Kereta Api dan Kisah Kelam Pembangunannya (bagian 4)

The Sumatra Railroad: Final destination Pakan Baroe 1943-1945
Tragedi kemanusiaan yang terjadi di rimba Sumatera pada zaman pendudukan Jepang dalam Perang Dunia II yang silam terekam dalam buku karangan Henk Hovinga yang berjudul : “The Sumatra Railroad: Final destination Pakan Baroe 1943-1945” (5th rev. ed & 1st English ed.); Leiden: KITLV Press, 2010.

Ulasan tentang buku ini dapat dibaca pada majalah Tempo, English edition, 9 November 2010  atau klik Sumatra Railroad. Resensi MajalahTempo.

Sementara tulisan dalam bentuk pdf nya dapat dibaca di : klik.

Berikut ini tulisan yang sama membahas tragedi kemanusiaan di rimba Sumatera diambil dari situs Kadaikopi.com yang menuliskannya berdasarkan bacaan dari buku karangan Jan de Bruin, Het Indische spoor in oorlogstijd :
Pemerintah kolonial Belanda telah mempunyai rencana sejak tahun 1920an untuk membangun jalan kereta api dari Muaro (yang merupakan ujung Selatan jaringan jalan kereta api Sumatera Barat) ke Pekanbaru. Karena medan yang sulit, jalan kereta api ini belum sempat dibangun sampai pecahnya Perang Dunia ke 2.

Tentara kekaisaran Jepang mengetahui adanya rencana ini, dan tertarik untuk membangunnya berdasarkan kebutuhan strategis mereka.

Jepang memperkirakan saat itu bahwa satu waktu pasukan Sekutu akan mendarat di Sumatera. Rencana ini masih tertunda karena invasi Sekutu ke Italia.

Jika pendaratan terjadi, pasukan tambahan perlu didatangkan dari Malaya, melalui angkutan laut dengan rute sependek mungkin karena kapal selam sekutu sudah mulai menenggelamkan sejumlah kapal Jepang dengan serangan torpedo. Rute terpendek ini adalah melalui Singapura, menyeberang ke Sungai Siak yang sungainya cukup dalam. Selain itu sejumlah pulau-pulau kecil di muara sungai ini dapat jadi perlindungan bagi kapal-kapal Jepang. Sungai Siak dapat dilayari kapal berukuran sedang sampai ke Pekan baru.
Death Railways Muaro-Pakanbaru

Sebenarnya terdapat dua jalan raya yang menghubungkan Pakanbaru dengan pantai Barat Sumatera, yaitu yang melalui Bangkinang, dan satu lagi yang melalui Lipat Kain.
Pakanbaru-Muara
Sumatera Railway
Pada waktu itu sejumlah sungai belum memiliki jembatan, dan kendaraan dibawa dengan ferry sederhana (pelayangan). Kondisi ini dinilai tidak sesuai untuk angkutan militer cepat. Keberadaan suatu jalan kereta api yang menghubungkan Pekanbaru dengan jaringan kereta api Sumatera Barat kemudian menjadi alternatif yang dipilih.

Disamping pertimbangan strategis tersebut, bala tentara Jepang juga memerlukan angkutan batu bara dari Ombilin ke Pekanbaru dan terus dibawa dengan kapal ke Singapura.
Pengalaman mereka dalam membangun jalan kereta api maut (Death Railways) Burma-Siam yang dapat  diselesaikan pada tahun 1943 dalam waktu 18 bulan, mungkin merupakan pertimbangan juga dalam pembangunan jalan KA Muaro-Pekanbaru ini.

Disini digunakan metoda pembangunan yang persis sama : penggunaan romusha dan tawanan perang Sekutu (POW) sebagai tenaga kerja paksa. Sama pula dengan jalan KA Burma-Siam, dimana rel dan jembatan didatangkan dari negeri-negeri yang didudukinya, di Death Railways Sumatera ini mereka menggunakan rel dan jembatan yang didatangkan dari pulau Jawa dengan membongkar sejumlah jalan kereta api dan jembatan di sana.

barak para POW sekutu

Tawanan Perang Sekutu (POW)

Para Romusha yang Selamat
Tenaga romusha didatangkan dari Jawa dan bagian-bagian Indonesia lainnya, yang dibawa dengan kapal ke Emmahaven (Teluk Bayur), untuk selanjutnya dibawa dengan kereta api ke Muaro. Pekerjaan dimulai dari Muaro pada tahun 1943.

