Pablo Neruda Pernah di Batavia

oleh Sigit Susanto
(SUMBER http://indonesiaartnews.or.id/artikeldetil.php?id=33)



Seorang manusia telah lahir di dunia
di antara banyak
manusia yang dilahirkan
dia hidup membaur dengan mereka
yang telah ada sebelumnya,
dan tak menggenggam sejarah
hanya pertiwi,
Chile bagai pusar bumi, dimana
gudang minuman anggur mengkerutkan rambut kehijauan
buah anggur dipintal cahaya
minuman anggur lolos dikonsumsi warga

Parral nama tempat itu
di situ aku dilahirkan
pada musim dingin

Hujan dan Angsa

Sepenggal puisi Pablo Neruda di atas berjudul “Kelahiran“ dari sebuah buku “Pablo Neruda, Memorial von Isla Negra“. Parral, sebuah desa di Chile selatan, tempat Pablo Neruda dilahirkan. Desa itu terdapat hamparan tanaman anggur yang menggunung. Pasangan José del Carmen sebagai masinis kereta api dan Rosa Neftali Basoalto sebagai guru sekolah dasar telah melahirkan seorang penyair terkenal pada 12 Juli 1904. Bayi itu diberi nama Neftali Ricardo Reyes y Basoalto. Ketika bayi itu masih berusia enam minggu, ibunya meninggal karena penyakit tebese. Sedang kakeknya bernama Don José Angel Reyes, hanya sebagai petani kecil yang memiliki sepetak kebun, tapi punya anak banyak. Kemudian Jose del Carmen pada tahun 1906 berpindah ke kota Temuco dan kawin lagi dengan Dona Trinidad Candia Marverde. Ketika penyair muda ini menginjak usia 14 tahun, dia mulai liar membaca buku-buku dengan melompat-lompat. Bacaannya dari Jules Verne ke Vargas Vila, Strindberg, Gorky, Felipe Trigo, Diderot, Rimbaud, Lautréamont, Whitman, Majakowski, Aragon, Breton, Apollinaire dan Trakl. Tahun 1920 dia tamat dari sekolah menengah atas. Pada bulan Oktober tahun yang sama dia terpaksa harus merubah nama aslinya Neftali Ricardo Reyes y Basoalto dengan nama samaran Pablo Neruda. Alasannya karena kecurigaan ayahnya pada puisi-puisinya yang dimuat di media. Secara tak sengaja dia mengambil nama seorang sastrawan Cheko Jan Nepomuk Neruda (1834-1891). Kemudian Neruda terpilih sebagai pimpinan media sastra “Ateneo Literario“. Pada usia 16 tahun, dia telah memenangkan lomba menulis puisi dan mendapat penghargaan tertinggi.

Neruda menceritakan, betapa dia merasa malu dan takut bertemu Gabriela Mistral. Seorang kepala sekolah perempuan. Dia diberi hadiah oleh Mistral buku-buku sastrawan Rusia antara lain dari Tolstoy, Dostojewsky dan Chekhov. Belakangan justru ketiga penulis Rusia itu menjadi bacaan favoritnya. Setelah itu Neruda melanjutkan belajar ke Santiago de Chile.

Pada buku berjudul “Aku mengakui bernama NERUDA, aku telah hidup“ (Ich bekenne NERUDA ich habe gelebt) dikisahkan masa kecil dia memang suka berkelahi, namun lemah dan kurang cerdik. Masih pada buku itu disebutkan, salah satu kenangan masa kecilnya yang tak pernah dilupakan adalah pada hujan. Hujan yang sebulan penuh, bahkan setahun tanpa henti. Neruda mengintip dari jendela rumahnya. Jalan di depan rumahnya digambarkan berubah menjadi lautan lumpur. Rumah-rumah penduduk miskin terendam banjir dan terapung seperti kapal. Gunung api Llaima bangkit dan bumi bergetar. Kepekaan Neruda bukan hanya pada alam, tapi juga pada unggas. Di masa kecilnya dia merasa tidak pernah belajar menulis puisi. Akan tetapi ketika dia berada di danau Budi dekat laut Puerto Saavedra, tiba-tiba dia diberi seekor angsa yang hampir mati oleh seorang pemburu. Angsa itu dia rawat lukanya dan disuapi dengan roti dan tumbukan ikan. Berkali-kali dalam sehari dia membawa angsa itu ke sungai lewat lorong yang sempit dan dibawa pulang ke rumahnya lagi. Angsa itu sebesar tubuhnya sendiri. Setelah 20 hari, angsa itu sembuh dan bisa berenang bersama-sama.

