kalinya ia mendekam di rumah tahanan Kepolisian Resor Sleman, Yogyakarta, pada 1965 dan berlanjut ke penjara Benteng Vredeburg Yogyakarta, Wirogunan, Plantungan, hingga penjara di Pulau Buru. Buku ini ditutup dengan kisah bebasnya Mia pada Oktober 1978. "BEBAS! Dengan menyandang bahaya laten pula...." Begitu Mia menuliskan makna bebas tersebut dengan separuh menyindir.

Mia dipenjara oleh rezim Orde Baru dengan tuduhan sebagai anggota dan pendukung Partai Komunis Indonesia, persisnya sebagai Ketua Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) Yogyakarta. Lekra dianggap organisasi yang dipayungi Partai Komunis Indonesia, musuh politik penguasa Orde Baru. Ia juga dituduh ikut melatih para pemuda dan mahasiswa di rumahnya untuk melawan penguasa saat itu.

Cerita-cerita pahit dan ketidakadilan itu ditulis Mia dengan ringan tanpa terkesan emosional, dendam, atau dramatis. Begitu juga gaya bertutur Mia di buku setebal 288 halaman dan diterbitkan oleh Spasi, VHR Book, dan Institut Studi Arus Informasi itu, yang lebih mirip catatan perjalanan atau catatan harian.

Gaya tersebut juga muncul dalam buku pertamanya berjudul Sudjojono dan Aku, bercerita tentang perjalanan kisah cinta Mia dan sang pelukis yang berakhir dengan perpisahan. Buku kedua ini memang kelanjutan dari buku pertamanya. "Saat ini saya sedang menulis buku ketiga," katanya.

Wakil Ketua Komnas HAM Yoseph Adi Prasetyo, dalam bab pengantar, menilai buku kedua Mia istimewa dibandingkan dengan buku-buku sejenis lainnya. "Buku ini sama sekali tak bercerita tentang bentuk-bentuk kekejaman yang pernah mendera ataupun pernah disaksikannya," ujarnya. "Tapi lebih banyak cerita tentang pengalaman si penulis dengan Republik Indonesia yang berubah begitu cepat. Ia baru saja memulai hidupnya sebagai orang tua tunggal lantaran tak bersedia hidup dimadu oleh suaminya saat kemudian terjadi goro-goro Peristiwa 65."

Buku ini layak dibaca oleh siapa pun yang ingin memperkaya pengetahuan tentang sejarah hitam bangsa ini dari sudut perempuan sebagai korban.

Maria Hasugian


DARI KAMP KE KAMP: Catatan Seorang Perempuan

Penulis: Mia Bustam
Tebal: 288 halaman
Penerbit: Spasi, VHR Book, dan Institut Studi Arus Informasi, Agustus 2008

Comments

Popular Posts