Goenawan Nilai Pram Egois
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer telah meninggal dunia, 30 April 2006 lalu. Jasadnya pun telah dikebumikan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat. Bagaimana dengan karya-karya sastra yang telah dilahirkannya? Apakah ikut “terkubur” seiring meninggalnya novelis kelahiran Blora, 6 Februari 1925 itu? Jawabnya, “Tidak!”
Pramoedya tak hanya melahirkan anak rohani berupa karya sastra, tapi anak rohani lainnya. Mereka adalah yang dianggap sepemikiran bahkan merasa senasib dengan Pram - panggilan akrab pria dengan 8 anak dan 7 cucu ini.
Bagaimana pula dengan sikap orang-orang yang berseberangan dengan Pram? Konon, tak sedikit orang yang kesal pada Pram, tak terkecuali para manikebuis seperti Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad. Taufik Ismail bahkan sengaja mengeluarkan buku bermantel merah dan menyebut-nyebut nama Pram tak ubahnya sebagai garong kebudayaan.
Bagi Pram, menulis adalah melawan. Dan, Pram yakin bahwa perlawanan itu bisa dilakukan dengan menulis buku, seperti yang dilakukannya. Buku, kata Pram pula, adalah visi sekaligus sikap. Perjuangan tanpa visi adalah perjuangan yang hanya menanti mati disalib kekuasaan pragmatis setelah riuh pasar malam perjuangan usai diteriakkan.
Bukulah yang membuat suami Maemunah Khasim ini tidak menjadi gabus yang dipermainkan ombak di tengah samudera sejarah dan setelah itu takhluk terhempas menjadi sampah di pantai. Celakanya, sejarah yang terkandung dalam buku Pram adalah sejarah yang selalu bertabrakan muka dengan sejarah resmi yang dikreasi negara.
Goenawan Mohamad sendiri ketika menjadi nara sumber bersama Sitor Sitomorang dan Taufik Rahzen dengan moderator Radhar Panca Dahana dalam diskusi sastra bertema “Peta Pram, Peta Indonesia: Di Mana?”, di Jakarta, Selasa (6/6) lalu, mengritik karya-karya Pram yang dinilainya lebih menonjolkan keakuannya.
“Dalam prosa Pram, tampak semacam garis lurus antara aku ada, maka aku menulis, dan aku menulis, maka aku ada. Pramoedya bukan seorang realis, dalam artian yang ghalib. “Realita” tidak terasa hadir di sana (dalam karya Pram), dan dibiarkan begitu rupa hingga seakan-akan menampakkan dirinya sendiri. “Realita” diberi kerangka yang tegas oleh aku,” papar Goenawan Mohamad.
Goenawan mencontohkan antologi cerita pendek karya Pram berjudul “Tjerita Dari Djakarta.” Menurut Goenawan, dalam karyanya itu Pram tidak mendeskripsikan sebuah lanscap kota, gedung-gedung besar dan tinggi, lalu lintas yang sibuk, taman yang rindang atau jorok, melainkan menulisnya sebagai sebuah problem. Jadi, Jakarta bukannya sebuah lanscap tetapi sebuah problem.
Goenawan juga berpendapat bahwa Pram dalam membuat karya-karya sastra lebih mengedepankan realis sosialis. Kritik Pram yang sangat tajam dan tidak ada henti-hentinya, kata Goenawan, ditujukan terhadap kebudayaan Jawa. “Pram bahkan ketika diwawancarai sebuah media massa mengatakan sangat anti Javanisme,” kata Goenawan.
Dari sikap anti Jawa yang ditunjukkan Pram, Goenawan menangkap seolah-olah ada satu hakikat Jawa. “Ini yang disebut orang sekarang ini sebagai esensialisme. Jadi, seolah-olah ada esensi Jawa, esensi Sunda, esensi Islam, atau esensi Indonesia. Sebab, Jawa itu terdiri dari bermacam-macam daerah. Saya dan Pram sama-sama berasal dari pesisiran. Tapi, saya tidak melihat Solo dan Yogya sebagai pusat kebudayaan Jawa. Kemudian kalau ada anggapan bahwa batas Jawa itu dari Cirebon sampai Madiun itu satu kebudayaan dengan Solo, itu kurang benar. Sebab, orang Tegal dengan orang Banyumas berbeda ngomongnya dengan orang Solo,” lanjutnya panjang lebar.
