Alasan Pelarangan Buku Runtuhnja Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnja Negara-Negara Islam di Nusantara
Tempo, 31 Juli 1971
Apa jang dikatakan sebagai mengganggu ketertiban umum dan ketertiban hukum, nampaknja memang sukar menemukan makna jang pasti. Seperti djuga jargon-jargon "anti Revolusi" ataupun "anti Pantjasila". Akan tetapi itu bukan alasan Djaksa Agung untuk a/n makna jang tidak djelas itu melarang beredarnja dua buah buku baru-baru ini.
Begitulah disebutkan dalam surat Keputusan Djaksa Agung No. Kep.043/DA/1971 terhadap buku Prof. Slamet Muljana. Runtuhnja Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnja Negara-Negara Islam di Nusantara dan No.Kep. 004/DA/6/ 1971 buat buku Ik Ben Papua Z.Asawor. Noerhadi, Kepala Bagian Hubungan Masjarakat Kedjaksaan Agung ternjata tidak begitu sukses mendekatkan keinginan tahu orang sekitar pelarangan itu dengan duduk perkara jang sebenarnja.
Misalnja -- begitu tanja orang -- mengapa baru sekarang dilarang, padahal Runtuhnja terbit tiga tahun jang lalu?
"Menjelidiki sebuah buku memerlukan waktu jang lama", djawab perwira Kedjak-saan itu sembari berdjalan dari lantai tiga Kedjaksaan Agung kelantai bawahnja. Bila kira-kira mulai dibatja'? "Kira-kira sedjak tahun 1969". Ini artinja Staf Ahli Djagung dalam urusan batja-membatja mendapat peluang 2 tahun menelaah kedua buku itu.
Akan tetapi keterangan itu kelihatannja belum kukuh benar, karena sehari sebelumnja, sang Humas ini menerangkan kepada Martin Aleida dari TEMPO: "Mungkin setjara kebetulan ada anggota Kedjaksaan Agung jang membeli dan membatja buku-buku itu. Mungkin ada laporan dari daerah atau ada jang mengadjukan pengaduan atau mungkin ketahuan ketika ada fihak jang mau mengadjukan izin terbit. Itu saja tak tahu".
Setelah beratau ini dan ber-atau itu, sampailah ia pada kesimpulan seadanja -- tapi tjukup normatif djuga: "Pokoknja Djaksa Agung mengeluarkan larangan. Bagaimana proses sampai larangan itu keluar, saja tak tahu". Dan tambahnja: "Saja tjuma menjampaikan".
Sum Kuning. Apa daja.
Memang begitulah sang Humas kita itu: rakjat Indonesia diberitahu oleh Antara dan kemudian dikutip beberapa koran bahwa "pokoknja Djaksa Agung mengeluarkan larangan" beredarnja kedua buku diatas. Dan karena sudah ada pokoknja, orang ingin tahu apa akarnja. Ketertiban umum dan hukum mana jang tersentuh?
Tangan kanan Djaksa Agung dibidang terang-menerangkan itu hanja suka memberi komentar begini "Mentjegah djangan sampai timbul hal-hal jang tak diinginkan dimasjarakat". Apa itu? Wallahu a'lam. Barangkali orang boleh membalik-balik keterangan Asikin Kusumaatmadja dalam hal pelarangan buku Sum Kuning tempo dulu. "Kalau alasan jang dipakai demi kepentingan umum", kata anggota Mahkamah Agung RI itu, "harus dipeladjari dulu kepentingan umum jang mana. Kepentingan umum di Indonesia masih kabur" (TEMPO, 17 April 1971).
Sekalipun harfiah kepenting-an tidak sama dengan ketertiban, tapi kiranja tudjuannja tak terlalu berkedjauhan. Maka itulah, tak heran kalau timbul fikiran-fikiran lain dengan jang dianut oleh fihak Kedjaksaan Agung. Misalnja, sebagaimana pendapat Profesor Rasjidi, orang menganggap bahwa Runtuhnja adalah sebuah buku ilmiah.
"Saja sekali buku begitu dilarang beredar", begitu didjelaskan Rasjidi. "Tulisan-tulisan ilmiah tidak boleh dilarang dengan kekuasaan, tetapi harus diselidiki sudut-sudut ilmiah jang dikemukakan tulisan-tulisan itu". Itulah sebabnja, sudah diduga kalau Profesor eks Canada, Sorbonne dan Kairo itu tjepat-tjepat mengamhil kesimpulan: Saja tak dapat menerima pelarangan Djaksa Agung itu. Kalau begitu kebebasan berfikir tak ada lagi" (lihat rubrik Agama).
Talang.
