Andaikan Erasmus Bertemu Raden Jodjana


Raden Mas Jodjana in "Surya Thirta", 
inspired by Javanese and Balinese motifs (1930)

Inilah Erasmus, tokoh humanis terkenal Belanda dari abad ke-15 dan ke-16. Wajahnya kini tampak tua dan kurus. Kerut-kerut kentara menjalari rupanya, yang berupa gumpalan-gumpalan mirip kapas cokelat. Topi khasnya, yang berwarna putih, bertengger di kepalanya, seakan terus berusaha menghangatkan sang kepala. Kepala itu adalah bunga dan kerah bajunya menjadi daun. Dia bertengger pada sebatang tangkai.

Gambaran Erasmus serupa ini adalah rekaan Neel Korteweg, perempuan se-niman dari Belanda, dalam Erasmus di Laut (1), salah satu foto karya Korteweg yang dipamerkan dalam pameran Facing Fools di Erasmus Huis, Jakarta, 6 November-13 Desember 2010. Pameran ini merupakan bagian dari Grand Finale 40th Anniversary Erasmus Huis, yang juga dimeriahkan dengan konser musik dan lokakarya pembuatan sketsa.

Karya Korteweg itu menggunakan obyek dari bunga karang (spons) yang dia temukan saat berjalan-jalan di tepi pantai dekat rumah musim panasnya di Normandia, Prancis, beberapa tahun yang lalu. Bunga karang sebesar kepala manusia itu berwarna hijau dan disimpannya di rumah. Namun, saat sepuluh hari kemudian, bunga itu mengering dan menjadi putih. "Ketika saya menaruhnya di tangan, saya lihat, oh seperti topi Erasmus," kata perempuan paruh baya kelahiran Den Haag yang kini mukim di Amsterdam itu.

Di pantai itu pula dia menemukan spons plastik dan punya gagasan untuk merakitnya menjadi sebentuk patung kepala Erasmus. Patung itu kemudian dia potret dari berbagai sudut. Ada ratusan foto yang dihasilkannya. Foto itu kemudian disempurnakannya dengan menggunakan peranti lunak pengolah gambar. Hasil olahan ini dicetak di atas kertas foto dengan teknologi laser maju (piezographic).

Dua dari hasil cetakan itu disajikan dalam pameran ini: Erasmus di Laut (1) dan Erasmus di Laut (2). Karya pertama menampilkan wajah Erasmus dari depan. Adapun karya kedua menyajikannya dari samping kiri dengan latar laut dan langit biru, sehingga seakan-akan sang tokoh sedang menatap samudra yang terbentang. "Erasmus adalah seorang kosmopolit. Kalau dia masih hidup, dia akan menjelajahi dunia," kata Korteweg.

Desiderius Erasmus Roterodamus (1466-1536) adalah sarjana humanis Belanda yang dianggap salah satu tokoh terbesar dari era renaisans. Dia adalah pendeta dan teolog terkenal pada masanya yang punya sikap mandiri di tengah kontroversi antara doktrin takdir Martin Luther dan kekua-saan yang diklaim kepausan Roma. -Dialah -penyunting pertama Perjanjian Baru edisi baru dalam bahasa Latin dan Yunani.

Erasmus juga dikenal sebagai kritikus yang keras. Dia mengkritik masyarakat dan gereja pada masanya. "Dia mencintai gerejanya, tapi pada saat yang sama dia ingin gereja jadi murni, tidak egosentris," kata Korteweg. Kritik itu mencuat pada Morias Enkomion atau The Praise of Folly (Memuji Kekonyolan), karya satire Erasmus yang paling populer. Buku yang pertama kali terbit pada 1511 itu berupa esai panjang dengan tokoh Folly, yang mengklaim sebagai sumber dari segala kebodohan.

Ayah Korteweg kebetulan sangat mencintai Erasmus dan mendorong Korteweg untuk pergi ke Bassel, Swiss, untuk membaca ulang buku tersebut serta tulisan dan surat-surat Erasmus. "Ketika saya membaca The Praise of Folly, saya terkejut karena tak banyak yang berubah dalam 500 tahun ini," katanya.

Seniman lulusan The Amsterdam Rijks Academy for the Visual Arts dan Amsterdam Academy for Architecture itu kemudian memutuskan untuk menafsir pikiran-pikiran Erasmus dalam sejumlah karya, terutama sketsa, jenis ekspresi seni yang banyak dia lakukan selama ini. Dari ratusan sketsa yang dia hasilkan, 82 di antaranya ditampilkan dalam pameran ini. Sketsa-sketsa itu juga akan dibukukan bersama karya sejumlah sastrawan terkenal Belanda, termasuk Gerrit Komrij, dan akan diterbitkan tahun depan.

Beberapa sketsa Korteweg menggambarkan kritik-kritik pedas Erasmus, yang sebenarnya tak suka pada kemalasan dan kebodohan. Ada sketsa seorang perempuan gendut yang memberaki sebuah buku, yang bisa dianggap sebagai sebuah pelecehan terhadap karya sastra atau karya intelektual. Ada pula seorang bodoh dan seorang terpelajar berangkulan-sebuah kritik bahwa keduanya sebenarnya bisa jadi setara. Sketsa-sketsa Korteweg juga menggambarkan berbagai ekspresi manusia sebagaimana dipaparkan dalam karya Erasmus.

Khusus untuk pameran di Jakarta ini, Korteweg membuat sejumlah sketsa yang menggambarkan apabila Erasmus bertemu dengan Raden Mas Jodjana. Jodjana (1893-1972) adalah penari dan musisi Jawa terkenal di Eropa pada awal abad ke-20. Jodjana pernah ke Belanda, tapi pastilah tak pernah bertemu dengan Erasmus, yang hidup lima abad sebelumnya. "Sekiranya Erasmus bertemu dengan Raden Mas Jodjana, mereka akan saling memuji pakaian mereka dan akan bertukar ikat kepala dengan topi," kata Korteweg. "Keduanya sama-sama kosmopolit dan suka mengenakan pakaian yang bagus."


Korteweg menampilkan 10 sketsa mengenai perjumpaan ini. Ada -sketsa yang menggambarkan Jodjana mengenakan topi Erasmus dan, sebaliknya, Erasmus berjubah batik dan menge-nakan blangkon. Korteweg juga membayangkan bagaimana kalau -Erasmus masih hidup di masa kini. Dia lalu menggambarkan Erasmus tua mengenakan kimono hitam sedang mendalami ajaran Zen Buddha. Namun, "Ini semua tetaplah sebuah karya seni. Semuanya adalah imajinasi saya," kata Korteweg.

Langkah-langkah Korteweg ini tentulah sebuah anakronisme, tapi dengan cara demikian Erasmus tak terkesan kuno, tapi jadi aktual dan inspiratif. Dari sketsanya yang diangkat dari kitab Erasmus, kita menangkap bentuk visual dari kritik Erasmus. Tapi menghadirkan Erasmus di masa kini adalah upaya menghidupkan kembali gagasan-gagasan besar humanismenya.

Comments

Popular Posts