John Coast yang Berjasa Bagi Indonesia (Bersama Agus Salim, Bertemu Muso dan Piknik dengan Soekarno)


JOHN Coast pada dasarnya adalah seorang "pemberontak." Ia meninggalkan kota kelahirannya, Cheltenham, pada usia muda, dan bekerja di kantor pusat bisnis Keluarga Rothschild di London. Tapi ia tak merasa krasan bekerja di kota. Lalu ia minta berhenti, dan menganggur. Selang beberapa tahun, Coat mendaftarkan diri sebagai pasukan pengawal pantai, dan ditempatkan di Resimen Norfolk.

Tahun 1941, ia ditugaskan ke Basra untuk melindungi pipa minyak. Ketika Jepang menyerang Pearl Harbour, Resimen Norfolk menugaskannya ke Singapura. Tujuh belas hari setiba di Singapura, Coast ditangkap tentara Jepang, dan ditawan selama hampir 3,5 tahun. Pengalamannya menjadi tawanan perang dituangkan Coast dalam buku Railroad of Death.
Waktu ditahan Jepang itulah Coast, menurut pengakuannya, pertama kali ketemu orang-orang Indonesia, dan belajar bahasa Indonesia. Bebas dari tahanan, Coast bertolak ke Indonesia, dan kemudian bekerja sebagai penerjemah pada Departemen Luar Negeri. Ia kemudian diangkat sebagai anak oleh Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim.
Ketika Belanda menyerang Indonesia pada 1946, Coast diminta Angkatan Udara Republik Indonesia membantu menembus blokade ekonomi Belanda. Ia berulang kali terbang ke Singapura dan Bangkok membawa misi pemerintah. Coast menikah dengan Sutianti, putri anggota Raad van Indie, Soejono, dan sekarang menetap di London. Coast (70 tahun) yang masih sering ke Indonesia, menuliskan pengalamannya membantu Indonesia dalam buku Recruit to Revolution: Adventure and Politics in Indonesia.
Diangkat Anak oleh Haji Agus Salim
HAJI Agus Salim, menteri luar negeri dalam kabinet Amir Syarifuddin, 64 tahun, dan Mohamad Hatta merupakan "tokoh" paling hebat di antara semua pemimpin Indonesia. Ia cukup tua untuk tidak takut pada siapa pun. Tapi ketuaan itu juga membuat tubuhnya tak dapat menampung pikirannya yang masih aktlf. Tak heran bila orang sering bertanya-tanya bagaimana cara Agus Salim mengendalikan Departemen Luar Negeri. Apalagi, sepulang dari lawatan ke Timur Tengah yang melelahkan, dia sering terlihat beristirahat di Kaliurang -- tempat peristirahatan yang paling disukainya.
HA Agus Salim, Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Mesir, dan AR Baswedan sedang mendiskusikan isi naskah pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia
Selama Agus Salim beristirahat, Departemen Luar Negeri dikelola oleh tiga tenaga inti. Untuk penetapan keputusan-keputusan penting kebijaksanaan luar negeri yang harus dilakukan dengan cepat diambil alih langsung oleh Perdana Menteri Hatta. Setelah kekuatannya pulih, dan kembali ke Yogyakarta, Agus Salim bertekad mengambil alih kembali tampuk pimpinan dan tanggung jawab di Departemen Luar Negeri.

Hatta tak berkeberatan. Ia cuma khawatir tokoh tua itu jatuh sakit lagi, karena bekerja kelewat keras. Kesehatannya belakangan memang mulai rapuh. Tapi ia tak peduli. Dokter melarangnya merokok, toh ia terus menikmati kretek kesenangannya. Sebagai seorang haji dan muslim yang saleh, ia tak dibenarkan meminum minuman keras. Tapi seorang dokter menganjurkannya minum wiski untuk pengobatan.
