Forum-ngo.com : Mengenang 3 Tahun Kepergian Sang Pujangga Pramoedya Anantra Toer

 
Pramudya A.Toer
Pramudya A.Toer

Siapa yang tak kenal dengan Pramoedya Ananta Toer? Benar sekali, Mas Pram, demikian ia akrab disapa, adalah satu-satunya pujangga Indonesia yang namanya berkali-kali masuk daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra. Acara tuk mengenang 3 tahun kepergian Pramoedya Ananta Toer digelar oleh YPKP HAM (Yayasan Penelitian Korban Pelanggaran Hak Azasi Manusia) bersama Goethe Institut dan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) di Goethe Haus Institute-Jakarta. Saat mendapat informasi acara tersebut, FORUM NGO-pun tak menyia-nyiakan momen berharga ini dan menempatkannya dalam sebuah rubrik liputan utama FORUM NGO edisi Mei 2009 yang sedang Anda pegang ini. Jangan lewatkan membaca kisah Pramoedya Ananta Toer dalam artikel berikut ini.

Sejarah Singkat Sang Pujangga
Pramoedya Ananta Toer menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu 30 April 2006 sekitar pukul 08.30 WIB di Jakarta. Sang Pujangga kelahiran Blora 6 Februari 1925 yang akrab dipanggil Pram dan terkenal dengan karya Tetralogi Bumi Manusia itu dimakamkan di TPU Karet Bivak pukul 15.00 pada Minggu 30 April. Lagu Darah Juang mengiringi prosesi pemakamannya yang dinyanyikan oleh para pengagum dan pelayat. Sebelumnya, ia dirawat di ICU RS. St. Carolus Jakarta. Kemudian sejak Sabtu sekitar pukul 19.00 WIB dokter mengijinkan Pram pulang sesuai permintaannya. Sastrawan yang oleh dunia internasional, sebagaimana ditulis Los Angeles Time, sering dijuluki Albert Camus Indonesia itu termasuk dalam 100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht. Profil Pram juga pernah ditulis di New Yorker, The New York Time dan banyak publikasi dunia lainnya. Karya-karyanya juga sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing termasuk bahasa Yunani, Tagalok dan Mahalayam.

Perjalanan hidup Pramoedya Ananta Toer bagaikan potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi dibenci di negerinya sendiri! Namun, karena sepak terjangnya di gelanggang sastra dan kebudayaan, Pramoedya Ananta Toer dianugerahi pelbagai penghargaan inernasional, diantaranya The PEN Freedom-to-write Award pada 1988, Ramon Magsaysay pada 1995 dan The Norwegian Authours Union pada tahun 2004 (Bumi Manusia, 2005). Ia telah melahirkan lebih dari 50 karya dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan berekspresi melalui tulisan. Iapun banyak menghabiskan hidupnya di balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman pemerintahan Soekarno, maupun era pemerintahan Soeharto.

Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa. Setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat – Onderbouw Partai Komunis Indonesia – ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil. Setelah bebaspun, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus diberangus, dan buku-bukunya tidak hanya banyak dilarang beredar terutama di era Soeharto namun juga dibakar! Pemerintah telah merengut tahun-tahun terbaik dalam hidup seorang Pramoedya Ananta Toer, baik pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya. Namun, semua upaya itu tak mampu memadamkan sedikitpun api  yang telah berkobar dalam diri Pram untuk menulis, menulis dan menulis.

Pramoedya Ananta Toer dilahirkan oleh seorang ibu yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Ia  mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya terinspirasi oleh ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, “Seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun.” Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan-ibunya.” Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.

Setelah ibunya meninggal, Pramoedya dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pramoedya masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai, namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer, lalu jurnalis. Yayasan Penelitian Korban Pelanggaran HAM (YPKP HAM), mengadakan acara mengenang 3 tahun seorang penulis dan sastrawan besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer.

