Rampokan Matjan
Komik Rampokan Jawa diilhami cerita dan foto tentang tradisi Rampokan Macan di Jawa. Ini tradisi membunuh macan beramai-ramai di Alun-alun yang bahkan menjadi salah satu obyek wisata, sebelum akhirnya dilarang pemerintah kolonial pada awal Abad ke-19. Akar tradisi ini bermula di Surakarta, berkembang pula ke wilayah di timurnya, mulai dari Kediri, Tulungagung sampai Blitar.
Komik Rampokan Jawa karangan Peter van Dongen, komik dengan garis gambar ala Tintin, terbit pertama kali berbahasa Belanda, sejak lima tahun lalu sudah terbit edisi terjemahan Bahasa Indonesia. Selain Rampokan Jawa, Peter juga membuat komik Rampokan Celebes.
Namun ternyata ada tiga naskah yang berupa catatan deskriptif soal tradisi itu, dua di antaranya bicara banyak tentang pertunjukan itu di Blitar. Sedangkan satu naskah lainnya bicara Rampokan Macan di Surakarta.
Secara kronologis, ia catatan tertua dibanding dua naskah lainnya. Penulisnya adalah Franz Wilhelm Junghuhn, dokter ahli manusia tapi lebih cinta mati pada alam Netherland Indies, kini Indonesia. Kini ia genap berusia 200 tahun pada 26 Oktober 2009. Ya, dua abad silam Junghuhn lahir di Mansfeld, Jerman Timur lalu jatuh cinta sampai mati pada Indonesia hingga meninggal pada 14 April 1864 dan dimakamkan di Lembang, dekat Bandung.
Junghuhn adalah nama besar di dunia botani, tapi sedikit sekali riwayatnya yang diketahui umum karena hanya disebut sepintas lalu dalam pelajaran sejak sekolah dasar di Indonesia. Ia hanya identik dengan kina dan budidayanya. Padahal, minat intelektual Junghuhn merentang lebar, mulai soal ilmu bumi hingga ilmu alam. Kitab berjudul Java niscaya Magnus Opus ilmuan yang pernah divonis 10 tahun penjara karena pertikaian berujung pembunuhan itu.
Junghuhn pertama kali tiba di Jawa pada 13 Oktober 1835. Dari 23 Agustus sampai 10 September 1844 Junghuhn berada di Sala. Selama di situ Junghuhn antara lain menonton Rampokan Macan. Meski tak suka pembunuhan binatang secara sadis itu, Junghuhn memberi laporan lengkap tentang peristiwa itu. Dan, inilah terjemahannya oleh Luwarsih, sebagaimana termuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1984. Berikut ini kisahnya :
PAGI itu ruang muka tempat kediaman residen penuh sesak. Para tamu umumnya perwira dari garnisun, berapa belas orang swats dan pegawai negeri dalam pakaian pesta dan pangeran yang semua mengenakan pakaian seragam. Kebanyakan seragam mayor dan seorang kolonel. Beramai-ramai kemudian mereka naik kereta menuju keraton. Di situ mereka disambut musik terompet dan alat tiup lain.
Susuhunan Paku Buwono bersama residen kemudian bergandengan menuju ke semacam balkon untuk menonton pertunjukan macan. Tempatnya di paseban, bagian tengah keraton yang dinding sekelilingnya sudah penuh orang, termasuk pohon sekitarnya.
Tidak jauh dari balkon kebesaran ada barisan pembawa tombak tajam membentuk segi empat. Panjangnya sekitar 300 kaki dan lebarnya separuhnya. Mereka berdiri dalam tiga sampai empat lapis dan semua membawa senjata runcing. Lapisan paling dalam membawa senjata secara horisontal, yang kedua miring dan yang paling luar ke atas.
Di tengah persegi panjang yang dikelilingi manusia itu ada sederetan kotak kayu berjajar-jajar dengan jarak dua setengah meter. Panjang kotak itu sekitar dua setengah meter dan bagian yang sempit menghadap ke sunan.
Dua abdi dengan pakaian bagus mendekati bakon, berlutut, lalu menyembah. Kemudian aba-aba diberikan. Mereka sekali lagi menyembah, lalu pergi dengan langkah khidmat. Barisan segi empat manusia itu membuka dan menutup lagi setelah kedua orang itu lewat.
Mereka menuju ke kandang yang paling kanan dan menyalakan kayu dan rumput kering di bagian belakang. Salah seorang lalu naik ke atas kandang, memotong tali yang mengikat jendela tarik. Sekali lagi ia menaikturunkan jendela itu supaya orang bisa mendengar suaranya. Kemudian jendela itu dibuang jauh-jauh. Setelah turun dari kandang, ia bersila dan menyembah sunan.
Semua mata sekarang tertuju pada lubang kecil pada kandang. Sementara itu api tambah lama tambah tinggi di ujung belakang. Kedua abdi itu meninggalkan kandang sambil menandak di bawah iringa gamelan. Kedua orang itu sudah sampai ke pinggir, tetapi si macan belum juga tampil.
Tiba-tiba tampak barang coklat di lubang yang gelap. Suara gamelan tambah riuh. Ternyata yang keluar seekor macan loreng. Rupanya ia sama sekali tidak merasa dirinya terancam. Ia malah bangga dengan bajunya yang bergaris-garis. Maka dari itu ia duduk tenang. Ia tak pusing kandangnya habis terbakar. Sejenak kemudian ia jalan menuju salah satu sisi manusia bertombak. Karena tak ada lowongan untuk meloloskan diri, ia mencoba sisi lain. Karena bolak-balik gagal, ia menjadi panik. Ia menggeram dan lari mengelilingi barusan. Di mana-mana ia bertemu tombak runcing.
Ia lari ke tengah lapangan. Karena terus diburu tombak, ia terjatuh sampai terguling-guling. Ia berdiri lagi sampai ditangkis tombak lagi. Akhirnya raja hutan itu tak berkutik lagi. Kemudian menyusul kandang kedua, ketiga dan seterusnya dan penghuninya semuanya mengalami nasib yang sama. Ada yang langsung lari ke arah tombak. Rupanya itu kebiasaan harimau belang, panther, dan binatang muda. Yang lain-lain masih melihat-lihat sebelum melakukan loncatan maut. Ada juga yang berusaha masuk kandang lagi biarpun kandang sudah membara.
Ada juga yang duduk diam di tengah dan tidak berusaha berdiri. Dalam hal itu sudah ada dua keranjang seperti gubuk siap di lapangan yang isinya manusia. Dengan merayap diam-diam mereka mendekati macan itu. Kalau sudah dekat, macan itu didongkel tombak sampai berdiri.
Ketika beberapa kandang sudah habis terbakar dan dua abdi sedang membuka kandang keempat atau kelima, matahari biasanya sudah jauh di atas kepala.
sumber : Djaloe.com
Comments