Ratih Miryanti, Kesaksian Wartawan Antara atas Tragedi 1965

Kisah Kesaksian Wartawan the National News Agency 'ANTARA' - Jakarta atas Peristiwa Tragedi Nasional 1965


Selamat siang Ibu2/ Bapak2 dan saudara/i yang saya hormati,

Saya mengucapkan terimakasih diberi kesempatan hadir bersama para hadirin sekalian untuk memperingati 100 tahun Djawoto, yang diadakan pada hari ini tanggal 23 September 2006 dengan tema: Perjuangan Wartawan Indonesia untuk Kemerdekaan Nasional, Kebebasan Pers dan Demokrasi.

Sehubungan dengan tema peringatan 100 tahun Djawoto, saya teringat kembali pada berita koran Belanda bernama “de Waarheid” terbitan tanggal 18 april 1966, berjudul “Indonesische ambassadeur Peking neemt ontslag”. Dalam berita koran tersebut intinya menjelaskan sikap tegas almarhum Bapak Djawoto, dengan cara mengajukan Permohonan Pemecatan Diri dari Jabatan Duta besar Republik Indonesia di Republik Rakyat Tiongkok. Adapun maksud tujuannya, memprotes keras kebijakan politik luar negeri pemerintahan baru Rejim Militer Soeharto terhadap hubungan bilateral antara Indonesia dan Tiongkok yang semakin memburuk. Dinyatakan pula bahwa almarhum Djawoto mengkritik kebijakan politik dalam negeri serta menuduh kekuasaan baru di Indonesia didukung oleh kekuatan agen rahasia Imperialis Amerika, CIA dalam melakukan tindakan aksi histery propaganda anti komunis, yang mengakibatkan banyaknya penangkapan dan pembunuhan serta pemenjaraan rakyat Indonesia. Juga kebebasan Demokrasi dimatikan,rasisme dihidupkan kembali serta pers dikenakan pelarangan terbit dan hanya surat kabar yang mendukung pendapat kekuasaan pemerintah rejim berkuasa di beri ijin terbit.

Ibu2/ Bapak2 dan para hadirin yang saya hormati, saát ini kehadiran saya sebagai putri kelima dari Ibu Rusiyati karena diminta oleh Oom Sarmadji selaku koördinator dari Perhimpunan Dokumentasi Indonesia di Amsterdam, untuk membacakan sebagian dari karya tulisan Ibu Rusiyati tentang kesaksiannya sebagai wartawan, yang mengalami peristiwa Gerakan Satu Oktober, disingkat GESTOK 1965.

Ibu Rusiyati bekerja sebagai wartawan Antara sejak tahun 1954 di Indonesia, akan tetapi ketika terjadi peristiwa GESTOK 1965 beliau mengalami kondisi sangat berbeda bilamana dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Bapak Almarhum Djawoto dkk bersama keluarganya di Tiongkok. Namun Ibu Rusiyati, yang juga salah satu kawan seperjuangan Almarhum Bapak Djawoto di dunia Jurnalistik sejak di masa perjuangan Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945, tidaklah lepas dari pemilikan cita-cita luhur yang pernah dirintisnya bersama Bapak Almarhum Djawoto dan kawan-kawannya, dan tentu visi dan misi perjuangannya sesuai dengan tema peringatan 100 tahun Djawoto hari ini, yaitu: “Perjuangan Wartawan Indonesia untuk Kemerdekaan Nasional, Kebebasan Pers dan Demokrasi.”

