Pramoedya, Buku dan Film

 
Kita tak bakal tahu buku apa itu bila tidak menyaksikan sebuah pameran khusus tentang kover buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer yang bakal digelar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan depan. Itulah terjemahan buku Pramoedya Ananta Toer, Sekali Peristiwa di Banten Selatan.
 
Sekumpulan anak muda yang mencintai Pram memberi kado istimewa baginya, yang pada 6 Februari berulang tahun ke-81. Bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda, pameran ini menghadirkan sampul buku-buku Pram yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ini pameran unik. Baru pertama kali sampul novel karya seorang pengarang kita bisa dipamerkan tersendiri.
 
Ada sekitar 200 buku Pram yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia: dari Yunani, Spanyol, Belanda, Jerman, Korea, Jepang, Turki, sampai bahasa Malayalam, suatu bahasa etnis di India. Banyak tampilan kover terjemahan ini memakai aksara non-Latin, seperti aksara Thailand, Turki, Jepang, Korea, Rusia. Dari semua ini, terjemahan novel Pram ke bahasa Rusia memang paling awal. Sebelum Sekali Peristiwa di Banten Selatan, pada tahun 1957 misalnya telah terbit edisi Moskwa untuk Cerita dari Blora, dan kemudian pada 1959 terbit Cerita dari Blora dalam bahasa Turkmengozidat, Ashkabad. Tahun 1962 juga terbit Na Brehu Reky Bekasi, yang merupakan edisi Chek untuk Di Tepi Kali Bekasi.
 
Tentunya pameran ini adalah kado sederhana yang indah dan juga testamen bagi khalayak umum untuk menyaksikan bahwa kepengarangan Pram diakui dunia. Minggu-minggu lalu sempat beredar kabar Pram sakit keras. Di rumahnya di Desa Waringin Jaya, Bojong Gede, Bogor, ia terbaring lemah. Tapi kini kesehatannya mulai membaik. Kadar gula darah yang tadinya setinggi 640 mulai turun ke 460. Tentu saja ini sama sekali belum normal. Menurut keluarga, kesehatan Pram memburuk karena ia sedih membaca berita-berita bencana di koran yang bertubi-tubi di Tanah Air.
 
Itu menunjukkan, meski tidak lagi menulis, Pram tetap ingin berusaha mengikuti perkembangan di Tanah Air. Kesehatannya berangsur mendingan setelah rombongan cucunya datang ke Bojong membawa gitar dan organ. "Bapak paling suka apabila cucu-cucu menyanyi," kata Astuti Ananta Toer, putri keempat Pram yang akrab dipanggil Titik.
 
Pernah sekali waktu, dalam sebuah wawancara, Pram mengeluh tentang anak-cucunya yang tidak lagi gemar membaca. Ia heran bagaimana mereka tidak seperti dirinya yang pencandu buku. "Saya tidak pernah mengerti mengapa hal ini bisa terjadi. Bahkan di keluarga saya sendiri, anak dan cucu saya tidak mau membaca surat kabar. Mereka tidak lagi punya budaya membaca, mereka lebih senang menonton televisi," keluhnya kepada penulis Andre Vitchek dan Rossie Indira.
 
Toh, Pram kini butuh dan selalu menunggu dengan harap kedatangan Cindy, Vicky, Aditya, Angga, Cynthia, Rofa, dan Gitra-para cucunya dari generasi MTV. Pram, yang pada dasarnya seorang penyendiri itu, kangen mendengar para cucunya yang berusia SMP sampai SMA itu bernyanyi riang apa saja-dan karenanya selalu bangkit daya hidupnya. "Pram suka banget dinyanyikan itu, lho, lagu Amor, amor, juga Ave Maria. Pernah cucu-cucu menyanyikan lagu Peter Pan, Pram tidak ngerti, tapi ia senang banget," kata Titik.
 