Acara yang terdiri dari 3 sesi, benar-benar bagaikan dihipnotis oleh sang legendaris, dimana mulai dari awal acara hingga berakhirnya acara sebagaian besar peserta yang hadir masih antusias mengikuti acara tersebut. Sesi pertama bedah buku oleh pembicara Dr. Yulianti Parani dan Nirwan A. Arsuka dengan moderator Okky Tirto Adisuryo. Pada sesi kedua Diskusi “Pram di Balik Jeruji Penjara” dengan pembicara, Dr. Manto, Ir. Djoko Sri Mulyono, dan Masdur yang dimoderatori oleh Jusuf Soewadji, MA. Dalam sesi ini lebih banyak mengungkapkan sosok dan kepribadian seorang Pramoedya sehari-harinya di balik jeruji penjara yang bersahaja dan para pembicara di atas adalah narasumber yang sekaligus merupakan saksi hidup saat mereka bersama-sama hidup bersama Pramoedya dalam buih Pulau Buru (Agustus 1969-12 November 1979).

Kesaksian Hidup
Masdur
Pramudya Ananta Toer, sebagai bapak dan kawan sependeritaan dan seperjuangan. Demikian juga rakyat dan masyarakat dunia sangat berduka ketika mengenang hasil karya-karyanya yang besar sehingga dicari dan baca oleh banyak orang, baik yang sepaham dengannya maupun lawan-lawan politiknya bahkan pemerintah turut melarang hasil karya-karyanya untuk beredar dan dibajak. Sungguh mengerikan, seorang anak bangsa yang berkarya dan berprestasi untuk bangsanya dibungkam, ”tapi ibarat per, semakin diinjak semakin melambung tinggi namanya”.  Akibatnya masyarakat semakin penasaran atas karya-karyanya. Sehingga perlakuan-perlakuan yang diterimanya tersebut justru membuat namanya semakin dikenal dan dicari oleh banyak kalangan untuk mengetahui dan membaca karya-karyanya, dan semakin banyak yang mencintainya bahkan akan dikenang oleh orang-orang yang mencintainya sampai 1000 tahun yang akan datang.

Pertama kali saya bertemu dengan Pram, adalah dipenjara Salemba blok G, salah satu blok dari 17 blok A sampai blok F yang ada di penjara Salemba. Khusus blok H dan D diganti dengan nama blok RX, blok Rumah Sakit tempat berobat para tapol dan opname bagi yang sakit asma, beri-beri atau sakit akut lainnya. Blok Q, dimana Pramoedya ditahan terdiri dari 23 sel kecil berukuran 1,5 X 2 m dan diisi oleh masing-masing 3 orang, kecuali sel no. 1 hanya ditempati 2 orang , yaitu kepala blok dan pembantunya, kepala blok saat itu Kapt. Trenggono dari Cakra  Birawa, kemudian diganti oleh Hasyim Rahman dari Bintang Timur. Dalam setiap kiriman dari keluarga tapol wajib memberikan ”sodakoh” bagian dari jatahnya kepada kepala blok yang disebut bentuk solidaritas, biasanya berbentuk nasi atau lauk-pauk, nantinya setelah terkumpul nasi dan lauk pauk tersebut akan dibagikan kepada sel-sel yang tidak mendapat kunjungan dari keluarganya, biasanya Bung Pram ikut memberikan sumbangan tersebut.

