Menyingkap Sejarah Hindu-Jawa
Judul Buku: Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara
Penulis: Prof. Dr. Slamet Muljana
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan: I, September 2005
Tebal: viii + 303 Hlm (indeks)
Kenyataan sejarah kadang-kadang terlalu pahit untuk ditelan dan terlalu pedas untuk dirasakan. Sejarah adalah kaca benggala yang memuat pelbagai fakta yang pernah terjadi pada masa silam. Segala hal yang telah tergores dalam kaca sejarah, tak kan lagi bisa terhapus. Orang yang tidak senang mungkin akan berusaha untuk menyelubunginya atau melupakannya, tetapi ia tidak akan mampu untuk melenyapkannya. Orang dapat membuat pelbagai macam tafsir, tapi fakta sejarah yang ditafsirkan tidak akan berubah.
Begitupun juga dengan sejarah keruntuhan Majapahit, yang diiringi bertumbuhnya negara-negara Islam di bumi Nusantara, menyimpan banyak sekali fakta sejarah yang menarik untuk diungkit kembali. Sebagai kerajaan tertua di tanah Jawa, Majapahit bukan saja menjadi romantisme sejarah dari puncak kemajuan peradaban Hindu-Jawa, tetapi juga menjadi bukti sejarah tentang pergulatan politik yang terjadi di tengah islamisasi pada masa peralihan menjelang dan sesudah keruntuhannya.
Buku karya Slamet Muljana, sejarawan dan juga filolog Universitas Indonesia ini, selain melacak asal-muasal keruntuhan Majapahit, juga mencurahkan perhatian pada peran orang-orang Cina (Tionghoa) dalam proses islamisasi di Nusantara. Temuan Muljana membantah sekaligus mengkritik tesis yang telah lazim diterima oleh banyak sejarawan yang menyatakan bahwa Islam Nusantara adalah prototipe lain dari Islam yang berkembang di jazirah Arab.
Menurut Muljana, Islam yang ada di Nusantara, dan di Jawa khususnya, bukanlah Islam yang “murni” dari Arab, melainkan Islam hibrida yang memiliki banyak varian. Berbagai anasir juga turut menyertai perkembangannya.
Dalam buku ini, Muljana banyak menyitir dokumen-dokumen sejarah tak resmi, seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Padahal keduanya dibuat pada zaman kerajaan Mataram abad ke-17 dan beberapa sejarawan sempat mempertanyakan keabsahan tulisan yang ada dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Karena dalam kedua cerita itu, sejarah dijalin dengan dongeng sehingga sulit membedakan mana yang benar-benar fakta dan mana yang hanya fiksi. Lebih-lebih, kedua cerita itu tidak merujuk pada sumber sejarah yang dapat dipercaya, seperti prasasti dan karya sejarah tentang Majapahit dalam buku Pararaton dan Negarakertagama.
Buku yang terbagi dalam sembilan bagian ini tak hanya berpijak pada Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tapi juga pada sejumlah arsip ringkasan Preambule Prasaran, berita Tionghoa dari klenteng Talang, sumber berita Portugis, dan dari klenteng Sam Po Kong Semarang yang ditulis oleh Poortman dan dikutip Mangaraja Onggang (M.O) Parlindungan. Residen Poortman tahun 1928 ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Fatah itu orang Cina atau bukan sebagai dasar rujukan awal.
Perkembangan peristiwa itu ternyata menjadi sejarah politisasi bahwa Cina dikaitkan dengan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1926/1927. Maka, sang Residen itu menggeledah Kelenteng Sam Po Kong Semarang untuk mengangkut naskah berbahasa Tionghoa yang terdapat di sana, sebagian sudah berusia 400 sampai 500 tahun, sebanyak 3 cikar (pedati yang ditarik lembu). Arsip Poortman ini dikutip oleh M.O Palindungan yang juga menulis buku kontroversial, Tuanku Rao.
Berpijak pada sumber-sumber itulah, Muljana mengisahkan bahwa pada 1445, Raden Rahmad atau Sunan Ampel adalah pendatang asal Yunan yang bernama asli Bong Swi Hoo, cucu Bong Tak Keng, penguasa tertinggi Campa. Kemudian pada 1447, Sunan Ampel mengawini wanita keturunan Cina bernama Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantan Kapten Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun 1423). Dari perkawinan ini lahirlah Sunan Bonang yang juga berasal dari bahasa Cina, Bong Ang.
Putra Gan Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang yang menjadi Kapten Cina di Semarang. Tahun 1481 Gan Si Cang memimpin pembangunan Masjid Demak dengan tukang-tukang kayu dari galangan kapal Semarang. Muljana menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, menurut Muljana, adalah Toh A Bo, putra dari Tung Ka Lo, alias Sultan Trenggana (halaman 105).
Tak hanya keempat sunan itu yang keturunan Cina. Dalam buku ini, Sunan Giri, yang murid Sunan Ampel, juga berasal dari Cina. Ini dikaitkan dengan ayah Sunan Giri yang bernama Sayid Ishak, yang tak lain adalah paman dari Sunan Ampel alias Bong Swi Hoo sendiri. Sementara itu, Sunan Kudus atau Jafar Sidik juga disinyalir keturunan Cina bernama Ja Tik Su.
Dalam kesimpulan buku ini setidaknya ada enam wali yang merupakan keturunan Cina. Namun, kelemahan Muljana, sebagaimana ditulis Asvi Warman Adam dalam pengantarnya, bahwa Muljana hanya mendasarkan kesimpulannya pada buku yang ditulis oleh M.O Parlindungan dan tidak memeriksa sendiri naskah-naskah yang berasal dari klenteng Sam Po Kong Semarang itu.
Terlepas dari beberapa kelemahan Muljana dalam mengambil kesimpulan bahwa enam Wali Songo tersebut mengalir darah Cina, penggunaan sumber-sumber dalam buku ini tak pelak menghasilkan sebuah pembacaan sejarah dari perspektif “lain”, yang berbeda dari pembacaan dominan yang terlalu mengandalkan literatur-literatur resmi. Keuntungan yang kita peroleh dari rekonstruksi dengan cara demikian amatlah banyak dan berharga. Kita bukan saja disuguhi versi sejarah yang “tak resmi”, tapi juga kisah, dongeng, dan fakta-fakta menarik lainnya yang luput dari perhatian banyak orang.
Sebelumnya, buku ini pernah diterbitkan penerbit Bhratara, Jakarta, pada 1968. Tapi lalu dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung pada 1971, karena mengungkap hal-hal yang kontroversial waktu itu tentang enam Wali Songo berasal dari Cina.
Memang, saat Orde Baru berkuasa, berbagai hal yang berbau Cina disingkirkan secara sistematis. Dengan idiologi pembangunanisme-nya Orde Baru memunculkan sentimen anti-Cina dalam banyak hal, termasuk dalam penulisan sejarah. Tapi pada era reformasi yang telah berusia ketujuh ini, ada baiknya pendapat Muljana dalam buku ini dikaji ulang dengan pikiran yang lebih tenang.
M. Faliqul Isbah,
Mantan PU Majalah Arena UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
sumber : RuangBaca.com
Comments