Hampir seluruh buku terkenal Pram, Keluarga Gerilya, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Bumi Manusia, Perburuan, telah diterjemahkan. Pameran kover buku Pram ini memberi kita kesempatan mengamati bagaimana para ilustrator asing memvisualkan isi buku Pram, bagaimana mereka secara beraneka ragam menafsirkan tulisan Pram yang banyak mengangkat tema anak-anak muda tegar dalam Indonesia yang bergerak, dan kritik mereka terhadap kebudayaan feodal Jawa.
 
Tentu secara visual mereka tidak terikat dengan buku-buku Pram yang telah diterbitkan di Indonesia. Tetralogi terbitan Hasta Mira dahulu, misalnya, sampul depannya hanya berupa judul novel. Baru setelah dicetak ulang, gambar mulai muncul. Kini penerbit "resmi" yang direstui Pram di Indonesia untuk menerbitkan buku-bukunya adalah Lentera Dipantara.
 
Penerbit yang namanya diusulkan oleh Pram sendiri itu telah mencetak ulang Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Gadis Pantai, Midah, Panggil Aku Kartini, Calon Arang, Sang Pemula, Sekali Peristiwa di Banten, Bukan Pasar Malam, Jalan Raya Pos, juga Menggelinding I, yang berisi kumpulan cerpen, esai, pada awal-awal kepenulisan Pram yang termuat dalam media seperti Lentera, Star Weekly, dan lain-lain.
 
Rata-rata ilustrasi sampul muka buku-buku itu dikerjakan oleh Harry Ong, perupa dari Yogya. Tafsir Ong realis. "Yang paling disukai Pram adalah kover Gadis Pantai," kata Mudjib Hermani dari Lentera. Kover Gadis Pantai garapan Ong menampilkan gambar seorang wanita Jawa biasa. Berkulit cokelat, berkebaya anggun. "Katanya, melihat kover itu, Pram teringat ibu dan neneknya," kata Mudjib.
 
Terjemahan buku Pram paling banyak memang ada dalam edisi Belanda. Ada satu penerbit dari Amsterdam, Manus Amici, yang menerbitkan mulai dari Mereka yang Dilumpuhkan sampai Perburuan. Tidak seperti kover Indonesia, yang selalu berkarakter realis, banyak sampul buku Pram yang terbit di luar negeri kadang-kadang menampilkan metafora. Karya Pram Korupsi, misalnya, pernah diterjemahkan oleh penerbit Narodia Kultura 1977 dari Bulgaria. Kover itu warna dasarnya hijau. Tampilan visualnya seperti klep besi, tempat saluran pembuangan air.
 
Perbedaan tafsir memang tak terelakkan. Bahkan bila kita bandingkan, terkadang ada yang lucu. Misalnya kover Midah si Manis Bergigi Emas-terjemahan Belanda, terbitan Geus, Amsterdam (1992): Midah, Het Liefje Met de Gouden Tand-dibandingkan dengan Midah si Manis Bergigi Emas terbitan Lentera Dipantara. Pada edisi Belanda, kover menampilkan gambar Midah adalah seorang perempuan Jawa kurus, berwajah tirus, berkemben, rambutnya digelung, bergiwang besar, sorot matanya sangsai, seraya mengisap rokok. Sementara itu, kover terbitan Lentera menampilkan Midah dengan sosok dan paras yang sangat bule.
Banyak sampul buku terjemahan novel Pram menampilkan panorama keindonesiaan atau benda-benda kesenian Indonesia. Sebuah kover novel Arok terjemahan dalam bahasa Belanda, misalnya, menampilkan foto sisi dalam Candi Prambanan saat senja. Akan halnya sampul Verloren terjemahan novel Cerita dari Blora produksi penerbit Jerman Leopold 1979 bergambar patung Bali. Dan Verhalen uit Blora terbitan De Geus, Belanda, 1991, bergambar lukisan Bali.
 
