Kereta Api dan Kisah Kelam Pembangunannya (bagian 3)
Jalan KA Maut Muaro-Pekanbaru yang Sia-sia dan Dilupakan: Misteri Lok Uap di Jalan Sail, Pekanbaru (Bagian 1)
Kelanjutan tulisan ini dapat dibaca pada link dibawah ini : “Jalan KA maut Muaro-Pekanbaru yang Sia-sia dan Dilupakan” terdiri dari 8 bagian sebagai berikut (masing-masing bisa langsung di klik) :
Disusun oleh : Epy Buchari
Tahun 1961-1964 orang tua saya menetap di Pekanbaru karena menangani pekerjaan di kompleks lapangan terbang AURI Simpang Tiga.
Pada tahun 1963 saya pernah berlibur ke Pekanbaru dengan satu-satunya sarana transportasi yang dapat digunakan waktu itu : pesawat GIA ( Garuda Indonesian Airways, nama perusahaan penerbangan Garuda waktu itu). Angkutan udara merupakan pilihan satu-satunya yang memungkinkan. Jalan darat belum ada, naik kapal nyambung-nyambung jalan darat, bisa-bisa sampai di Pekanbaru liburannya sudah habis. Zaman itu pelajar dan mahasiswa diberi keringanan berupa discount ticket 50%, dengan sedikit pengurusan administratif yang sekadar memerlukan surat keterangan domisili orang tua kita.
Orang tua saya waktu itu tinggal di Jalan Sail yang menurut ingatan saya hanya berjarak sekitar 100 meteran dari tepi Sungai Siak. Yang paling melekat dalam ingatan saya tentang rumah itu sampai saat ini adalah keberadaan sebuah lolomotif uap di kebun bersemak di belakang rumah itu. Lokomotif boleh dikatakan masih dalam keadaan utuh.
Orang tua saya menjelaskan bahwa lok uap tersebut berasal dari Muaro di Sumatera Barat, yang dibawa tentara Jepang melalui jalan kereta api yang dibuat dari Muaro melalui Logas sampai ke Pekanbaru. Beliaupun bercerita tentang ribuan romusha yang dipekerjakan secara paksa membangun jalan kereta api itu bersama tawanan perang tentara sekutu. Jalan kereta api ini ternyata tidak pernah atau tidak sempat dimanfaatkan oleh tentara Jepang karena Jepang sudah keburu kalah dalam Perang Dunia ke 2 setelah “dipaksa” menyerah setelah Sekutu menjatuhkan bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Saya sangat terpukau dengan kisah orang tua saya ditambah dengan keberadaan sisa sejarah tersebut di belakang rumah di jalan Sail itu. Kenapa ? Karena beberapa tahun sebelumnya di Indonesia diputar film kisah perang Dunia ke 2 yang sangat terkenal yaitu “Bridge on the River Kwai” yang diangkat berdasarkan kisah nyata pembuatan jalan kereta api antara Thailand dan Burma oleh tentara Jepang yang juga dikerjakan oleh Romusha yang sebagian berasal dari Indonesia, dan tawanan perang Sekutu (POW=Prisoner Of War). Film ini dibintangi oleh William Holden, Alex Guiness dan Jack Hawkins yang merupakan bintang-bintang film legendaris Holywood.
Kisah orang tua saya yang terkait dengan bukti keberadaan lok uap di jalan Sail itu, menyadarkan saya bahwa kisah yang sangat serupa tampaknya juga pernah terjadi di Sumatera.
Bukti-bukti sejarah di Pekanbaru ini menarik minat saya karena kebetulan setahun sebelum ke Pekanbaru itu saya liburan dengan teman-teman ke Tanjung Karang – Lampung, dan mengunjungi bukti kehebatan ledakan dahsyat gunung Krakatau tahun 1883 berupa sisa setengah utuh dari sebuah kapal uap yang terlempar oleh ombak (yang belakangan ini dikenal sebagai tsunami) sebagai akibat hancurnya gunung tersebut. Tsunami melemparkan kapal uap itu ke hulu sungai yang saat itu terletak disebuah bukit di tengah kebun kelapa di pinggiran kota Tanjung Karang. Sungai itu tampak meliuk-liuk menuju lautan yang tampak terletak sangat jauh.
Sejak itu saya sangat terobsesi dengan sisa-sisa sejarah berupa kapal di Tanjung Karang dan lok uap di jalan Sail selama bertahun-tahun. Kepada teman yang kebetulan orang Lampung dan orang Pakanbaru saya selalu menanyakan keberadaan kedua buah bukti sejarah tersebut. Saya sedih kemudian hari mendengar bahwa sisa kapal sudah tidak ada, mungkin dijual sebagai besi tua. Demikian juga dengan teman dari Pekanbaru, mereka malah tidak pernah tahu dengan adanya lok uap di tengah kota Pekanbaru, ataupun kisah jalan kereta api maut Muaro-Pekanbaru yang memilukan itu. Ada perasaan sedih karena peristiwa besar bersejarah itu seakan menjadi hilang saja dibawa angin lalu.
Beberapa kali saya ke Pekanbaru dalam rangka pekerjaan, tapi tidak pernah sempat untuk berkunjung kembali ke Jalan Sail. Sampailah kira-kira tiga tahun yang lalu saya singgah di Pekanbaru dan menyempatkan diri untuk menelusur kembali keberadaan lok uap di jalan Sail dengan bantuan seorang teman, bung Syahrial urang awak yang sudah lama menetap di Pakanbaru. Dia kaget karena tidak pernah tau dengan kisah jalan kereta api Muaro-Pekanbaru itu, apalagi tentang sisa lok uap di jalan Sail, sedangkan katanya isterinya bekerja menangani museum di Pekanbaru.