Para tawanan perang (POW) Sekutu terutama didatangkan dari kamp-kamp interniran di pulau Jawa. Jumlah mereka antara 5.000-6.000 jiwa. Mereka dibawa dengan kapal ke Pekanbaru dan memulai pekerjaan pembuatan jalan KA ini start dari Pekanbaru menuju Muaro pada tahun 1944.
Lokasi Kamp antar Muaro-Pekanbaru

Jalur Muara-Pekanbaru

Jalur kereta api ini menghubungkan Muara, yang merupakan ujung jalur SS di Sumatera Barat, dengan Pekanbaru, sebuah kota pelabuhan di sungai Siak. Jalur sepanjang 220 km ini dibangun antara 1943-1945. Alasan pertama dan utama untuk pembangunan jalur ini adalah untuk mengangkut batu bara dari Tapui, yang terletak di cabang dari jalur ini. Alasan kedua adalah alasan strategis: menghubungkan Samudera Hindia dengan Selat Malaka, pada suatu masa ketika kapal-kapal Jepang terancam oleh torpedo Sekutu.

Jalur ini dibangun di bawah pengawasan Korps Angkatan Darat ke-25. Jepang sendiri sama sekali tidak menyediakan sarana dan prasarana untuk pembangunan jalur ini; semuanya didatangkan dari Jawa dan Sumatera.

Alasan strategis untuk pembangunan jalur ini jauh lebih kecil dibandingkan jalur kereta api di Burma, yang diharapkan menjadi jalur transportasi militer Jepang ke garis depan di Burma dan ke bagian timur India. Sementara jalur Burma mulai dibangun pada tahun 1942, jalur Pekanbaru baru dibangun pada bulan Maret 1943. Kereta api pertama antara Padang-Pekanbaru baru berjalan tanggal 15 Agustus 1945, ketika Jepang menyerah.

Sekitar 50.000 romusha dan hampir 700 tawanan perang, terutama orang Belanda dan Inggris, mengalami kelelahan, kurang makan dan penyakit tropis ketika membangun jalur ini. Tampaknya Jepang sengaja melalaikan kondisi kesehatan para pekerja ini. Para pekerja selalu mengalami kekurangan obat-obatan, para dokter terpaksa melakukan pengobatan dalam kondisi yang amat buruk. Setelah perang berakhir, diketahui bahwa berkotak-kotak obat dari Palang Merah tertahan begitu saja di Pekanbaru. Tampaknya Jepang tidak menyadari bahwa para pekerja yang sehat akan menyelesaikan jalur ini dengan lebih cepat! Kondisi para tawanan perang yang membangun jalur Burma masih lebih baik.

Sekitar 80 persen dari para romusha, dan 14 persen dari para tawanan perang, tidak pernah pulang kembali. Ini bukan saja karena perlakuan terhadap para romusha lebih buruk, namun juga karena antara Oktober 1943 hingga Juni 1944, para tawanan perang belum dipekerjakan untuk pembangunan jalur ini.

Romusha membangun jalur dengan tenaga otot: 30 ribu orang bekerja dengan pacul, sekop dan keranjang. Sekitar 5000 tawanan perang Inggris dan Belanda membangun jembatan dan memasang rel, juga dengan tenaga manusia. Pada tanggal 24 Mei 1944 rel mulai dipasang dari Pekanbaru. Pada akhir tahun itu, rel sudah mencapai Logas.