Seperti pula Bapak Almarhum Mahbub Djunaidi, yang ketika saya bertemu di seminar - Jerman Barat tahun 1985 menyatakan kepada saya: “Sayang sekali saya tidak bisa ke Belanda untuk berkunjung menemui Bapak Djawoto dan Ibu Rusiyati, saya anggap beliau-beliau itu para senior saya sejak saya bekerja sebagai wartawan di Lembaga Kantor Berita Antara. Akibat terjadinya peristiwa GESTOK 65 hubungan kami terputus dengan Bapak Djawoto, yang memang sejak tahun 1964 telah menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok. Juga dengan Ibu Rusiyati yang ketika terjadi peristiwa Tragedi Nasional 1965 telah di hukum penjara selama 13 tahun tanpa proses pengadilan. Saya menganggap kejadian Tragedi Berdarah itu adalah merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat, yang bermakna pada penghancuran secara sistimatis alam Demokrasi di Indonesia, tentu saya mengharap Perjuangan Wartawan Indonesia untuk Kemerdekaan Nasional akan tetap di teruskan dan di kembangkan sesuai dengan cita-cita prinsip dasar NASAKOM.” Demikian kata Mahbub Djunaidi.

Para hadirin yang saya hormati, sehubungan dengan acara peringatan 100 tahun Djawoto, bagian dari karya tulisan Ibu Rusiyati, yang akan saya bacakan ini sebenarnya ditujukan untuk Kerry Brogan, yang pernah mewawancarai Ibu Rusiyati pada tanggal 15 dan 16 November 1998 di Belanda. Ketika itu Ibu Rusiyati berusia 76 tahun. Dengan ini saya akan memulai membacakan kesaksian Ibu Rusiyati sebagai wartawan Antara, yang berkaitan dengan kejadian Gerakan Satu Oktober 1965 mengalami proses periode awal penangkapan kemudian menjadi alumni Tahanan Politik di penjara Bukit Duri dan di penjara Plantungan. Tahun 1975 beliau di pindahkan ke penjara Bulu – Semarang untuk dimasukan ke dalam kamar isolasi selama 2 tahun. Pada tahun 1978 Ibu Rusiyati di bebaskan secara bersyarat, yang artinya tidak memiliki hak penuh sebagai warga sipil Republik Indonesia.

Kisah Kesaksian Ibu Rusiyati:
Saya ditangkap oleh militer pada hari jum'at, tanggal 15 oktober 1965, di Kantor Pusat Berita 'ANTARA'. Saya masih ingat di tanggal satu oktober 1965 siang hari,kantor kami dan beberapa kantor berita harian ibukota lainnya sudah kena pelarangan terbit oleh KODAM V JAYA. Padahal bersamaan waktunya bulletin ANTARA terbitan siang hari sudah memuat berita mengenai GESTOK (Gerakan Satu Oktober).

Sejak pelarangan terbit diberlakukan para pegawai dari bagian redaksi maupun bagian administrasi setiap harinya tetap masuk kantor, begitupun dengan saya.
Kehadiran kami dikantor dengan maksud tetap siap untuk segera menerbitkan bulletin bilamana pelarangan terbit dicabut kembali.

Tanggal 8 oktober 1965 kantor kami di datangi oleh Letnan Kolonel (LetKol)Noor Nasution dari Palembang. Dia menyatakan bahwa kedatangannya atas tugas untuk memimpin Pusat Kantor Berita ANTARA. Kami sangat heran terhadap penugasan dirinya sebagai pemimpin kami. Dan sejak sa'at itu Pusat Berita ANTARA dibawah pimpinan seorang militer.

Tanggal 11 oktober 1965 bulletin ANTARA terbit kembali. Waktu itu saya sebenarnya masih menjabat wakil ketua Desk Dalam Negeri tapi dalam proses penerbitan bulletin tidak dilibatkan. Biar bagaimanapun saya setiap harinya tetap masuk kantor.

