Kereta Api dan Kisah Kelam Pembangunannya (bagian 2)
Lokasi lok uap yang tersisa di jalur maut Sumatera, Muaro Sinjunjung - Pekanbaru berada di Jorong Silukah Nagari Durian Gadang Kecamatan Sijunjung |
MENYUSUR kawasan yang rusak diguncang gempa Sumatra Barat akhir 30 September lalu, maka jalur transportasi tak akan luput dari pantauan. Jalur transportasi tertua di Sumatera Barat, sama seperti di Jawa, tak lain adalah jalur kereta api. Sebelum menengok jalur kereta api yang melintas di Padang, ada baiknya kita menjenguk jalur yang agak berbeda, baik dari sisi kesulitan kawasan maupun dari proses pembangunan.
Jika semua jalur kereta api dibangun oleh Belanda, maka untuk jalur ini dibangun di masa pendudukan Jepang. Jalur mati ini tak lain adalah jalur Muaro Sijunjung - Pekanbaru. Yang menarik di kawasan hutan Sumatera ini tak lain adalah sisa lok uap zaman Jepang yang hingga kini masih teronggok di kawasan Muaro Sijunjung. Berdiri sendiri dengan kondisi yang sudah tak lengkap dan karatan, lok uap yang dari rodanya samar-samar terlihat angka 1904 itu sengaja ditempatkan di pinggir jalan kecil di antara hutan sebagai benda cagar budaya.
Untuk tiba ke lokasi, bukan hal yang mudah karena harus melewati jalanan sempit di antara hutan, sungai lebar, dan tebing-tebing. Jarak dari Sawahlunto ke Sijunjung sekitar 15 km tapi harus melalui jalan berkelok yang curam dan sulit dilalui. Rupanya kisah lok uap ini merupakan kisah penindasan puluhan ribu Romusha yang dipaksa bekerja oleh Jepang. Lok uap ini di masa Jepang pernah jadi lok yang menarik kereta di jalur Muaro - Pekanbaru.
Jalur kereta api Muaro-Pekanbaru (Logas), menurut pecinta sejarah kereta api, Tjahjono Rahardjo, selesai dibangun pada 15 Agustus 1945. Jalur yang kini sudah tak lagi terlihat bekasnya itu juga merupakan kuburan massal sekitar 50.000 romusha. Jalur Muaro - Pekanbaru merupakan bagian dari jalur yang direncanakan pemerintah Belanda untuk menghubungkan pantai timur dan barat Sumatera. "Tapi hambatannya sangat berat; banyak terowongan, viaduk dan jembatan harus dibangun. Karena belum dianggap layak, rencana itu tersimpan saja di arsip Nederlandsche-Indische Staatsspoorwegen (Perusahaan Negara Kereta Api Hindia Belanda).
Tahun 1942, ketika Jepang menduduki Indonesia, mereka menemukan rencana itu. Jalur rel itu akan membuat jalur transportasi yang menghindari Padang dan Samudera India yang dijaga ketat kapal perang Sekutu. "Jalur itu memperpanjang jarinngan Staatsspoorwegen ter Sumatra Weskust (SSS) sepanjang 215 ke pelabuhan Pekanbaru," begitu tulis Tjahjono.
Material kereta api yaitu rel, lokomotif, dan gerbong didatangkan dari tempat lain termasuk beberapa lokomotif bekas Deli Spoorweg Maatschappij (DSM) dan Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS).
Dalam referensi lain disebutkan, sebagian besar trayek Muaro-Pekanbaru sepanjang 220 km mengikuti jalur yang dirancang Staatsspoorwegen (SS) pada dasawarsa 1920-an, yang karena krisis ekonomi batal dibangun. Jalur rancangan ini memiliki tanjakan maksimum satu persen. Sekitar 85 persen jalur yang dibangun Jepang mengikuti rencana ini, namun tanjakan maksimum menjadi dua persen.
Perihal jalur kereta api maut, sejarah mencatat, Jepang menorehkan kisah kejam tak hanya di jalur Muaro Sijunjung – Pekanbaru, tapi juga di Banten Selatan di jalur Saketi – Bayah. Sebelumnya, Jepang sudah membuka jalur kematian dari Thailand ke Burma. Sebuah jalur kereta api yang juga sudah direncanakan oleh pemerintah Inggris, namun karena kondisi alam yang berat maka rencana itu dikesampingkan.
Jepanglah yang kemudian mengacak-acak dokumen Belanda dan Inggris dan menemukan rencana jalur tersebut untuk kemudian mewujudkannya melalui tangan, darah, dan nyawa para romusha yang tak hanya terdiri atas bangsa Indonesia tapi juga Australia, Inggris, Amerika, dan Belanda.
Jadi selama Perang Dunia II (1938-1945) Jepang membangun tiga jalur kereta api di dua wilayah di Asia Tenggara yaitu jalur Thailand-Burma, Muaro Sijunjung-Pekanbaru, dan jalur Saketi-Bayah. Jepang menggunakan tahanan yang dipaksa kerja dan seperti dikirim ke neraka karena puluhan ribu jiwa melayang dalam proyek pembangunan jalur kereta api tersebut. Jalur kereta api di dua wilayah Indonesia itu tak lagi bersisa, seperti juga tragedi kekejaman Jepang yang seakan terlupakan.
Meski lok uap ini dijadikan cagar budaya, sayangnya lebih banyak orang yang tak tahu akan keberadaannya. Bahkan banyak orang tak tahu ada jalur kereta api Muaro Sijunjung-Pekanbaru. Lokasi cagar budaya berupa sisa lok uap di Muaro juga jadi salah satu kendala, yaitu di hutan Sumatera, meski panoramanya indah, dengan jalanan di sepanjang aliran sungai Batang Kuantan, tapi tak ada penanda yang menunjukkan arah lokasi.
Lokasi lok uap sisa jalur maut Sumatera itu ada di Jorong Silukah Nagari Durian Gadang Kecamatan Sijunjung. Lokomotif uap itu ditemukan masyarakat Silukah pada tahun 1980 saat pembuatan jalan darat dari Silokek ke Durian Gadang dan terus ke Tapus.
Selain di Silukah, jalur kereta api itu juga melewati Silokek, di mana romusha yang baru didatangkan dari Jawa, diturunkan di daerah Ngalau Cigak Nagari Silokek. Di sepanjang jalur Silukah-Silokek inilah terdapat kuburan masal dari ribuan bahkan puluhan ribu romusha. Silokek kini jadi tempat wisata karena pemandangannya.
WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto
Sumber : Wisata Kota Toea
Comments