Neruda menunjukkan dasar sungai yang berbatu dan berpasir serta menunjukkan ikan yang tubuhnya mengkilat seperti perak. Angsa itu mengira Neruda sebagai temannya sendiri.  Angsa dengan leher yang hitam, diibaratkan seperti kain sutera. Paruhnya berwana oranye serta matanya merah. Sungguh sebuah angsa yang indah. Namun matanya tetap sedih menunggu ajal. Ketika kegelisahan Neruda memuncak dan mendorong untuk membuat coretan-coretan tangan, dia mengakui hasil coretan-coretannya menjadi terasa asing dan berbeda dengan bahasa harian. Itulah puisi awal Neruda. Dia menulis dengan perasaan was-was yang dalam, antara rasa takut dan kesedihan. Setiap hari dia mampu menulis antara dua sampai lima puisi. Biasanya menjelang malam, ketika matahari akan terbenam. Dia menulis di teras rumah. Oleh sebab itu buku pertamanya tahun 1923 terbit dengan judul “Fajar dan Senja“ (Crepusculario). Dia menjual mebel satu-satunya yang dimiliki dan menggadaikan jam pemberian ayahnya. Uang itu dia gunakan untuk membiayai penerbitan buku perdananya. Sering kali dia bertengkar dengan penerbitnya. Penerbitnya keras hati, tak boleh satu eksemplar pun dibawa, sebelum lunas semua. Tapi Neruda cukup gembira. Tahun 1924 disusul karyanya kedua berjudul “Dua Puluh Puisi Cinta dan Sebuah Lagu Kebimbangan“ (Veinte poemas de amor y una cancion desesperada).

Di Batavia

Antara tahun 1927-1932 Neruda bertugas sebagai konsul Chile di Asia, antara lain Rangun, Colombo, Batavia dan Singapur. Kedatangan Neruda pertama kali di Batavia menyimpan kisah konyol dengan hotel boy. Ketika dia hendak menulis telegram untuk pemerintahnya di Chile, karena kedatangannya ditolak oleh pejabat Belanda. Tiba-tiba tintanya habis. Neruda memanggil seorang hotel boy untuk meminta tinta dengan memperagakan sebuah pensil di tangan sembari bilang, "Ink, ink". Hotel boy berseragam putih tanpa alas kaki itu hanya bengong, tidak mengerti arti bahasa Inggris "Ink". Maka ada tujuh atau delapan hotel boy berdatangan. Ketika Neruda mengulangi bilang: "This, this". Kontan seperti suara kor mereka berucap ramah, "Tinta! Tinta". Akhirnya Neruda baru sadar, ternyata bahasa Spanyol “Tinta“, juga sama dengan bahasa Melayu.

Tak lama tinggal di hotel, Neruda berpindah ke rumah baru di jalan Probolinggo. Dia bertugas sebagai konsul baru  negeri Chile dan merasa berakhirlah petualangannya keliling dunia. Setelah dia berkenalan dengan Maria Antonieta Agenaar. Gadis blasteran Belanda-Melayu kelahiran Jawa itu akhirnya tahun 1930 resmi jadi istri Neruda. Pada film berjudul “Sosok Penyair Amerika Selatan“ (Porträt des südamerikanischen Dichters) menayangkan figur Maria Antonieta Agenaar ini tinggi dan cantik. Di situ juga disebutkan, kalau Neruda sempat beberapa bulan di Batavia tanpa kegiatan berarti dan hanya membaca buku Proust berulang-ulang selama empat kali. Perkawinannya juga dia kabarkan pada bekas pacarnya Albertina Rosa yang punya nama muda Angel Cruchaga Santa Maria. Pada buku “Surat-Surat Cinta Pablo Neruda pada Albertina Rosa“ (Pablo Neruda Liebesbriefe an Albertina Rosa) terdapat tiga surat yang ditulis dari Batavia, salah satu surat itu seperti berikut: SELANJUTNYA.......


Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta | Pablo Neruda

Dialihbahasakan dari bahasa Inggris yang dikerjakan oleh Stephen Tapscott ke bahasa Indonesia oleh Tia Setiadi | Penerbit Mahda, Yogyakarta | Binding: Softcover | ISBN: 9789791979702 | Halaman: 128

Cinta Paripurna Pablo Neruda
Oleh Abdul Aziz Rasjid

“Matilde: nama sebentuk tumbuhan, atau batuan, atau anggur,/ dari segala hal yang bermula di bumi, dan akhirnya: / kata yang di sana tumbuh fajar pertama yang membuka,/ yang di sana musim panas menyinari jeruk-jeruk yang rekah”.

Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta oleh Pablo Neruda
Begitulah cara Pablo Neruda memanggil, menghikmati serta memuja nama istrinya dalam sebuah soneta. Sebuah nama yang dicinta memang bisa menghasilkan kejutan yang menyentak, menggaungkan sejumlah makna yang sangup menggedor pikiran dan selanjutnya menantang hasrat penyair untuk menuangkannya dalam kejelian untuk melakukan perambahan pengucapan, pemanfaatan kebebasan untuk menghasilkan daya pikat dalam bentuk puisi.

Matilde Urrutia adalah misal yang baik tentang kisah pesona sebuah nama. Dia adalah mantan seorang penyanyi Chili yang pernah dipekerjakan untuk merawat Pablo Neruda ketika terserang flebilitis pada lawatannya ke Meksiko pada akhir 1945 dan akhirnya menjadi istri dari penyair terpenting yang pernah dilahirkan sastra Amerika Latin abad ke-20 itu. Selanjutnya, nama Matilde mengawali madah cinta seratus soneta yang terkumpul dalam buku bertajuk Ciuman Hujan, Seratus Soneta Cinta (2009) yang disulih oleh Tia Setiadi dari buku 100 Love Sonnets karya Pablo Neruda yang dalam versi asli berbahasa Spanyol berjudul Cien sonetos de Amor (1960).

Kiprah Matilde sebagai istri lantas menginspirasi sang maestro pemenang Nobel sastra 1971 itu untuk menghayati aktivitas serta memperhatikan detail-detail sehari-hari yang merujuk pada hubungan rumah tangganya, semisal ketika Matilde Urrutia memasak di dapur, mondar-mandir menyiram bunga-bunga mawar dan anyelir, atau ketika istrinya tengah menyiapkan spraei dan ranjang tidur dengan lagak-lagu tubuhnya yang anggun. Jadi tampak wajar, jika seratus soneta yang dideklarasikan sebagai fondamen cinta itu, dikatakan oleh Pablo Neruda sebagai soneta-soneta kayu yang lahir karena Matilde yang memberi kehidupan.

Apa yang tersirat dalam seratus soneta cinta ini, seakan-akan menggambarkan bahwa keagungan sudah terjelma begitu sempurna dalam diri Matilde, sehingga tak berlebihan memang jika Tia Setiadi sebagai penyulih sekaligus penulis esai pendamping yang bertajuk “Neruda dan Keabadian sebuah Ciuman” mengatakan bahwa bagi Pablo Neruda, jagad raya adalah mikrokosmos sementara Matilde Urrutia adalah makrokosmos.

Dalam soneta XVI, Pablo Neruda menulis: “Aku mencintai segenggam bumi yang tak lain adalah Engkau./ Sebab padang-padang rumputnya, meluas laksana planet,/ Aku tak punya bintang lain. Engkaulah tiruanku/ Atas semesta yang berlipat ganda

Esai pendamping yang ditulis oleh Tia Setiadi itu, memang patut dijadikan perhatian, sebab memuat pula ikhwal hayat dan karya Neruda yang dapat membuat pembaca menjadi akrab dengan sosok dan perjalanan kepenyairan Neruda. Sekaligus juga dapat difungsikan oleh pembaca untuk membantu upaya-upaya penafsiran. Semisal alenia berikut: “Puisi Neruda, lebih dekat ke nafiri kejujuran yang tanpa pretensi, kerendahan hati dan senandung rasa syukur yang tulus pada kemahaluasan hidup. Puisi semacam ini, bisa dipadankan dengan kejernihan dan kepadatan kristal-kristal batuan yang dinafasi oleh tenaga hidup atau denyar-denyar asmara yang berbinar-binar, bagiakan vibrasi gelombang cahaya. Tiap-tiap langkah dalam sajak adalah langkah-langkah kecil menuju keindahan. Tiap-tiap langkah dalam sajak adalah kepergian sekaligus kepulangan”. SELANJUTNYA.....

Comments

Popular Posts