Adapun soal kebebasan berfikir ini adalah mendjadi pemikiran djuga bagi Djajusman, Direktur Bhratara, ketika ia menerbitkan buku itu tahun 1968, "pada saat mana Orde Baru sedang merealisir kebebasan mimbar". Penerbit buku itu mendjelaskan bahwa memang, ia menduga bakal ada reaksi terhadap hal-hal jang dikemukakan dalam buku itu, seperti dibilangnja kemudian: "Dan memang maksud kami menerbitkan buku itu untuk memantjing pendapat jang lain untuk tudjuan konstruktif. Tidak ada tudjuan lain dari-pada kepentingan ilmu."
Penerbit jang mentjetak 4.000 Runtuhnja untuk tjetakan pertama itu tak lupa mengemukakan bahwa dengan pelarangan itu jang sebenarnja rugi adalah Kedjaksaan Agung. Mengapa?
"Kan lebih baik kalau pemerintah, Departemen Agama misalnja mengemukakan sanggahan dengan bukti-bukti jang menundjukkan ketidak-benaran tulisan itu. Atau dapat dibentuk sematjam panitia departemental atau menggunakan LIPI. Dan bahan utama tulisan itu misalnja sekarang ini hisa diketemukan dinegeri Belanda atau disebuah klenteng di Talang".
Disini Noerhadi, sang Humas Djagung menjela: "Itu sudah kami fikirkan. Soalnja ada unsur jang kami anggap akan dapat menimbulkan hal-hal jang tak di ingini di dalam masjarakat". Dan apa itu, nampaknja suatu jang mahal untuk di djawabnja. Tapi untunglah ada Djajusman. Barangkali, katanja, bagian jang termuat dalam halaman 103 buku itu jang merupakan alasan pelarangan beredarnja.
Dibawah sub djudul "Sunan Kali Djaga dan Sunan Gunung Djati", dikatakan dengan tegas bahwa beberapa wali dari wali nan sembilan adalah Tjina (lihat Buku). Menurut Djajusman penegasan ini agaknja sangat sensitif bagi umat Islam dibanding umpamanja kalau dituliskan dengan "keturunan Tjina".
Iapun mentjeritakan-pengalamannja jang lain. "Kira-kira dua tahun jang lalu ada seorang teman saja mentjeritakan bahwa Radio Peking dalam sebuah siarannja mengatakan bahwa antara kaum Muslimin didaratan Tiongkok dengan jang di Indonesia terdapat hubungan jang erat sekali, seraja mengutip buku tulisan Slamet Muljana itu".
Telepon berdering.
Sekalipun akar persoalan ini masih belum tertjabut memang patut dimaklumi bahwa Djaksa Agung -- setidaknja menurut Noerhadi -- punja wewenang untuk bertindak seperti itu. Bukalah Undang-Undang Dasar 45 fasal I, kemudian Penpres 4/1963 jo. UU No.5/ 1969 serta salah sebuah resolusi Sidang MPRS 166. Tindakan Djaksa Agung, menurut Kepala Humas berbintang satu dengan strip dua dibahu itu adalah dimaksudkan untuk "to prevent" -- jang Indonesianja "mentjegah".
Noerhadi sudi djuga menambah pengetahuan pembatja bahwa terhadap masalah buku itu tak berlaku aturan bawa ke Pengadilan. "Djaksa Agung melarang dan itu sudah merupakan hukum. Ini kan soal buku, bukan pers", begitu sebutnja. Dan iapun tak absen menerangkan bahwa untuk melarang buku tak pernah kadaluwarsa. Ini artinja kapan sadja bisa dilarang. Tinggallah sekarang nasib penerbit buku itu sendiri.
Sebetulnja Djajusman berniat mentjetak ulang buku itu tapi itu tentu harus urung. Dan ia tak bisa memberikan reaksi apa-apa, karena pela-rangan hanja diketahuinja dari koran dan televisi. "Jang mana dari buku itu jang mengganggu djuga tak didjelaskan", katanja. "Tapi jang djelas bagi Bhratara pelarangan ini adalah jang kedua kalinja.
Jang pertama terhadap hukum Sangkuriang, karja puisi Utuy Tatang Sontani dengan alasan pengarangnja berada di Peking. Iapun tak akan merentjanakan apa-apa atas adanja larangan itu karena ia tak rugi sebab buku seperti itu hanja tinggal beberapa eksemplar sadja.
Jang dibuat Djajusman sekarang adalah hanja menerima telepon seperti katanja: "Selama dua hari ini telepon saja berdering terus banjak jang memesan buku itu lagi". Diapakanpun buku-buku itu sebetulnja tak begitu mendjadi persoalan asalkan bisa dirasakan: mengapa dilarang? Siapa lagi jang menerangkan kalau bukan aparat jang melarangnja.
Tapi kembali seperti kata sang Noerhadi. "untuk sementara tjukup itu sadja". Maksudnja jang mampu diterangkan oleh bagian penerangan ini hanja itu sadja. Djadi, sekian sadja, pembatja.
sumber : tempointeraktif
Comments