John Coast yang Berjasa Bagi Indonesia (Bersama Agus Salim, Bertemu Muso dan Piknik dengan Soekarno) -bagian 3


Diskusi Politik dengan Bung Karno di Parangkritis

SEBELUM kemudian terbang ke Bangkok dengan pesawat POAS, Minggu siang terakhir saya di Indonesia merupakan saat-saat yang selalu saya kenang. Presiden Soekarno dan Nyonya Fatmawati mengundang saya berwisata. Ketika pagi-pagi saya datang ke Istana, saya ketahui bahwa rombongan piknik sangat terbatas. Hanya Presiden dan Nyonya, lalu putra mereka, Guntur, Konsul India Mohamed Junus dan istri, serta saya. Kami mengendarai mobil Dodge ke Parangtritis. Sedan ini tidak terlalu baru, sudah dipakai sekitar tiga tahunan, tapi rasanya inilah satu-satunya mobil terbaik di wilayah Republik.

Perjalanan ke Parangtritis, sekitar 24 km di selatan Yogya, memakan waktu sekitar setengah jam. Sepanjang jalan, karena mobil kepresidenan dikenali, banyak orang melambaikan tangan, dan memekikkan, "Merdeka." Soekarno membalas lambaian dan pekikan itu dengan serius. Hari itu untuk kesekian kalinya saya melihat lagi berbagai kepandaian Soekarno. Lebih dari sekadar menikmati kesenangan berpiknik, saya kali itu sungguh mendapatkan kesempatan tak terduga untuk bicara politik tingkat tinggi.