Pada 7 Maret 1945 rel mulai dipasang dari Muaro. Antara Muaro dan Logas para romusha dan tawanan perang bekerja bersama-sama membangun jalur. Di bagian-bagian lainnya, Jepang memisahkan para romusha dan tawanan perang.
Peta Kamp 9, Logas

Jalur Muara-Logas hanya digunakan oleh kereta api yang membawa material dalam proses pembangunan. Kereta api resmi untuk pembukaan jalur pada tanggal 15 Agustus 1945 berjalan dari kedua ujung, yang satu mungkin berangkat dari Muara, dan yang lain dari kamp 10, dekat Lubukambacan. Upacara singkat pembukaan berpuncak dengan pemasangan “paku emas”. Pada bulan September 1945 dijalankan kereta api untuk membawa bahan makanan bagi para tawanan perang di kamp, dan kemudian untuk membawa mereka keluar. Segera setelah itu jalur tidak bisa lagi dipakai.

Sementara itu, jalur Logas-Pekanbaru, menurut beberapa laporan, benar-benar dipakai. Di jalur ini berjalan kereta api yang membawa tawanan perang dari kamp-kamp ke tempat kerja, dan juga kereta api barang, pengangkut bahan-bahan kebutuhan hidup dan kereta api pengangkut batu bara. Pada bulan Juni 1945 alat-alat bengkel dari Pekanbaru dibawa ke Logas. Sejak bulan itu, Logas menjadi balai yasa untuk perawatan kereta api. Di sana dapat diperbaiki gerbong barang dan juga diproduksi tirpon.

Jalur Petai-Pekanbaru sepanjang 119 km, dan juga jalur sepanjang sekitar 18 km ke tambang batu bara di Tapui (11 km jalur sempit 700 mm, sisanya jalur 1067 mm) dipakai sejak awal Mei 1945 sampai 15 Agustus 1945 untuk mengangkut batu bara. Menurut Neumann dan Meijer, ada “dua atau tiga kereta api batu bara setiap minggunya”, dan juga “beberapa gerbong batu bara disambungkan ke kereta api pengangkut tawanan perang”. Jalur ini hanya aman untuk kecepatan sangat rendah, menurut Meijer kecepatan rata-rata adalah lima kilometer per jam, dan sering terjadi keluar rel.

Sebagian besar trayek Muara-Pekanbaru mengikuti jalur yang dirancang SS pada dasawarsa 1920-an, yang karena krisis ekonomi batal dibangun. Jalur rancangan ini memiliki tanjakan maksimum 1 %. Sekitar 85 persen jalur yang dibangun Jepang mengikuti rencana ini, namun tanjakan maksimum menjadi 2 %. Rel didatangkan dari jalur-jalur di Jawa yang dibongkar, dan juga rel dari DSM.

Tidak dipahami mengapa Jepang mendatangkan lok 2C SCS (C54) yang sama sekali tidak cocok untuk jalur berkelok-kelok dan lemah ini. Juga lok 1B1 dari DSM sama sekali tidak cocok karena titik beratnya yang tinggi.

Bila dokumen tentang jalur kereta api Burma dibandingkan dengan jalur Pekanbaru, dapat disimpulkan bahwa jalur Pekanbaru bahkan lebih buruk lagi. Selain dua jembatan dari besi yang dibuat dari komponen cadangan milik SSS, semua jembatan dibuat dari kayu. Konstruksi ini sedemikian lemah dan karena balok yang digunakan pendek, bentang jembatan hanya bisa mencapai maksimum enam meter, sehingga perlu banyak pilar untuk menopangnya. Dengan banyaknya balok-balok kayu yang mengapung di sungai pada musim hujan, segera saja jembatan-jembatan ini rusak. Juga tanggul-tanggul yang dibangun terlalu curam, sehingga segera saja rusak oleh air hujan.

Bermacam-macam lokomotif dan gerbong dari Jawa dan Sumatera dibawa ke tengah-tengah hutan ini. Jepang sendiri juga mengirimkan beberapa truk-rel ke jalur ini. Sekitar 20 lokomotif dibawa ke jalur ini, yaitu empat lok 2C dari SCS (C54), tiga lok 1C1 dari SS (C30), satu lok 2B (B51) dan lok nomor 7, 30, 56, 60 dan 66 dari DSM. Lok milik SSS juga dipergunakan di jalur ini.

Disadur dari Jan de Bruin, Het Indische spoor in oorlogstijd, hal. 111-

Comments

Popular Posts