Tanggal 15 oktober 1965 gedung kantor ANTARA dikepung oleh pasukan militer dari Komando Daerah Militer jakarta, disingkat KODAM Jaya. 26 pegawai kantor ditangkap dengan cara satu persatu dipanggil namanya untuk berkumpul diruang redaksi. Mereka yang dipanggil untuk ditangkap, yaitu pimpinan umum redaksi bernama Soeroto serta lainnya yang menduduki posisi ketua dan wakil ketua dari redaksi afdeling Desk Dalam Negeri, Ekonomi, Luar negeri maupun Newsagency. Disamping itu ada satu orang dari bagian administrasi, berfungsi sebagai ketua bagian ketik, bernama Tini juga diikut sertakan. Dari mereka ternyata hanya dua perempuan, yaitu saya dan Tini yang tertangkap. Saya dengar bahwa tanggal 14 november 1965 masih dilakukan pembersihan lagi dibagian Afdeling Luar Negeri dengan 14 orang menjadi korban penangkapan.

Siang harinya kami diangkut dengan mobil militer menuju kompleks KODAM V Jaya . Sesampainya di kompleks tersebut kami disuruh turun dari mobil untuk berjalan menuju ke salah satu gedung bernama Penyelidikan Khusus (LIDIKUS).

Keesokan pagi harinya, yaitu tanggal 16 Oktober 1965 kami dipanggil oleh pimpinan LIDIKUS bernama Letnan Adil supaya berkumpul di ruangan besar. Dikatakannya bahwa tempat gedung LIDIKUS kurang memadai buat kami dan untuk itu akan dipindahkan ketempat yang lebih baik. Beliau tidak menyebutkan nama tempatnya tapi ternyata pada siang harinya kami diangkut dengan mobil militer menuju kantor Corps Polisi Militer (CPM) di Jalan Guntur. Sesampainya di CPM-Gundur segera diadakan pemeriksaan barang-barang yang kami bawa. Pada waktu itu saya hanya membawa tas berisi kartu pers, kartu izin masuk istana, surat undangan untuk pertemuan 'Angkatan 45' dan uang. Tas beserta isinya dan jam tangan yang saya pakai disita. Saya dan Tini dipisahkan dari rombongan laki-laki kemudian disuruh berjalan menuju corridor, yaitu gang panjang yang lebarnya kurang lebih 2 meter. Didalam corridor tersebut ada 2 meja dan 2 kursi.

Pada tengah malam ketika kami sedang tidur nyenyak di atas meja, saya dibangunkan oleh seorang berpakaian militer. Saya dibawa melalui corridor menuju ke ruangan lain. Ruangannya besar dan disitu sudah ada 3 orang berpakaian militer sedang di interogasi oleh satu orang militer. Mereka duduk dibarisan belakang, sementara itu saya disuruh duduk dibarisan paling depan supaya berjauhan dengan 3 orang tersebut.

Dalam proses interogasi, dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan khusus mengenai suami saya. Saya menjawab bahwa suami saya sa'at ini berada di RRT dalam rangka kunjungan resmi sebagai wakil generasi Angkatan '45 bersama delegasi MPRS, pimpinan Chaerul Saleh. Disamping itu suami saya juga anggota SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Dalam interogasinya dia tidak mengajukan pertanyaan yang sehubungan dengan fungsi kerja saya sebagai wartawan di ANTARA. Bahkan juga tidak menyinggung masalah penerbitan bulletin terbitan 1 oktober - siang hari yang memuat berita mengenai peristiwa GESTOK (Gerakan Satu Oktober).

Setelah melalui proses interogasi cukup lama lantas saya dikembalikan ke tempat semula. Sementara itu Tini kelihatannya sudah tidur nyenyak sedangkan perasaan dan pikiranku hanya terpancang pada anak-anakku karena tidak mengetahui keberadaan saya. Saya berusaha untuk bisa tidur tapi kekhawatiran terhadap anak bungsuku yang masih balita membutuhkan susu ibu sangat saya rasakan.