Maka, salah satu tugas saya, yang berhubungan dengan menembus blokade Belanda, memelihara agar selalu tersedia "obat" itu di lemari obat-obatan. Tokoh paling menarik dari semua menteri ini seorang pembicara yang hebat dan berpengetahuan luas. Ia bisa menghanyutkan kita berjam-jam untuk sebuah topik pembicaraan, misalnya tentang pergerakan nasional. Karena, ia bisa menyampaikan permasalahan yang rumit secara gamblang dan memikat.
Untuk saya, bekerja dengannya berarti menerjemahkan dan memberi komentar terhadap dokumen-dokumen. Begitu tahu saya bukan seorang polisi, ia mempekerjakan di bawah Darmanto, salah seorang yang menentukan di Departemen Luar Negeri. Kebanyakan dokumen yang saya kerjakan berhubungan dengan berbagai perundingan. Itu berarti saya harus bekerja erat dengan tokoh-tokoh perunding, seperti Mr. Mohamad Roem, Ali Budiarjo, dan Sultan Hamengkubuwono IX.
Dari kegiatan itu saya bisa mengetahui perkembangan situasi. Roem, yang menganggap Agus Salim sebagai orangtua, juga penganut Islam berpandangan luas. Ia salah seorang pemimpin generasi muda Masyumi. Kakinya agak pincang karena ditembak seorang serdadu Belanda. Roem, 39 tahun, salah seorang penandatangan Perjanjian Linggarjati (1947), orang yang baik hati dan toleran, bahkan terhadap musuhnya.
Ali Budiardjo adalah sekretaris delegasi Indonesia dalam Perundingan Linggarjati. Ia, ketika itu berusia 34 tahun, kawan dekat Sutan Sjahrir. Ia selalu berpakaian perlente. Selalu segar dan tenang dalam setiap pemunculan. Sesungguhnya ia menderita asma. Sebelum Perang, Belanda telah menandainya sebagai tokoh muda yang bisa diharapkan di kemudian hari. Ia secara akademis cerdas. Tapi, sebagaimana Sultan Hamengkubuwono, ia sudah berpihak kepada Republik sejak awal. Ali pada dasarnya seorang intelektual dan priayi Jawa. Pada usia yang begitu muda barangkali ia akan heran mendengar bahwa hari depan bangsa ada di tangannya.

Agus Salim kemudian mengangkat saya sebagai anak dan sekaligus menjadi asisten. Ke mana saja ia dan Darmanto pergi, saya mesti ikut. Adalah Agus Salim yang membuat saya sering mengadakan kontak politik secara langsung dengan Bung Hatta. Bung Hatta, bersama Soekarno dan Sjahrir, adalah salah seorang tokoh besar Indonesia. Ia dikenal moderat dan tak punya kepentingan pribadi. Ia bisa dingin, kasar, menakutkan, dan juga yang bisa mendisiplinkan orang. Kebanyakan pemimpin Indonesia, bahkan sampai tingkat menteri, takut kepadanya.
Ketakutan mereka bukan terhadap Hatta pribadi, tapi takut terhadap seorang pekerja keras dengan pribadi sekeras baja itu. Rakyat mencintainya karena Hatta berkepribadian kuat, jujur, dan baik. Ia menjadi lambang patriotisme tanpa deru gelombang tinggi. Sikap Hatta lebih condong pada puritanisme. Mungkin karena apa yang tersembunyi dalam dirinya hanya diketahui oleh orang-orang dekat saja. Sikap ini barangkali kurang cocok dengan anggapan umum Indonesia, yang selalu menjunjung tinggi orang-orang yang berjuang dengan senjata (warrior).
Hatta adalah seorang muslim saleh dengan mentalitas Calvinis. Ia sangat rendah hati, pemalu, dan sangat tak menyukai kemegahan. Ia tak peduli dengan soal-soal yang sensual. Saat-saat yang paling membahagiakannya adalah ketika membaca buku tentang ekonomi dan politik. Ia tertarik pada seni, tapi bukan karena seni semata. Ia menyukai seni Bali, misalnya, karena, "itu datang dari rakyat. " Hatta manusia yang penuh logika. Tapi ia juga seorang kawan yang setia. Ia menjadi perdana menteri pada masa-masa krisis perundingan Indonesia-Belanda.