Lima kilometer sebelum pantai kami turun dari mobil. Kami harus menyeberangi sungai, dan selanjutnya perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki melalui jalan kampung. Sepanjang jalan kami mengobrol santai.
Tiba-tiba Soekarno mendekati seorang ibu yang menggendong bayi, dan bertanya, "Bu, anaknya kena malaria?"
Ketika dijawab, "Ya", Soekarno menimpali lagi. "Sabar, ya, Bu. Kita sekarang sedang kehabisan kinina. Tapi sebentar lagi obat-obatan akan tersedia."
Setelah itu, Soekarno menoleh kepada kami dan berkata, "Malaria sialan itu memang berjangkit di sini, dan mereka hanya mampu merebus daun pepaya untuk obatnya. Belanda telah menahan peredaran kinina. Saya bisa mengetahui anak-anak yang terkena malaria dari wajahnya yang pucat. Sudah terlalu banyak saya mengamatinya."
Ia juga bisa mengenali mereka yang kejangkitan frambosia dan trachoma -- untuk kedua kali penyakit ini pun obat sangat kurang. Parangtritis adalah sebuah desa kecil. Penduduknya petani dan nelayan.
Tiba di Parangtritis, kami menuju ke sebuah gubug nelayan, dan kemudian duduk di tikar yang digelar untuk kami di lantai tanah berpasir. Rasanya, belum sempat mendinginkan badan, Soekarno sudah tegak lagi, dan mengajak kami, "Ayo, kita jalan-jalan di pantai. Biar Ibu menyiapkan makan siang kita. Saya harap Anda semua bisa makan dengan alas daun pisang. John, Anda bisa makan pedas?"
Kami berjalan lagi. Rupanya, para nelayan sudah tahu bahwa Bung Karno sedang piknik di tempat wisata kesukaannya. Di bukit-bukit pasir, yang memang banyak di Parangtritis, terlihat orang-orang berjongkok memandangi Soekarno tanpa berkedip. Soekarno sesekali bercanda dan menanyakan ihwal pekerjaan mereka -- sebuah upaya menunjukkan simpatinya yang tulus kepada rakyatnya. Pantai Parangtritis seolah-olah menjadi panggung teater.
Makan siang sudah siap. Kami duduk bersimpuh di tikar. Lalu makan pakai tangan dari piring daun 'pisang. Makanannya sederhana, tapi enak sekali. Selesai makan, Soekarno berujar, "Sekarang kita beristirahat." Kami mengangkat tikar besar dan menaruhnya di pasir.
Saya berbaring di sebelah Presiden. Di sisi kanan saya, Nyonya Fatmawati, yang segera pulas bersama si kecil Guntur. Saya lihat pasanan Tunus memejamkan mata. Tapi saya tidak bisa tidur. Saya memang tidak biasa tidur siang. Saya lihat Soekarno meletakkan tangan di dadanya, pandangannya menerawang langit-langit, dan jidatnya berkerut.
"Anda tidak tidur, Bung Karno?" bisik saya.
"Tidak," jawabnya. "Saya tidak bisa tidur biasa siang hari. Cuma saya senang rebahan begini barang satu jam untuk istirahat dan berpikir."
"Bagaimana dengan urusan politik?" sela saya. "Pada saat-saat begini, apa Anda bisa bicara politik?"
Ia segera menjawab, sambil tersenyum, "Boleh-boleh saja. Saya lihat Anda ingin mengatakan sesuatu. Silakan."
Selama setengah jam kami membicarakan hal yang selama berminggu-minggu saya diskusikan. Bahan pembicaraan kami bukan sesuatu yang orisinil. Apa yang kami diskusikan juga telah menjadi perhatian Sjahrir, paling tidak sebelum saya tiba di Yoyakarta. Saya bicara mengenai detail rencana memindahkan pemerintah ke Sumatera - ke Bukittinggi atau lebih jauh ke utara, ke Aceh, yang tak pernah bisa ditaklukkan. Saya sampaikan kepada Soekarno mengenai ketakutan saya terhadap kemungkinan terjadinya suatu aksi militer Belanda lain.
Belanda, kata saya, cenderung mengadakan "pembersihan" atas unsur-unsur yang mereka sebut "ekstremis dan teroris" dalam Republik. Sementara itu, mereka juga tampak ingin cepat-cepat mewujudkan negara federal Indonesia, yang bisa saja tidak memasukkan Indonesia di dalamnya. Lalu, cepat atau lambat, mereka mengirimkan ultimatum ke Yogyakarta. Penolakan atas itu berarti penyerangan yang bisa saja terjadi setiap saat.
Walau pemerintah bisa saja meninggalkan Yogyakarta dan menyingkir ke pegunungan, tak ada suatu rencana atau organisasi yang memungkinkan salah seorang anggota pemerintah lari ke luar negeri. Juga tak ada fasilitas radio yang memungkinkan pemerintah atau kelompok-kelompok gerilya bisa berhubungan. Di samping itu, juga tak tersedia satu pesawat milik Republik yang bisa digunakan apabila ada hal-hal darurat.
Akan merupakan prahara besar bagi Republik kalau suatu aksi militer bisa membuat pemerintah terpaku tanpa daya. Meski saya setuju, Indonesia akan menang dalam perang gerilya yang berlarut-larut, toh sulit bagi Republik mengenyahkan Belanda dengan kekuatan militer yang begitu ampuh dari Yogyakarta. Apabila pemerintah tak punya persiapan, apa yang akan dilakukan Pemerintah untuk menyingkir ke tempat lain dan untuk menunjukkan diri masih ada kepada dunia luar? Pemancar radio Yogyakarta pasti akan jadi sasaran pertama pengeboman Belanda.
Presiden kelihatan punya perhatian pada pertanyaan dan argumentasi saya. "Baiklah," katanya. "Marilah kita andaikan bahwa apa yang Anda katakan benar. Apa jalan keluarmu?"