Kami datang ke jalan Sail dan menanyakan keberadaan sebuah lok uap kepada penduduk di sepanjang jalan itu. Semua mengatakan tidak pernah tahu. Seorang penduduk separoh baya menyarankan untuk mencarinya di jalan Lokomotif yang terletak tidak jauh dari jalan Sail.
Pencarianpun gagal tidak menghasilkan sesuatu informasi keberadaan si lok bersejarah itu, sampai seseorang menyebutkan adanya sebuah monumen peringatan pekerja kereta api di pinggir jalan di daerah arah ke Simpang Tiga (saya lupa nama jalannya, tapi rasanya jalan yang menuju ke luar kota (tapi bukan jalan ke Bangkinang).
Hati saya lega karena kami kemudian menemukan monumen tersebut, di tepi jalan, di tengah semak lalang.
Monumen ini berupa sebuah lokomotif uap yang diletakkan diatas sebuah pelataran yang ditinggikan kira-kira 1.50 meter dari muka tanah. Di sebelahnya terdapat makam yang juga tidak terurus. Melihat adanya nama Jawa di nisan makam, tampaknya sejumlah mantan romusha yang selamat dan kemudian meninggal di daerah Riau dimakamkan di sini. Di dinding monumen tercantum keterangan singkat tentang jalan kereta api maut Muaro-Pekanbaru dan para korban romusha. Lok uap berada dalam kondisi yang boleh dikatakan utuh.
Saya tidak tahu apakah lok itu adalah lok yang dulu saya lihat berada di belakang rumah di jalan Sail. Tapi saya mulai berfikir tentang kemungkinan keberadaan lebih dari satu buah lok uap yang sempat melewati rute maut itu dibawa dari Muaro ke Pekanbaru oleh bala tentara Jepang. Saya bersyukur bahwa minimal ternyata Pemda Riau memiliki kepedulian atas peristiwa bersejarah yang menelan nyawa puluhan ribu romusha dan ribuan orang tawanan perang Sekutu yang tewas dalam proses pembuatan jalan kereta api Muaro-Pekanbaru.
Walau sudah mengetahui monumen di kota Pekanbaru tersebut, saya masih penasaran ingin sebanyak mungkin mengetahui kisah pembuatan kereta yang sangat menarik dan tragis ini. Tidak banyak yang dapat saya lakukan , sampai akhirnya ditunjang oleh kemajuan teknologi komunikasi pada beberapa tahun terakhir ini, saya mulai menggunakan fasilitas internet secara lebih intensif untuk mencari beragam data dan informasi yang terkait dengan pembangunan jalan KA maut tersebut. Ternyata cukup banyak situs yang tersebar di dunia maya yang menceritakan peristiwa besar, baik yang berasal dari pemerintahan Belanda, Inggris, Australia, serta juga yang memuat penuturan Prisoner Of War (POW) Sekutu yang ikut dalam pembangunan apa yang disebut sebagai “Death Railway” Muararo-Pekanbaru, dan berhasil bertahan dan selamat keluar dari neraka di tengah kerimbunan hutan Sumatera itu.
Satu demi satu data dan informasi menyangkut “Death Railways” Muaro- Pekanbaru mulai diperoleh dan sejarah ini mulai pula terungkap secara lebih jelas.
Penelusuran lebih lanjut atas peristiwa ini lebih menyadarkan saya akan “skala” atau “magnitude” dari peristiwa ini yang ternyata cukup besar dilihat dari jumlah korban tewas yang mencapai puluhan ribu jiwa.
Mengingat lebih dari seribu jiwa korban tersebut merupakan POW, ternyata terdapat perhatian yang cukup besar dari pemerintah Belanda, Inggris, dan Australia yang masing-masing kehilangan ratusan orang warganya di sana.
Ketika saya mencermati sebuah gambar sketsa peta bagian Utara kota Pekanbaru yang dibuat oleh salah seorang tawanan perang Sekutu sebagaimana tampak di atas, saya baru menyadari bahwa ketika saya mengamati lok uap tua di belakang rumah orang tua saya di jalan Sail pada tahun 1963 yang silam itu, sebenarnya saya sedang berdiri kira-kira tepat diatas kawasan yang merupakan bengkel, stasiun, dan pusat logistik pembangunan jalan kereta api maut itu di Pekanbaru (!) Di gambar itu tampak bahwa kawasan dimaksud berada dekat sekali dengan sungai Siak.
Pada tahun 1963, tanpa disadari saya ternyata sebenarnya berada di atas kawasan yang kira-kira 20 tahun sebelumnya penuh dengan hiruk pikuk aktivitas pembangunan, kekerasan, kekejaman, penyiksaan, keputus asaan, dan kematian secara amat mengenaskan dari orang-orang yang direbut kemerdekaan dan kebebasannya oleh pihak yang saat itu memenangkan peperangan……..
Peristiwa bersejarah yang menelan korban puluhan ribu jiwa yang tewas dengan cara yang sangat mengenaskan, ternyata luput dari perhatian Pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pernah peristiwa besar ini diingat dalam bentuk pembangunan monumen lok uap diatas, tapi ternyata kisah ini sudah sangat lama dilupakan.
Bagian 1 > Misteri Lok Uap di Jalan Sail, Pakanbaru
Bagian 2 > Bridge on the River Kwai, Kita Juga Punya
Bagian 3 > Jalur Strategis & Kerja Paksa
Bagian 8 > Telah Terbit Edisi Terbaru Buku Henk Hovinga
Comments