Kegiatan-kegiatan Pramoedya di dalam sel adalah berolahraga perorangan dengan berjalan cepat sampai keringat bercucuran bagaikan hujan, dan dilakukan dengan rutin dan disiplin tinggi sepanjang hari hingga membuat badannya tegap dan sehat, satu-satunya yang melakukan olahraga tersebut hanya Pramudya. Satu lagi kegiatan utama sehabis olah raga adalah membaca buku-buku, umumnya buku-buku berbahasa asing yang ia baca. Ini dilakukan sambil menunggu jam makan siang dan setelah selesai makan siang dilanjutkan lagi untuk membaca buku-buku tersebut, dan belum pernah saya lihat Bung Pram tidur siang. Waktu luang dilakukannya main catur, lawan tangguhnya adalah pamannya Mudikdo, wartawan kantor berita Antara. Kala itu,  permainan catur yang seru antara keduanya membuat penontonnya banyak dan keseringan pula dimenangkan oleh Widigdo membuat Bung Pram semakin penasaran, pantang menyerah dan dilakukannya setiap hari. Dalam bergaul sesama tapol, Bung Pram memang kurang supel dan selalu memilih-milih teman bicaranya, lebih banyak diam sehingga sepintas kelihatan sombong, hanya buka mulut kalau ditanya orang, dan itupun kalau dijawab seperlunya saja. Sosok Pram adalah seorang  yang keras kepala, ia berani mengatakan tidak bila memang tidak baik kepada sesama tapol maupun kepada penguasa dan sangat berpegang teguh pada prinsipnya.

Dr. Manto
Seorang dokter yang pernah bersama-sama dengan Pramoedya. Saya bertemu dengan Mas Pram di Pulau Buru. Dr. Manto sering mengikuti kegiatan-kegiatan politik di luar kegiatan kampus (FKUI). Kemudian setelah menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran saya diberi sebutan eks doktervasi, sebuah sebutan bagi orang-orang yang dianggap berhaluan kiri terhadap pemerintah. Oleh karena itu saya dikursus tentang Pancasila selama 2 minggu. Masa muda saya jalani dengan ikut politik praktis hingga suatu saat, saya dibuang ke Pulau Buru dan ditempatkan dibarak 5 tempat orang-orang bandal. Mas Pramoedya selama di sel Pulau Buru itu menderita kencing manis. Karena saya seorang dokter, saya berusaha mengobatinya dengan kemampuan yang saya miliki, di sisi lain saya mendapat fasilitas, dimana setiap tahun saya menerima bantuan obat-obatan dari Departemen Kesehatan. Dan kalaupun tidak, ada yang bantu secara diam-diam lewat seorang suster katolik Namrea, dia disebut sebagai ibu para tapol, mulai dari kacamata sampai obat-obatan disediakan semua oleh beliau. Begitu banyaknya pengalaman pahit dan tantangan yang dialami Pram, tidak menyurutkan semangatnya bahkan pada zaman orde baru, Pramoedya disebut sebagai seorang penghayal. Tapi akhirnya waktu jualah yang membuktikan bahwa seorang Pram adalah sastrawan besar.
Dr. Manto, sahabat Pramudya A. Toer
Dr. Manto, sahabat Pramudya A. Toer

Uchikowati, ketua panitia penyelenggaraan mengenang 3 tahun Pramoedya Ananta Toer menyatakan, kegiatan ini mengacu pada tradisi Jawa, bahwa 1000 hari adalah masa dimana seseorang telah selesai melakukan sebuah tradisi dalam berkarya, tapi khusus dalam hal ini kita ingin Mas Pram hidup terus-menerus dalam hati dan seperti semangatnya seorang Pramoedya yang terus hidup, sebagai seorang sastrawan besar yang pernah dimiliki oleh Indonesia, namun hak-haknya terdiskriminasi dan terbelengguan oleh sebuah rezim atau pemerintahan tempat dia hidup. Uchikowati juga berharap, ke depan agar diadakan Pramoedya Ananta Toer Award, seperti yang lazim dilakukan oleh negara-negara yang menghargai jasa-jasa seorang sastrawan besar, itupun jika banyak dukungan dari berbagai pihak.