Ini adalah saat yang saya tunggu-tunggu. "Pertama," kata saya, "saya kira, sebagian pemerintahan bersama inti administrasinya harus terbang sekarang juga ke Sumatera. Dengan demikian, hal paling buruk apa pun yang terjadi, Anda masih punya pemerintahan dengan menteri-menteri yang berfungsi. Agar pemerintah bisa berfungsi terus, apabila perang besar-besaran meletus, Republik mesti bisa mengirim orang ke luar negeri untuk mewakili pemerintah di forum internasional."
Saya juga menyarankan pemerintah membeli sebuah pesawat udara, atau paling tidak memiliki sebuah pesawat khusus yang ditempatkan di Maguwo, untuk menjamin agar orang-orang pemerintahan yang tak ikut bergerilya dapat ditebangkan ke luar negeri.
Dan, "Yang terpenting Anda dan Sjahrir harus mempertimbangkan untuk pergi ke luar negeri." Tidak semua yang saya katakan terinci. Apabila Belanda menyerang, dan jika dilihat dari pengalaman-pengalaman terakhir, diperlukan waktu agak panjang bagi PBB untuk berbuat sesuatu. Kalau Yogyakarta diserang, dan Suara Indonesia dapat dibungkam, tak ada yang bisa menceritakan versi kita kepada dunia tentang apa yang sebenarnya terjadi. Karena itu, saya juga mengusulkan agar Komodor Suryadarma mendatangkan sebuah pemancar radio baru, paling tidak berkekuatan 10 kW, dari Manila atau dari mana saja.
Radio itu mesti segera dipasang di Aceh. Karena daerah itu kecil kemungkinannya untuk jatuh ke tangan Belanda. Wilayah itu juga kawasan yang paling dekat dengan Sri Lanka, India, dan Burma.
"Menurut saya, hal paling berat dalam melancarkan perang gerilya di Indonesia adalah persoalan koordinasi dan bagaimana cara berhubungan. Kalau Jenderal Sudirman belum memperoleh radio lapangan, benda itulah yang jadi prioritas utama Suryadarma untuk diminta apabila Bob Freeberg datang dari Manila. Di sana banyak radio yang berasal dari surplus perbekalan tentara Amerika. Apabila kita mengadakan persiapan-persiapan semacam itu, paling tidak merupakan suatu jaminan dalam melawan Jenderal Spoor dan kawan-kawannya."
Bob Freeberg
Freeberg adalah pilot POAS yang banyak membantu Indonesia di zaman revolusi. Presiden Soekarno setuju dengan pendapat saya, dan kemudian berkata, "Sebenarnya, kami telah memikirkan apa yang Anda katakan itu. Saya harap tak usah kuatir lagi. Gagasanmu tentang radio itu bagus benar. Saya akan memperhatikannya, dan akan berusaha untuk mendapat barang-barang itu. Terima kaslh atas saran-saranmu itu.
Dalam perjalanan pulang, kami tak lagi berbicara mengenai hal itu. Tapi saya puas. Saya merasa, Presiden akan selalu menganggapi omongan saya dengan serius di masa datang nanti. Saya merasa apa yang saya katakan merupakan pencerminan dari ketakutannya, dan kekhawatiran saya juga kekhawatiran dia. Ketika tahu saya akan dikirim ke Singapura, ia mengajukan permintaan. Itu tak ada hubungannya dengan Utoyo atau Saroso. Juga bukan tentang candu. Katanya, "Dapatkah Anda menemukan kulit ikan hiu kecil untuk saya di sana?"
Dua hari kemudian, pesawat Bob Freeberg datang. Saya sudah siap untuk terbang ke Bukittinggi. Baru kali ini saya merasa sedih, lantaran harus meninggalkan pekerjaan di Yogyakarta. Tapi, di samping itu, ada perasaan lega, karena harus meninggalkan Republik yang sedang terkurung. Setiap hari orang berpikir bahwa Belanda akan kehilangan kesabarannya setiap saat, dan mulai menyerang.
Mohamad Natsir
Selama 48 jam terakhir, sebagian besar waktu saya gunakan untuk menemani Menteri Penerangan Mohamad Natsir. Akhirnya pemerintah mendapat kesempatan memberikan pernyataan mengenai "skandal candu". Saya, seperti juga Bung Hatta, tak tahu sedikit pun tentang hal itu, tapi harus mengeluarkan pernyataan di Bangkok. Dan saya harus mengeluarkan pernyataan yang sama dengan apa yang disampaikan Menteri Penerangan.
Ketika membantu mempersiapkan pernyataan itulah baru saya sadar bahwa Natsir seorang yang bermoral tinggi. Padahal, waktu itu saya masih berpegang pada pendapat demi tujuan politis cara apa pun bisa dihalalkan. Saya berniat menyerang kepura-puraan pemerintah Belanda. Mereka menuduh Indonesia menjual candu yang selama bertahun-tahun menjadi monopoli pemerintah Hindia Belanda. Mereka juga menuduh Indonesia tak bermoral, karena menjual narkotik. Indonesia berbuat itu justru karena ketidak bermoralan blokade Belanda.
Tapi Natsir, yang kepercayaan Islamnya mengatur segala pemikiran politik dan tingkah lakunya, menolak. Kejujuran Natsir mencegah kami membuat suatu pernyataan yang berlebihan. Ketika menaiki pesawat Bob Freeberg, dunia yang bebas rasanya bagaikan membentang di hadapanku.
(A. Dahana dan Mohamad Cholid)
09 Januari 1988
sumber : Ada Saat Genting, Ada Saat Piknik - Tempointeraktif.com

Comments

Popular Posts