Tak hanya itu. Dalam diskusi itu juga sempat disingung sosok Pram yang menurut anggapan banyak orang dia adalah komunis. Dan, komunis pastilah ateis dengan kebencian terhadap agama yang luar biasa. Namun, novelis Sitor Situmorang, menolak penafsiran seperti itu. Meski Sitor tidak berani menyebut Pram yang juga sahabatnya itu apakah seorang komunis atau penganut agama tertentu, namun ia lebih cenderung tidak ingin mencampuradukkan antara pribadi Pram dengan karya-karya sastranya.
Dia hanya menegaskan, kalau memang ada orang yang mempunyai pengetahuan sastra yang lebih baik, buatlah karya sastra itu untuk perkembangan karya sastra Indonesia. “Begitu pula dengan Pram. Dia membuat karya sastra dengan caranya sendiri. Tapi itu semua karya yang dihasilkannya itu merupakan karya sastra, meskipun dianggap masih banyak kekurangannya,” tukas Sitor.
Sementara ziarawan Taufik Rahzen lebih menyarankan untuk melihat secara terbalik, baik dari pengalaman Pramoedya maupun karya-karya sastra yang dilahirkannya. Seperti ada anggapan yang menyebutkan Pram anti Jawa, Taufik justru melihat sebaliknya. “Coba perhatikan karya-karya Pram. Semuanya berlatar belakang Jawa. Tidak satu pun karyanya yang berlatar belakang luar Jawa. Meskipun dia menulis tentang Pulau Buru, misalnya, tetapi yang digambarkan bukan tempat itu, melainkan tentang suatu Jawa,” kata Taufik, seraya meminta menelaah karya-karya Pram.
Lebih jauh Taufik mengatakan, untuk mengetahui apakah Pram seorang ideolog atau seorang pengarang, bisa dilihat dari catatan hariannya yang ditulis pada 22 Desember 1990 tentang Hari Ibu. Menurut kaca mata Taufik, dalam catatan hariannya itu, Pram selalu mengendalikan dirinya itu sebagai seorang ibu, bukan sekedar seorang perempuan. Karenanya, kata Taufik, tidak mengherankan Pram susah payah menerjemahkan buku-buku Maxim Gorky (sastrawan Rusia) tentang sosok ibu. “Jadi, seluruh karya-karya Pram dijadikan sebagai anak rohaninya. Misalnya, buku-buku yang dibuatnya itu seolah-olah dia sedang melahirkan anak rohaninya itu. Dan ‘anak’ itu kemudian memiliki nasibnya sendiri,” ujar Taufik.
Dalam beberapa hal, masih menurut Taufik, Pram dalam catatan hariannya itu tidak membedakan dan selalu bersikap sama antara anak-anak rohaninya yang terdiri dari karya-karya sastra, anak biologis, dan anak ideologinya. Oleh karena itu Taufik bisa memahami kenapa Pram tidak membaca ulang tulisan-tulisannya. Karena sebagaimana dia melahirkan anak, apakah anaknya itu sempurna atau cacat, tetap dia adalah anaknya, dan harus diterima sebagaimana adanya.
Sementara “tindakan” Pram dalam kaitannya dengan religiusitas, kata Taufik, juga dibayangkannya sebagai seorang ibu. “Dalam beberapa hal, Pram juga sangat menyukai tentang simbol Maria. Maria adalah seorang virgin (lihat tulisan Pram tentang virginitas), namun melahirkan Yesus, kemudian membuat sejarah. Begitu pula Muhammad yang “melahirkan” Al Quran. Karena itu, menurut saya, tindakan Pram melihat hasil karya-karyanya adalah tindakan religiusitas seorang ibu. Dalam konteks inilah, kita perlu membaca terbalik tentang Pram, tak cukup menelaah bagaimana dia memandang dirinya, tapi juga bagaimana dia melihat masyarakat sekitarnya,” imbuhnya.
sumber : sastra-indonesia.com
Comments