Risalah Jalan Baru Musso


oleh Zen RS
Sumber : IBOEKOE

Pada 31 Oktober 1948, di sebuah Minggu yang terik, sebuah tragedi mengenaskan terjadi. Musso, Sekertaris Jenderal PKI, ditembak mati di sebuah kamar mandi. Mayatnya lantas dibawa ke Ponorogo. Di sana, mayat yang disimbahi darah dan luka itu dipertontonkan. Dan…. dibakar!

Tragis sekali. Padahal, 2,5 bulan sebelumnya, tepatnya pada 13 Agustus 1948, Musso yang baru kembali ke Indonesia setelah 13 tahun lamanya hidup di Sovyet, berjumpa dengan Presiden Soekarno dalam suasana hangat dan akrab. Seorang wartawan yang menyaksikan perjumpaan keduanya memberi testimoni: “Bung Karno memeluk Musso dan Musso memeluk Soekarno. Mata berlinang. Kegembiraan ketika itu rupanya tidak dapat mereka keluarkan dengan kata-kata.”

Kala itu, Soekarno memuji Musso sebagai “jago pencak yang suka berkelahi, …yang kalau berpidato akan nyincing lengan bajunya”. Sebelum berpisah, seusai menyerahkan buku Sarinah sebagai kenang-kenangan, Soekarno berharap agar Musso sudi membantunya melancarkan revolusi nasional yang lajunya masih terpatah-patah. Mendengar permintaan itu, Musso membalas dengan jawaban singkat, lugas dan sungguh menggetarkan: “Itu memang kewajiban saya. Ik kom hier om orde te scheppen (Saya kemari untuk membereskannya).”

Sejarah ternyata tidak terhampar seperti yang dikehendaki aktor-aktornya. 2,5 bulan berselang, Soekarno dan Musso malah saling memunggungi, saling memaki. Ujung dari semua lakon itu sungguh pahit bagi Musso: ia menjadi “korban” kecamuk revolusi yang ia pernah sesumbar hendak membereskannya. Ternyata, Musso sendiri yang “dibereskan” oleh revolusi.

Sewaktu merefleksikan tragika Kudeta Madiun yang memakan banyak korban, termasuk Musso dan Amir Syarifuddin, Jenderal Simatupang dalam memoirnya Laporan dari Banaran, menulis: “Saya yakin bahwa do’a yang terakhir dari anak-anak itu (prajurit dan pemuda yang terlibat dalam Madiun Affair) semua adalah untuk kebahagian dan kebesaran tanah air yang satu juga.”

Saya jadi ingat Aristoteles. Nilai manusia, sebutnya, “bukanlah ditentukan oleh kehancuran hidup dan cita-citanya tetapi oleh perjuangannya mempertahankan harkat kemanusiaannya.” Itu pula yang jadi soal kenapa biografi Musso, dan semua yang ditelan dan dikalahkan proses sejarah secara kejam, menjadi menarik dan justru berharga untuk dipelajari.

Risalah Jalan Baru: Sebuah Jalan Terjal
Setelah 13 tahun hidup di Sovyet, Musso datang ke Indonesia persis ketika kelompok Sayap Kiri (PKI, Partai Buruh Indonesia dan Partai Sosialis) yang tergabung dalam FDR (Front Demokratik Rakyat) sedang dilanda krisis akibat Amir Syarifuddin meletakkan jabatan PM (Perdana Menteri).

Dalam situasi krisis itu, kedatangan Musso diharapkan bisa membangkitkan kembali Sayap Kiri/FDR dari krisis internal yang semakin akut. Dan dengan segera, tidak sampai seputaran siklus hujan-kemarau, Musso berhasil mengendalikan Sayap Kiri. Berkat reputasinya sebagai “alumni” pemberontakan PKI 1926 yang telah berjasa membangkitkan PKI dari “liang lahat sejarah” lewat aktivitas bawah tanahnya pada 1935, Musso sontak tampil di depan panggung dengan sungguh superior. Peran yang dilakoninya tak ubahnya seperti “Peniup seruling dalam cerita Grimms dan tokoh-tokoh lain (termasuk Amir Syarifuddin) mengikutinya sebagai anak-anak yang patuh”. SELANJUTNYA......

Comments

Popular Posts