Sebetulnya, Hatta, yang kelewat jujur dan sederhana, lebih tepat menjadi profesor di universitas. Malah, karena kesalehannya, ia bisa jadi seorang pemuka agama. Dibandingkan Soekarno, Hatta tak berambisi menjadikan dirinya populer. Tapi kedua tokoh itu, dengan kesejajaran karakteristik, bisa saling mengisi. Soekarno dengan showmanship, Hatta memiliki kemampuan administratif yang kuat. Soekarno memiliki daya demagogis, Hatta punya integritas. Pendek kata, Soekarno dan Hatta, sebagai presiden dan wakil presiden, merupakan kombinasi yang harmonis.
Kabinet Hatta dipandang sebagai kabinet sayap kanan. Karena itu, hampir tak mungkin mencari dan berbicara dengan orang-orang "besar" yang ada di kiri. Tapi saya merasa, kesempatan bertemu Amir Syarifudin dan kawan-kawan akan segera tiba. Karena, bekas penghubung mereka, Suripno, teman sejawat saya, akan segera tiba dari Praha. Agus Salim tahu bahwa saya bersahabat dengan Suripno. Ia juga tahu Suripno ada di bawah tanggung jawabnya. Karena itu, ia atur agar saya bisa tinggal bersama Suripno di Terban Taman No. 8, tak begitu jauh dari kediamannya.
Selagi saya sibuk dengan aktivitas-aktivitas politik, Angkatan Udara Republik Indonesia masih menggunakan tenaga dan keahlian saya untuk menembus blokade Belanda. Perusahaan penerbangan POAS, sekalipun dengan skedul tak teratur, masih terus menerbangkan pesawat ke Indonesia setiap dua minggu sekali. Dari Muangthai datang kabar bahwa penerbangan ilegal itu menjadi sasaran protes organisasi penerbangan sipil internasional. Melihat tidak banyaknya nota protes dan foto-foto yang disampaikan Poldermann, wakil Belanda di Bangkok, pemerintah Belanda sadar bahwa Muangthai tak bisa ditekan begitu saja dalam masalah dukungan mereka terhadap Indonesia.
Bahkan, tanpa diketahui Belanda, Jawatan Pos Muangthai merencanakan untuk membuka hubungan telegram tak resmi dengan Yogyakarta. Kemudian kami punya gagasan menerbangkan para pemuka Muangthai ke Yogyakarta sebagai tamu-tamu terhormat pemerintah Indonesia. Pada waktu membawa mereka, saya berjumpa teman lama, Praparsee, wartawan Nakorn Sarn, dan Kukrit Pramoj (kelak menjadi Perdana Menteri Muangthai).
Dalam penerbangan saya perhatikan ada sedikit ketegangan antara awak pesawat dan tamu-tamu terhormat tersebut. Pasalnya, dan ini belakangan saya ketahui, Nakorn Sarn telah memberitakan rencana penerbangan lengkap dengan tanggal dan jam berangkat dari Bangkok serta rencana tiba di Yogyakarta. Selang beberapa waktu kemudian, guna merebut publisitas luas untuk keuntungan politis Republik, terutama dalam masalah blokade Belanda, kami menawarkan perjalanan cuma-cuma buat wartawan-wartawan asing. Kami memperhitungkan bahwa angkatan udara Hindia Belanda takkan berani menembak jatuh pesawat yang membawa wakil kantor-kantor berita dan media terkemuka itu, karena risiko ada di pihak mereka. Belanda bisa dapat publisitas buruk.