Sementara itu, Keluarga Gerilya keluaran penerbit Jerman, Bad Honnef: Horlemann, tahun 1997, dengan judul Die Familie der Partisanen, menampilkan sosok laki-laki seperti tengah berlari di sawah. Latarnya kabut putih tebal dan pepohonan kelapa. Sedangkan Vootsporen, terjemahan Belanda dari Jejak Langkah terbitan Agathon 1995, menampilkan foto sebuah jalan di pedesaan Jawa tempo doeloe yang bersih tapi lengang. Seolah itulah metafora dari sebuah jalan sepi yang dipilih tokoh cerita.
 
Yang menarik adalah sampul depan novel Arus Balik versi Belanda, dengan judul De Stroom uit Het Noorden, keluaran penerbit De Geus 1995. Dalam edisi Indonesia, Hasta Mira, sampul Arus Balik menampilkan gambar kapal-kapal layar Nusantara. Bisa diperkirakan, itu untuk menghadirkan semangat cerita yang berisi petualangan dan keberanian armada laut kita. Tapi kover edisi Belanda itu malah menampilkan gambar kuda lumping, dengan motif batik.
 
Rumah Kaca terjemahan Henk Maier, Het Glazen Huis, menampilkan gambar sangat eksotis: foto pekerja wanita Jawa tempo doeloe tengah bekerja ramai-ramai, seperti menampi beras. Kover itu lebih menggigit dibanding, misalnya, Rumah Kaca versi Spanyol, La Casa de Cristal. Terjemahan Alfonso yang diterbitkan Txalparta pada 1998 menampilkan kolase potret wajah Pram dan wayang golek. Atau Rumah Kaca versi Inggris, House of Glass, terbitan Penguin Books 1999 terjemahan Henk Maier, yang memperlihatkan gambar lelaki berblangkon dengan kumis melintang.
 
Gambar wayang juga kerap digunakan untuk sampul terjemahan novel Pram. Dan kita bisa melihat, di sini juga sering ada perbedaan tafsir antar-penerbit. Novel Perburuan, yang diterjemahkan oleh Harry Aveling, dengan penerbit Heineman, Australia (1987), lalu diperbarui (1995), menampilkan kover bergambar wayang kulit Arjuna dengan matahari merah di belakangnya. Bandingkan Perburuan edisi Prancis yang berjudul Le Fugitif dan dikeluarkan tahun 1997 oleh penerbit Francois Rene Daille Editions. Terjemahan dalam bahasa Prancis itu bergambar sampul wayang kulit Rahwana. Saking banyaknya novel Pram di luar negeri yang bersampul ilustrasi wayang, menurut Mudjib, suatu kali Pramoedya pernah berseloroh: "Kenapa Indonesia masih digambarkan seperti wayang?"
 
Harry Aveling, dosen Australia yang dikenal banyak menerjemahkan karya para sastrawan kita, memang tak sekali-dua kali menerjemahkan karya Pram. Cerita dari Blora, misalnya, diterjemahkannya menjadi A Heap of Ashes-diterbitkan oleh University of Queensland Press tahun 1997. Kovernya foto seorang ibu dengan dua anaknya-Indonesia, yang fotonya diambil pada 1950-an. Mata ibu itu sayu, seolah menderita. Sang anak terlihat membawa foto laki-laki tua yang mungkin ayahnya.

************
 
Ada, misalnya, kover terjemahan novel Pram yang bergambar semi-surealis. Lied van een Stomme, terjemahan Belanda untuk Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, misalnya, menampilkan gambar sebuah kepala manusia dengan kedua lubang mata dan lubang mulutnya dipenuhi "ulat-ulat manusia". Kover ini malah mengingatkan pada sampul album berbagai grup musik progressive rock seperti King Crimson.
 
Sebab, biasanya, untuk terjemahan Nyanyi Sunyi, para penerbit asing lebih suka menampilkan kover sosok Pram atau wajah Pram. Lihat saja Nyanyi Sunyi Seorang bisu edisi Portugis, Soliloquio Mudo terbitan Quetsal (2001), dengan penerjemah Maria Dias Correia. Kovernya sosok Pram tengah merokok. Foto yang sama juga dipakai untuk kover Nyanyi Sunyi versi bahasa Inggris dari penerbit Penguin, The Mute's Soliloquy, terjemahan William Samuels. Sementara itu, Nyanyi Sunyi edisi Jerman terbitan Horleman, Stilled Lied Eines Stummen (2000), menampilkan sosok Pram "masih muda", tanpa kacamata.
 
