Nasionalisme dan Preman di Surabaya
Novel Idrus menjungkirbalikkan gambaran kita tentang revolusi. Pertempuran
10 November 1945 di Surabaya ternyata menurut dia dikobarkan oleh
preman-preman.
PAGI, 10 November itu, bom
menghujani Surabaya. Para pemuda yang keras kepala telah menolak ultimatum
Inggris. Dengan senjata rampasan dari Jepang dan bambu runcing—demikian kita
baca di buku sejarah—Bung Tomo dan para pemuda melawan puluhan ribu serdadu
Inggris dan Gurkha. Maka sampai hari ini pun kita mengenang peristiwa heroik
itu sebagai Hari Pahlawan.
Namun, di novelet berjudul
Surabaya, Idrus menjungkirbalikkan ”kesakralan” tersebut. Ia melukiskan
pertempuran para pemuda melawan tentara Sekutu ibarat pertempuran antara para
koboi dan bandit.
Para pemuda dideskripsikannya
dengan revolver dan belati terselip di pinggang, berjalan dengan dada
membusung. Sesekali mengacung-acungkan revolver dan menembakkannya ke arah
Tuhan di langit. Bung Tomo tampil sebagai kepala pemberontak dengan rambut
gondrong yang meruapkan bau apak, seperti bau bantal yang tak pernah dijemur.
Sebelum tanggal 10 November itu, orang-orang yang mabuk kemerdekaan
meninggalkan Tuhan lama dan menggantinya dengan Tuhan baru: bom, mitraliur,
mortir….
Tak kalah dahsyat, Idrus
menuturkan pula kisah-kisah di pengungsian selepas Inggris menggempur kota. Di
tengah pengungsian, kejahatan merebak. Kemelaratan kian ”bersimaharajarela”.
Kala itu, tutur Idrus selanjutnya, orang banyak bertingkah konyol. Seorang
lelaki yang disangka telik sandi musuh, tanpa selidik, langsung dibunuh.
Seorang perempuan yang kebetulan memakai selendang merah, baju putih, dan selop
biru juga dituding sebagai mata-mata. Perempuan itu selamat dari kematian
karena, setelah ditilik lebih jeli, selopnya ternyata berwarna hitam.
Lewat Surabaya yang dicetak oleh
Merdeka Press pada 1947, Idrus mencuatkan kontroversi. Ia dicap kontrarevolusi.
Sebab, ia seolah mencemooh revolusi dan mengejek perjuangan rakyat Surabaya.
Novelet ini merupakan karikatur
dari pertempuran Surabaya dan revolusi secara umum. Di beberapa kota di Jawa
masa itu memang muncul pejuang berlatar belakang bandit. Polah mereka bak koboi
di wilayah tanpa hukum. Pada Oktober 1945, di Tegal, misalnya, sebuah komplotan
bandit mendirikan Angkatan Muda Republik Indonesia. Selain merampok dan
membagikan harta rampokan, para lenggaong—sebutan mereka—beraksi menumpas
setiap orang yang dicurigai sebagai mata-mata Sekutu.
Kisah-kisah bandit yang menjelma
jadi pejuang dan beraksi bak koboi tercatat dalam sejarah hingga beberapa tahun
setelah Surabaya terbit. Boleh jadi, kala Idrus menulis Surabaya, kisah seperti
itu kerap berseliweran ke telinganya.
Kala itu pula, kendati Bung
Karno terus membakar semangat rakyat dengan pidato-pidatonya, situasi negeri
tak kunjung lebih baik. Sebagian orang jadi ragu kepada Soekarno dan Hatta.
Idrus berpikir seperti rakyat kebanyakan di masa itu. Ia dengan caranya yang
sinis dan tajam mengemukakan pandangannya sendiri terhadap revolusi.
Suatu malam di bulan April 1954,
Idrus diundang berdiskusi oleh redaksi majalah Konfrontasi di sebuah rumah di
Jalan Merdeka Selatan, Jakarta. Seseorang yang hadir mencecarnya, ”Atas dasar
apa patriot-patriot Indonesia Anda katakan hanya koboi?”
Idrus mengelak menjawab. ”Saya
sudah lupa ceritanya,” katanya dengan suara lunak.
Mereka yang datang terus
mengejar, menekannya: ”Mengapa patriot Indonesia Anda anggap sebagai koboi?”
”Saya adalah spesialis dalam
kejelekan-kejelekan. Sebab, dengan menceritakan kejelekan, kita bisa tahu
kebaikan,” kata Idrus, akhirnya.
Judul : Surabaya
Penerbit: Merdeka Press, Jakarta
(1974)
sumber : Tempointeraktif
Comments