"Namaku Hindania!" tulis Hatta.


Mohammad Hatta, sang Proklamator, menulis pertama kali ketika berusia 18 tahun, belum lagi dia masuk universitas. Saat itu ia adalah pelajar rantau Minang di Prins Hendrik Handels School di Betawi. Dimuat dalam majalah Jong Sumatera pada tahun 1920, tulisan itu mengisahkan secara "otobiografis" tokoh khayali, seorang janda cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. 


"Namaku Hindania!" tulis Hatta. "Aku dilahirkan di matahari, hidup waktu fajar lagi menyingsing, disambut oleh angin sepoi yang bertiup dari angkasa serta dinyanyikan oleh suara margasatwa yang amat merdu bunyinya." Kisah sederhana itu akan terjatuh menjadi roman picisan seandainya Hatta bercerita tentang cinta belaka. Ini adalah sebuah romantika patriotik karya seorang pemuda 18 tahun.

Hindania adalah personifikasi "Indonesia". Setelah ditinggal mati suaminya, Brahmana dari Hindustan, dia bertemu seorang musafir dari Barat, Wolandia, yang kemudian mengawininya. Tapi Wolandia terlalu miskin sehingga "lebih mencintai hartaku daripada diriku" dan "menyia-nyiakan anak-anaku".

Dalam kepedihan, Hindania bersyukur terjadi perubahan besar di Barat. Yakni ketika Maharaja Mars yang bengis naik takhta di "negeri maghrib", yang kebengisannya menyadarkan Wolandia untuk lebih bermuka manis. Pada 1920, ketika Hatta menulis itu, pemerintah Belanda sedang gencar menerapkan kebijakan "politik etis", bersikap lebih manis kepada rakyat pribumi, setelah mereka mengalami sendiri pahitnya dijajah Jerman selama Perang Dunia I perang dahsyat yang dipersonifikasikan Hatta sebagai Maharaja Mars.

Tulisan pendek itu melukiskan luasnya bacaan Hatta dan minatnya pada sastra. Dia mengutip sajak Heinrich Heine dalam bahasa Jerman. Dia juga menyebut Leo Tolstoi, Karl Marx, Bakunin, serta Dostojevsky. Hatta hanya salah satu dari sedikit pemuda kala itu yang memiliki kesadaran terhadap kebangsaan Indonesia-sebuah konsep yang masih samar-samar. Dan sejak itu, seperti ingin mengompensasi tubuhnya yang kecil, wajahnya yang dingin berkacamata tebal, serta gaya bicaranya yang membosankan, dia mencari kekuatan pada menulis. Pena adalah senjata dia untuk memerdekakan bangsanya. Bakat menulisnya, dan timbunan bacaannya, kian meluap ketika Hatta kuliah di Negeri Belanda.

Comments

Popular Posts