Memang sering kali ditemukan kesamaan ide antar-penerbit untuk sampul buku Pram. Tengok kover novel Bukan Pasar Malam terbitan Lentera Dipantara garapan Harry Ong. Ong menampilkan gambar serombongan orang di depan keriuhan pasar malam. Sementara itu, Bukan Pasar Malam edisi Inggris, It's Not An All Night Fair terbitan Equinox 2001, menampilkan siluet foto komedi putar. Bandingkan dengan Bukan Pasar Malam versi Belanda, Een Koude Kermis, terbitan De Geus 2001, yang kovernya memperlihatkan para petani perempuan tengah memetik daun teh.
 
Ada juga kover yang cenderung kartunal: El Rei, La Bruia I El Sacerdot, versi terjemahan Spanyol untuk novel Calon Arang. Buku terjemahan karya Joseph Sampere tahun 2003 ini menunjukkan gambar seorang raja dalam sosok kartun. Di belakangnya ada boneka-boneka berhidung panjang. Para pembaca Indonesia yang mengenal kisah Calon Arang tentunya susah mengerti mengapa sosok nenek tua dari Kadiri itu ditampilkan demikian. Dia nenek tua yang, karena anaknya ditolak kawin, lalu menenung dan menciptakan wabah.
 
Kover buku Pram lainnya yang ditampilkan agak jenaka oleh penerbit asing, misalnya, adalah Tales from Jakarta: Caricatures of Circumstances, terjemahan dari Cerita dari Jakarta (1957). Buku terbitan Universitas Cornell ini menampilkan coretan karikatur seorang bapak berpeci mengayuh sepeda, memboncengkan istri dan semua anaknya. Sedangkan Bericht uit Kebayoran, terbitan Leopold, Jerman 1978, yang juga menyarikan buku Cerita dari Jakarta, menampilkan gambar drawing sosok berkebaya naik becak.
Kover terjemahan novel Pram yang visualnya "agak lain" juga adalah El Fugitivo, terjemahan Spanyol dari novel Perburuan. Terjemahan yang muncul tahun 1992 itu kovernya menampilkan gaya impresionis. Tampak di sebuah jembatan, di atas sebuah sungai, empat perempuan dengan raut dan pakaian Eropa abad ke-19 bergelesotan. Seorang di antaranya membawa alat musik gesek. Dari sekian novel Pram yang diterbitkan di luar negeri, ada yang sampulnya kurang kreatif. Terjemahan Jepang (2005) atas Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer memperlihatkan sampul dengan foto bunga kamboja, sementara kover terjemahan Bumi Manusia hanya bergambar peta Indonesia.
 
Buku sangatlah mempengaruhi kehidupan Pram. Buku bukan hanya untuk memperluas wawasan intelektualitasnya, tapi juga menyambung hidupnya. Seperti pernah dikisahkan Pram ketika ia ditahan di Pulau Buru, kehidupan keluarga dapat diselamatkan karena royalti buku-bukunya. Royalti itu membuat nasib keluarganya tidak semerana keluarga lain. Buku menghidupi rohani dan fisik Pram. "Sampai sekarang royalti-royalti itu masih dibayar terus," kata Titik, anaknya. Menurut Titik, meski royalti tersebut sudah dipotong pajak 15 persen untuk agensi, secara keseluruhan jumlahnya tetap cukup besar untuk menghidupi keluarga besar Pram.
 
Melihat keanekaragaman visual kover terjemahan buku Pram saja, kita dapat merasakan betapa dunia menghargai Pram. Pameran itu sendiri, betapapun bersahaja, adalah sebuah ikhtiar penghormatan.

Seno Joko Suyono
30 Januari 2006
sumber : tempointeraktif.com

Comments

Popular Posts