Catatan Seorang 'Digulis'

Penulis : Mas Marco Kartodikromo
Penyunting : Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia,
2002 Halaman : xxvi + 178 BATAVIA,
November 1926.

Tepatnya tanggal 12, sore hari, tersiar kabar bahwa buruh kereta api berencana melakukan pemogokan keesokan harinya. Kemudian, menjelang tengah malam, berbagai kelompok bersenjata terlihat di jalan-jalan dan bentrok dengan polisi. Tersiar kabar pula bahwa Penjara Glodok diserbu, saluran telepon diputus, dan kelompok-kelompok bersenjata terlihat pula di Meester Cornelis (Jatinegara) serta Tangerang. Kontak senjata dengan polisi pun tak terelakkan lagi. Bahkan, di Tangerang, sebuah barak polisi diserang. Memang, di Batavia, pemberontakan rakyat terhadap pemerintah kolonial itu berakhir dalam tiga hari.

Tapi kejadian yang menggegerkan pemerintah kolonial itu tidak berhenti di situ saja. Pemberontakan yang bermula di Batavia itu segera meluas ke berbagai kota di Jawa dan Sumatera. Permulaan 1927, gerakan rakyat terhadap penguasa kolonial itu selesai. Pemerintah lantas menuding kaum komunis (PKI) berada di balik pemberontakan itu. Maka dimulailah serangkaian penangkapan, penggeledahan, dan pembuian aktivis dan anggota PKI. Pemerintah juga mulai mencari tahu sebab-musabab pemberontakan itu.

Dua komisi kemudian dibentuk, yaitu untuk Banten dan Sumatera Barat. Persoalannya, pembuangan para aktivis ke Belanda memang tidak membuat jera dan tidak menyadarkan mereka untuk tidak menentang penguasa kolonial. Selain itu, jauh sebelum pemberontakan meletus, pemerintah kolonial telah berencana membuka daerah baru di luar Jawa untuk menguras sumber-sumber ekonomi. Dan Digul diyakini punya potensi kekayaan alam.

Akibat pemberontakan itu, 13 ribu orang ditangkap dan 1.308 orang dikirim ke Digul. Digul diputuskan sebagai kamp konsentrasi dalam pertemuan Raad van Nederlandsch Indie (Dewan Hindia Belanda) pada 18 November 1926 atau enam hari setelah pemberontakan meletus. Kamp konsentrasi ini sendiri baru dibuka pada 16 Maret 1927. Pembangunannya dilaksanakan oleh kesatuan tentara yang dipimpin Kapten L.Th. Becking. Yang dibangunnya adalah barak, gudang, rumah sakit, stasiun radio, kantor pos, dan tempat mandi massal. Ada tiga permukiman di Digul, yaitu Tanah Merah, Tanah Tinggi, dan Gudang Arang. Sedangkan jumlah kampungnya ada enam, yang diberi nama kampung A, B, C, D, E, dan F.

Buku berjudul Pergaulan Orang Buangan di Boven Digul ini semula muncul secara bersambung dalam surat kabar Pewarta Deli dari 10 Oktober sampai 9 Desember 1931. Penulisnya, Mas Marco Kartodikromo, figur terkemuka dari pergerakan, jurnalis, dan sastrawan, dibuang karena dituduh terlibat dalam aksi pemberontakan 1926. Ia tiba di Digul pada 21 Juni 1927. Meski buku ini disusun oleh Marco, menurut dugaan Koesalah Soebagyo Toer (penyunting), Marco tak sendiri saat menyusunnya. Ada beberapa penulis lain yang tak disebut sebagai kontributornya (halaman 113 dan 138). Marco boleh jadi orang pertama yang menuliskan riwayat Digul, sekaligus membuka mata pembaca berbahasa Melayu tentang sebuah kamp konsentrasi di Hindia Belanda. Dalam Pergaulan Orang Buangan di Boven Digul, Marco tidak hanya meriwayatkan Digul sebagai sebuah kamp, tapi juga mengisahkan kehidupan dan masalah para interniran selama dalam pembuangan.

Dalam kondisi yang tertekan, Digul menjadi tempat untuk mengukur derajat dan moral kaum pergerakan, sekaligus tempat pengkhianatan terjadi. Marco secara jelas menyebut nama para aktivis yang telah berubah haluan itu berikut aktivitasnya saat berada dalam pembuangan. Kisah tentang Digul ini atau tentang para tahanan politik memang selalu mengundang keingintahuan banyak orang, sekaligus menakutkan bagi rezim Orde Baru, misalnya. Upaya penerbit menghadirkan kisah-kisah itu kepada pembaca sekarang patut dipuji. Oleh penerbit yang sama, sebelumnya telah diterbitkan pula kisah tentang Digul, yaitu Cerita dari Digul suntingan Pramoedya Ananta Toer serta karya monumental Kwee Tek Hoay, Drama di Boven Digul. Maka patut disimak pesan Marco agar para sejarawan menyediakan beberapa bab bagi mereka yang pernah berada di tanah buangan. M. Fauzi, sejarawan

02 Juni 2003

Comments

Popular Posts