Dalam 100 hari peringatan Pramudya Ananta Toer, seorang seniman Erros Djarot menuliskan sebuah lagu ”Untukmu Pramudya Ananta Toer”, sebagai persembahan khususnya kepada sang legendaris. Kali ini kami hanya bisa memberikan setangkai bunga untuk Erros Djarot yang diwakilkan atau diterima langsung oleh Slamet Rahardjo Djarot. Ada kemiripan dengan kisah pembelengguan hak-hak Pramoedya Ananta Toer pada masa rezim orde baru yang dialami Erros Djarot dalam melahirkan kisah kehidupan dan realita di era tahun 1965  dalam sebuah karya film berjudul Lastri. Film karya Erros Djarotpun dilarang oleh sekelompok orang yang tidak menginginkan kehadiran film tersebut, tapi dalam hal ini aparat dan pemerintah tidak merespon atau melindungi warga negaranya. Ini diartikan bahwa secara langsung ataupun tidak langsung, pemerintah ikut bertanggung jawab atas pelarangan suatu karya film tersebut. Film Lastri, yang merupakan kehidupan dan realita di era tahun 1965 adalah bagian dari roman sejarah, jadi jauh dari unsur-unsur politiknya, tapi karena film tersebut mungkin dianggap membangkitkan semangat komunisme. Jika berpikir bahwa film tersebut melanggar kode etik atau ada hal-hal yang tidak sesuai disitulah fungsinya lembaga sensor untuk mensensor suatu film tapi bukan menghentikan suatu produksi film. Demikian ungkap Uchi.

Karya Pramudya Ananta Toer juga sampai saat ini masih ada yan diberangus atau dicekal oleh pemerintah dan saat ini ditahan di Kejaksaan Agung, Bumi Manusia dan dilarang beredar, yang dianggap buku tersebut mengajarkan faham komunis. Padahal kalau kita yag sudah pernah membaca buku Bumi Manusia, tidak sedikitpun ada membangkitkan faham komunis, padahal kalau kita lihat kisah Ontosoro di situ juga menceritakan suatu kisah yang sama dengan buku Bumi Manusia. Mulailah dari saat ini pemerintah meninjau kembali apa yang sudah dilakukan terhadap karya-karya besar Pram, karena kalau itu tidak dilakukan nanti akan banyak terjadi Pram-Pram yang baru bermunculan. Menurut Uchi, dari sekian banyak buku-buku karyanya yang sering dibicarakan atau dibaca orang-orang adalah Tetralogi, yang dihasilkan di Pulau Buru, dan kisah atau pengalaman hidup Pram, selama mendekam di rumah Prodeo tersebut. Pram itu bagus dalam menulis adalah dia terlebih dulu melakukan suatu riset tentang setingnya, mungkin pada zaman penjajahan Belanda seperti kisah Ontosoro atau  yang dikaitkan dengan masa sekarang dan masih relevan dan merupakan kisah nyata.

Kegiatan Mengenang 3 Tahun Pramoedya Ananta Toer ini, juga didukung oleh Perhimpunan Perempuan Indonesia (PERPENI), Kelompok Insan Pemerhati Seni (KIPAS), Paguyuban Kebudayaan Rakyat Indonesia (PAKRI), Teater Buruh  (Tabur), Sastra Pembebasan dan Lentera Dipantara. Saat lagu favorit Pramoedya, Ave Maria yang dibawakan oleh Fani dengan iringan musik oleh Andiefiera, nampak semua peserta tercengang dan diam membisu bak terhipnotis bukan saja karena keindahan sang vokalis tapi lebih dari itu, seperti ada suatu magnet kuat yang tersirat dari sebuah lagu Ave Maria. Wajar saja jika sang sastrawan besar itu sangat menyukai lagu tersebut. Di sisi lain yang tak kalah menarik adalah  pembacaan puisi karya Pramoedya berjudul ”Nyani Sunyi Seorang Bisu” yang dibawakan oleh artis Happy Salma serta pertunjukan teater “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Kembali ke Wanayasa” oleh Teater Buruh (Tabur), dimana keseluruhan acara dikemas secara apik sehingga enggan rasanya peserta untuk meninggalkan gedung Goethe Haus Institut-Jakarta tempat berlangsungnya peringatan 3 Tahun Pramudya Ananta Toer. IDRIS, DARWAN, ANNE TAM

sumber : forum-ngo.com

Comments

Popular Posts