Keesokan pagi harinya saya dan Tini dipanggil untuk kembali ke tempat ruangan dimana kami kemarin harinya diterima. Kami berdua disuruh duduk dan tidak lama kemudian rombongan laki-laki datang dari arah ruangan lain memasuki ruangan dimana kami sedang duduk. Lantas mereka disuruh duduk diatas lantai dengan masing-masing kedua tangannya ditaruh dibelakang kepala. Saya sangat kaget dan cemas karena para militer tersebut memperlakukan mereka sangat kasar bahkan baju nya pun sudah penuh dengan lumuran darah dan juga tidak bersepatu. Mereka menceritakan pengalamannya bahwa malam harinya ketika mereka sedang tidur nyenyak tiba-tiba masuk sekelompok orang berpakaian hitam secara mendadak
menghampirinya langsung memukuli serta menyiksanya sambil berteriak -teriak "Komunis".

Suatu kali kami berdua dipindah ke gedung lain tapi masih tetap didalam kompleks KODAM V Jaya. Mengenai rekan laki-laki lainnya, kami sudah tidak tahu lagi nasibnya. Gedung yang kami tuju sangat mendapat penjagaan ketat dan bersenjata. Ketika kami memasuki ruangan, ternyata disitu sudah ada tawanan para pimpinan perempuan, antara lain ketua umum GERWANI Umi Sardjono, anggota pimpinan pusat BTI (Barisan Tani Indonesia) Dahliar dan tiga anggota perempuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seperti Mudigdo, Salawati Daud dan Kartinah. Ke 5 tokoh perempuan tersebut ternyata ditangkap ketika Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) sedang berlangsung, yang diadakan di Jakarta tanggal 17 Oktober 1965. Masih ada seorang perempuan lain dimana sebelumnya tidak pernah saya kenal. Dia perlakuannya agak aneh karena setiap malam hari berteriak-teriak, juga di setiap siang harinya ngomong tidak karuan bahkan terkadang tertawa sendiri tanpa sebab.

Sekitar 3 hari kemudian, saya dan Tini dibawa kembali menuju gedung LIDIKUS. Lima Ibu-ibu lainnya juga diikut sertakan bersama kami. Pada waktu yang sama saya mendapat surat pemecatan sebagai pegawai ANTARA dan juga dicantumkan pernyataan tidak berhak menerima tunjangan hari tua.

Bulan desember 1965 saya, Tini dan 5 ibu-ibu lainnya dipindahkan ke penjara Bukit Duri di Kampung Melayu. Dengan pemindahan ini saya merasa bahwa penahanan terhadap kami akan berlangsung lama.

Para hadirin yang saya hormati, Ini kesaksian tentang penangkapan dan penyiksaan para jurnalis, yang dialami Ibu Rusiyati bersama para rekan sekantornya di Antara pada Peristiwa Berdarah, disebut Tragedi Nasional 1965. 13 tahun lamanya Ibu Rusiyati dipisahkan dari suami dan 6 anak-anaknya bahkan masih banyak para kawan segenerasi senasibnya di Tanah Air sampai saát ini tetap mengalami penderitaan lahir dan bathin hidup dalam “Penjara Besar” di bawah warisan kekuasaan Rejim Militer Soeharto. Begitu pula pada periode yang sama, dengan apa yang sempat dialami oleh Bapak Almarhum Djawoto dkk di Tiongkok lalu kemudian terpaksa bermukim di Belanda dan di berbagai negara lainya di manca negara. Namun bukan berarti bahwa kita semua telah melupakan peristiwa Berdarah 1965, yang masih tetap berdampak pada kehidupan generasi sekarang dan mungkin untuk generasi di mendatang.

Saya mengharapkan dalam kesempatan memperingati “100 tahun Djawoto” dengan mengangkat tema penting di hari ini, yaitu: “Perjuangan Wartawan Indonesia untuk Kemerdekaan Nasional, Kebebasan Pers dan Demokrasi”, akan menambah semangat persatuan dan kesatuan bangsa demi meneruskan cita-cita luhur Bapak almarhum Djawoto dkk perjuangan Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945.


Ratih Miryanti
Amsterdam, 23 September 2006

sumber : Kolektifinfo

Comments

Popular Posts