Mia Bustami : Satire Politik Indonesia

PENGAKUAN lugas dituturkan Mia Bustam saat memberi jawaban mengenai PKI kepada seorang psikolog di dalam tahanan.

Mia Bustami menuturkan, ”Saya bukan anggota PKI, Nak Hardjono. Saya hanya anggota Lekra.” ”Tapi Lekra toh berafiliasi dengan PKI?” Mia menjelaskan,” Saya di situ hanya agar bisa bergaul dengan seniman dan menambah pengetahuan saya mengenai seni dan sastra.”

Jawaban itu tidak mengesankan muatan ideologis atau politis tapi pamrih untuk pengetahuan dan seni. Mia merupakan sosok seniman. Keterlibatan dan peran dalam Lekra mengantarkannya pada tuduhan- tuduhan subversif yang berujung pada penahanan tanpa pengadilan. Mia pun mendapat cap sebagai PKI.

Cap itu selalu mendapat sangkalan karena Lekra dan PKI beda. Mia mengisahkan fragmen- fragmen hidup sebagai istri pelukis Sudjojono, keterlibatan di Lekra, dan penahanan di berbagai tempat dalam buku memoar Dari Kamp ke Kamp (Cerita Seorang Perempuan).

Memoar itu cenderung sebagai kisah hidup dalam rentetan tragedi tapi dilakoni dengan percampuran keluguan dan resistensi. Mia memiliki strategi pengisahan yang humanis tanpa terbebani oleh tendensi- tendensi politis.

Strategi teks itu membuat memoar ini menjadi terasa intim dan mengandung autentisitas ketimbang dengan buku-buku memoar lain yang cenderung politis dan emosional. Buku memoar Mia mengesankan kisah-kisah dalam tipologi kelumrahan dan kenaifan orang-orang biasa.

Biografi Mia menyisakan sebuah mimpi yang kandas. Mia ingin memiliki padepokan dengan konsep untuk belajar seni dan hidup dalam kolektivitas dan kemandirian. Mimpi itu mengacu pada sebuah buku mengenai usaha Makarenko di Uni Soviet.

Mimpi Mia kandas karena kurang mendapat dukungan dari teman-temannya. Mimpi itu menunjukkan pandangan humanis dari Mia untuk sadar atas laku kreatif dan realitas hidup. Kisah mengesankan terjadi pada 1964 dalam Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner di Jakarta.

Mia merasakan adanya interaksi konstruktif untuk menambah pengetahuan tentang seni dan sastra. Mia saat itu juga mengunjungi Gedung CC-PKI yang masih dalam proses perampungan. Mia mengusulkan kepada Nyoto agar di dinding gedung dipasangi potret-potret tokohtokoh: Semaun, Alimin, Marx, Engels, Lenin, dan lain-lain.

Usulan itu disepakati dan mulailah Mia melakoni laku kreatif melukis tokoh-tokoh. Nasib apes dialami Mia karena lukisan-lukisan yang sudah jadi tak mungkin lagi dipasang karena Gedung CC-PKI dibakar massa dalam Peristiwa 1965.

Kisah itu memang mengandung ambivalensi antara urusan politik dan seni. Mia cenderung menilai itu sebagai laku seni karena sadar atas peran dan kompetensi. Peristiwa 1965 membuat Mia terseret dalam operasi pembersihan oknum-oknum PKI.

Mia masuk penjara dengan tuduhan-tuduhan, antara lain telah melindungi oknumoknum PKI, mengadakan rapat-rapat gelap dengan oknum- oknum PKI, dan mengikuti latihan di Lubang Buaya. Mia menyangkal tuduhantuduhan itu dengan argumentasi- argumentasi lugas.

Tuduhan- tuduhan itu tidak mengandung kebenaran tapi Mia tetap harus masuk tahanan. Tuduhan PKI untuk menjebloskan Mia ke penjara adalah rekayasa politik. Hal itu diakui Mia ketika melakukan dialog dengan Romo de Blot.

Romo menanyakan, ”Tidakkah engkau menyesal menjadi anggota PKI?”

Mia menjawab dengan eksplisit, ”Saya tidak pernah menjadi anggota PKI, Romo. Saya pun tidak menyesal karena tidak pernah melakukan hal-hal yang patut disesali.

”Romo melanjutkan, ”Jadi, kau tidak merasa bersalah?”

Mia dengan lugas menjawab, ”Tidak Romo, karena saya memang tidak bersalah.” Jawaban-jawaban Mia dalam dialog itu merupakan penegasan bahwa menjadi anggota Lekra tidak harus praktis sebagai PKI.

Mia mengurusi seni bukan politik. Hal-hal itu mesti menjadi kesadaran kritis terhadap stigmatisasi Lekra. Mia ingin melawan distorsi Peristiwa 1965. Pengalaman sebagai tahanan politik dari 23 November 1965 sampai 27 Juli 1978 di berbagai tempat (Polres Sleman, Benteng Vredeburg, Penjara Wirogunan, Penjara Perempuan Bulu, Instalasi Rehabilitasi Plantungan) justru menjadi pengalaman pelangi dengan kisah orang-orang biasa dari teman-teman Mia.

Kisah-kisah itu mengandung elan vital dalam kondisi represi dan teror. Mia dalam memoar itu tak sekadar mengisahkan diri sebagai pusat cerita tapi juga memberi jatah besar untuk kisah-kisah para teman dan orang lain.

Buku memoar ini pun menjadi kisah humanis dengan percampuran tragedi dan komedi. Mia pada suatu saat mendapatkan pertanyaan mengenai kontribusi apa yang bisa dilakukan terhadap bangsa dan negara ketika sudah bebas.

Pertanyaan itu merupakan buntut dari penataran P-4 dan indoktrinasi dengan embelembel Santiaji Pancasila.

Mia menjawab: Aku ingin menerjemahkan karya-karya sastra Barat yang bermutu ke dalam Bahasa Indonesia agar bisa dinikmati oleh mereka yang tidak paham bahasa asing.

Keinginan Mia itu mesti berhadapan dengan risiko dalam bentuk pelarangan atau nama penerjemah yang disamarkan penerbit.

Peristiwa 1965 telah membuat rezim Orde Baru mengalami ketakutan akut. Bukubuku pun bisa jadi musuh atau momok subversif yang harus lekas dimusnahkan.

Bandung Mawardi

Peneliti Kabut Institut (Solo)

sumber : Kolektifinfo

Comments

Popular Posts