Pada salah satu penerbangan lain, tiba di Yogyakarta seorang kulit putih lumpuh dengan rambut yang sudah memutih. Ia adalah John Lee, Wakil Direktur American Indonesian Corporation. Sejak itu perusahaan-perusahaan penerbangan mulai menengok lebih serius kepada Indonesia. Selama ini, tansportasi udara ke Indonesia dimonopoli POAS. Mereka tahu bahwa saya punya hubungan baik dengan pemerintah Indonesia. Lalu mereka menyurati saya agar mereka bisa terbang ke Indonesia.
Surat-surat itu saya sortir, lalu saya serahkan kepada Izak di Bangkok, dan kepada Suryadarma di Yogyakarta. Tak lama kemudian Suripno tiba di Yogyakarta. Ia tinggal serumah dengan saya. Lalu bergabung pula George Kahin (sekarang profesor ahli Indonesia di Universitas Cornell, Amerika Serikat). Saya agak canggung ketika berkumpul kembali dengan Suripno. Tentu saja kami gembira bertemu setelah sekian lama berpisah. Tapi, begitu kami bicara tentang gadis Dorothy Woodman, tentang perkumpulan dansa, tentang petualangan, dan tentang kawan-kawan di London, baru saya sadar ada garis pemisah antara kami.
Suripno mengaku telah mendaftar jadi anggota partai komunis. Sejak Suripno kembali, wartawan-wartawan Indonesia tampak begitu tertarik memperhatikan sekretarisnya, Suparto. Saya bertanya kepada Sukrisno, reporter kantor berita Antara, mengapa setiap wartawan ingin bertemu Suparto. Apakah karena mulut Suripno sudah dikunci oleh Moskow? Sukrisno cuma tersenyum. Ia tak berkomentar.
Belakangan saya ketahui bahwa Suparto adalah Muso, salah satu dari duo yang mendirikan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1920-an. Muso lebih dari 20 tahun tinggal di luar negeri. Malah ia mengaku pernah menjadi warga negara Uni Soviet. Suripno bertemu Muso di Praha, dan menyelundupkannya ke Indonesia.
Muso
Sejak Suripno masuk Departemen Luar Negeri, selalu muncul kesulitan. Ia tak berusaha sedikit pun, paling tidak berpura-pura, menunjukkan diri sebagai bawahan Agus Salim. Malah ia menganggap dirinya orang kedua Front Demokrasi Rakyat setelah Amir Syarifudin. Selain itu, Suripno juga menganggap dirinya sebagai orang yang akan membujuk pemerintahan Hatta mengubah politik luar negeri Indonesia.
Ia, misalnya,, enak saja membatalkan janji dengan menteri, karena harus rapat dengan Amir Syarifudin. Selain itu, ia selalu menghadiri rapat-rapat umum, dan selalu berpidato mendukung kebijaksanaan-kebijaksanaan revolusioner, yang tak lama kemudian diumumkan Muso di Madiun. Walau para pemimpin kiri hadir pada peringatan ulang tahun ketiga Republik di Istana pada 17 Agustus, itu tak lebih dari sekadar basa-basi.
Pada waktu upacara, kelompok Amir Syarifudin duduk di tempat yang tidak penting. Tapi Suripno duduk bersama para menteri di podium. Perayaan juga ditandai dengan peristiwa politik penting. Elemen-elemen militer dan pribadi dari Partai Murba (Trotskyist) yang menculik Sutan Sjahrir pada 1946 mendapat pengampunan.
Banyak alasan pelepasan orang-orang, seperti Tan Malaka, Sukarni, Abikusno, Subardjo, dan Muhamad Yamin, beredar di masyarakat. Mereka mengatakan bahwa mereka dilepaskan karena tak ada bukti yang menghubungkan mereka dengan penculikan. Tapi, saya dengar, mereka dilepaskan setelah berjanji setia terhadap pemerintahan Hatta. Di samping itu, boleh jadi mereka akan digunakan sebagai pengimbang kegiatan kaum komunis di Solo. Karena di Solo dukungan terhadap Murba juga cukup kuat.
sumber : Ada Saat Genting, Ada Saat Piknik - Tempointeraktif.com

Comments

Popular Posts