Kereta Api dan Kisah Kelam Pembangunannya (bagian 5)


KA Maut Birma Pekanbaru

Oleh H. ROSIHAN ANWAR

PADA tanggal 11 Februari 2004 bertempat di Wisma Erasmus, Jakarta saya diundang membuka pameran foto “Jejak-jejak Perang” yang dibuat oleh Jan Banning. 24 buah foto diperlihatkan dari orang Belanda totok, Indo dan Indonesia yang selamat keluar dari penderitaan dipekerjakan sebagai kuli paksa oleh tentara Jepang pada pembuatan rel kereta api sepanjang 415 km antara Birma dan Thailand, dan kereta api sepanjang 220 km antara Pekanbaru dan Muara-Sijunjung, Sumatera Tengah, pada masa Perang Dunia II.

Jan Banning yang lahir di Hindia Belanda mendapat ide untuk merekam sejarah kereta api maut Pekanbaru dengan foto dan wawancara, hampir 50 tahun kemudian setelah kejadian. Ayahnya seorang insinyur kimia sebagai tahanan perang dipekerjakan di Pekanbaru, dan bersamaan kakeknya jadi kuli paksa di kereta api maut Birma. Ayahnya masih hidup dan fotonya diambil oleh Jan dengan pose dada telanjang, persis sebagaimana Romusha Indonesia dulu bekerja pada pembuatan kereta api maut tadi.

Seorang Indo yang selamat dari neraka kereta api Birma George Voorman, berusia 84 tahun, hadir pada pameran foto. Dia bercerita kepada saya dulu dia marinir angkatan laut Belanda, ditawan dan diboyong ke Birma. Matanya hilang sebelah, pendengarannya kini menurun. Sehabis perang dia balik ke Indonesia dan bergabung dengan angkatan laut Republik Indonesia, melalui Eddy Martadinata di Surabaya. Kini George pensiunan ALRI.

KA (kereta api) Pekanbaru (kini ibu kota Provinsi Riau) dibangun tahun 1944-45 oleh tentara Jepang dengan mempekerjakan tawanan perang Sekutu terdiri dari Belanda, Inggris, Australia dan Romusha dari Pulau Jawa. KA Pekanbaru selesai dibikin tanggal 15 Agustus 1945, persis pada hari Dai Nippon menyerah kalah setelah Nagasaki dan Hiroshima dihantam oleh bom atom Amerika. Upacara selesainya KA disaksikan dari jarak jauh oleh tawanan perang bule dan Romusha Indonesia yang kurus kering, sedangkan Jepang masih bisa berteriak Banzai, Banzai dengan semangat.

Dari 6.764 tawanan perang bule yang tewas di KA Pekanbaru berjumlah 2.596 orang. Dari kl. 100.000 Romusha Indonesia pada akhir 1945 cuma 20.000 orang yang hidup. Wartawan Henk Hovinga dalam bukunya Eindstation Pekan Baru 1944-1945-Dodenspoorweg door het Oerwoud (1982) menulis mereka itu telah dipaksa bekerja “dalam suatu neraka hijau, penuh ular, lintah darat dan harimau, lebih buruk lagi miliaran nyamuk malaria, di bawah pengawasan kejam orang-orang Jepang dan pembantu mereka orang Korea”.

Sekarang ini KA Pekanbaru-Muara yang tadinya dimaksud untuk mengangkut batu bara dari Sawahlunto ke Shonanto (Singapura) telah lenyap ditelan banjir dan hutan, meninggalkan sana sini bekas lokomotif. Ceritanya tidak diketahui oleh generasi sekarang. Ia menjadi sepotong sejarah yang dilupakan.

**

KA Pekanbaru tidak begitu terkenal, bila dibandingkan KA Maut Birma-Thailand yang pada tahun 1957 dijadikan film berjudul “The Bridge Over The River Kwai” dengan aktor Inggris Sir Alec Guinness sebagai pemain utama.

Bulan Juli tahun yang lalu Menko Perekonomian Prof. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Djakti setelah membaca berita “River Kwai” dalam harian Jakarta Post (18-7-2003) menulis surat pribadi kepada saya. Dorodjatun berkata,

Yang mengherankan –dan ini tipikal sejarah versi Barat– tidak disebut ribuan Romusha yang berasal dari Pulau Jawa yang praktis mengalami kerja paksa yang tidak kurang kejamnya daripada terhadap tawanan perang Sekutu. Saya yakin tidak ada yang tahu pula bahwa seluruh sistem rel ganda KA Surabaya-Malang, Yogya-Solo, Jakarta-Cikampek dicabut dan dibawa ke sana. Selain itu juga ratusan lokomotif, gerbong barang dsb. Jumlah korban Romusha yang meninggal ataupun hilang tidak ada yang tahu sampai kini. Di mana makamnya pun tidak ada yang peduli. Apakah hal itu mau didiamkan saja?”

Sekitar 160.000 orang Romusha diangkut ke Birma oleh Jepang, dan 80-90 persen meninggal dunia. Ada sebuah cerita mengenai Romusha di KA Pekanbaru. P.E. Nijheuis, tawanan perang yang bekerja di Pekanbaru melukiskan dalam “Stem van Nederland” (11 Januari 1947) mengenai pertemuannya dengan Romusha.

“Apa kamu bikin di sini?” tanya Nijhuis. “Kami dari Jawa. Kami diambil dari desa. Kami harus kerja untuk Nippon”. “Dan berapa kamu dapat untuk itu?” “Lima rupiah, tuan.” Nijhuis berkomentar, untuk 5 rupiah orang-orang bebas harus menjual diri mereka untuk melakukan pekerjaan budak (slavenarbeid).

“Berapa umur anak itu?” tanya Nijhuis. “Soeleiman, tuan tanya umurmu berapa?” “Saya tidak tahu, tuan” (Dia mungkin berusia k.l. 7 tahun). Romusha itu terus berkata, “Saya tidak punya pakkian, tuan. Apa saya bisa dapat pakkian?”

Banyak dari sejarah bangsa yang telah dilupakan. Siapa yang masih ingat nasib kaum perempuan yang dipaksa oleh tentara Jepang menjadi pelacur, melayani kebutuhan seks serdadu Jepang, yang disebut troostmeisjas oleh Belanda, comfort women oleh Inggris, yugen yangfu oleh Jepang, jika tidak diungkapkan oleh wanita-wanita Korea Selatan pada tahun 1991 yang melancarkan aksi menuntut ganti kerugian dari pemerintah Jepang. Ganti rugi yang dituntut oleh perempuan-perempuan tadi dianggap sepi saja.

Pameran foto “Jejak-jejak Perang” membawa kita teringat lagi kejahatan perang di zaman Jepang. Dari tahun 1999 hingga 2001 atas inisiatif Nederlands Instituut Voor Oorlogs Documentatie (NIOD) diselenggarakan sebuah pameran keliling bertopik “Nederlanders, Japanners, Indonesiers –De Japanse bezetting ini Nederlands Indie herinnerd”. Pameran tersebut tidak sampai ke Indonesia, hanya digelar di Negeri Belanda dan Jepang. Mungkin karena khawatir timbul reaksi keras di negeri ini.

**

MEMANG banyak cerita penderitaan rakyat, kekejaman Jepang yang teringat kembali. Semuanya yang sangat menyakitkan hati dari zaman pendudukan Jepang. Wakil Presiden Mohammad Hatta pernah mengatakan kepada seorang penulis Amerika bahwa lebih dari satu juta orang mati di Jawa pada zaman Jepang. Tapi berapa persis jumlahnya, tiada seorang pun yang tahu, karena dokumentasi dan arsip telah hilang.

Meskipun Panglima Tentara ke-25 Dai Nippon yang bermarkas di Singapura dan bertanggung jawab atas pemerintah balatentara Dai Nippon di Singapura, Malakka, Borneo Utara dan Sumatera yaitu Letjen Morotaki Tanabe telah dihukum mati oleh pengadilan militer Belanda di Medan tanggal 30 Desember 1948, namun kenang-kenangan pahit belum terpupus sama sekali.

Di pameran foto Jan Banning di Erasmuis Huis bisa dibaca keterangan mantan pekerja paksa di KA Pekanbaru yang menyatakan misalnya “saya muak dengan Jepang”. Ada pula yang berkata, meskipun dia benci kepada Jepang karena pengalamannya dulu, namun dia membeli dan memakai mobil Jepang Toyota. Mobilnya bagus dan relatif murah. Tapi dia merasa diri bersalah bila membeli barang Jepang. Seorang lagi dengan suram berkata, “saya tidak ada masa depan lagi dalam hidup saya.” Tapi yang berkata ini mempunyai profesi dokter.

60 tahun yang lalu terjadi tragedi KA maut di Pekanbaru yang memakan banyak korban tawanan perang Sekutu serta Romusha Indonesia. Betapa pun pedihnya semua itu, namun kehidupan berjalan terus, dan kita harus bergerak ke arah masa depan. “We must move on,” ujar saya pada pidato pembukaan pameran foto “Jejak-jejak Perang”.***

Penulis wartawan senior.

Comments

Popular Posts