Andaikan Erasmus Bertemu Raden Jodjana
Inilah Erasmus, tokoh humanis terkenal Belanda dari abad
ke-15 dan ke-16. Wajahnya kini tampak tua dan kurus. Kerut-kerut kentara
menjalari rupanya, yang berupa gumpalan-gumpalan mirip kapas cokelat. Topi
khasnya, yang berwarna putih, bertengger di kepalanya, seakan terus berusaha
menghangatkan sang kepala. Kepala itu adalah bunga dan kerah bajunya menjadi
daun. Dia bertengger pada sebatang tangkai.
Gambaran Erasmus serupa ini adalah rekaan Neel Korteweg,
perempuan se-niman dari Belanda, dalam Erasmus di Laut (1), salah satu foto
karya Korteweg yang dipamerkan dalam pameran Facing Fools di Erasmus Huis,
Jakarta, 6 November-13 Desember 2010. Pameran ini merupakan bagian dari Grand
Finale 40th Anniversary Erasmus Huis, yang juga dimeriahkan dengan konser musik
dan lokakarya pembuatan sketsa.
Karya Korteweg itu menggunakan obyek dari bunga karang
(spons) yang dia temukan saat berjalan-jalan di tepi pantai dekat rumah musim
panasnya di Normandia, Prancis, beberapa tahun yang lalu. Bunga karang sebesar
kepala manusia itu berwarna hijau dan disimpannya di rumah. Namun, saat sepuluh
hari kemudian, bunga itu mengering dan menjadi putih. "Ketika saya
menaruhnya di tangan, saya lihat, oh seperti topi Erasmus," kata perempuan
paruh baya kelahiran Den Haag yang kini mukim di Amsterdam itu.
Di pantai itu pula dia menemukan spons plastik dan punya
gagasan untuk merakitnya menjadi sebentuk patung kepala Erasmus. Patung itu
kemudian dia potret dari berbagai sudut. Ada ratusan foto yang dihasilkannya.
Foto itu kemudian disempurnakannya dengan menggunakan peranti lunak pengolah
gambar. Hasil olahan ini dicetak di atas kertas foto dengan teknologi laser
maju (piezographic).
Dua dari hasil cetakan itu disajikan dalam pameran ini:
Erasmus di Laut (1) dan Erasmus di Laut (2). Karya pertama menampilkan wajah
Erasmus dari depan. Adapun karya kedua menyajikannya dari samping kiri dengan
latar laut dan langit biru, sehingga seakan-akan sang tokoh sedang menatap
samudra yang terbentang. "Erasmus adalah seorang kosmopolit. Kalau dia masih
hidup, dia akan menjelajahi dunia," kata Korteweg.
Desiderius Erasmus Roterodamus (1466-1536) adalah sarjana
humanis Belanda yang dianggap salah satu tokoh terbesar dari era renaisans. Dia
adalah pendeta dan teolog terkenal pada masanya yang punya sikap mandiri di
tengah kontroversi antara doktrin takdir Martin Luther dan kekua-saan yang
diklaim kepausan Roma. -Dialah -penyunting pertama Perjanjian Baru edisi baru
dalam bahasa Latin dan Yunani.
Ayah Korteweg kebetulan sangat mencintai Erasmus dan
mendorong Korteweg untuk pergi ke Bassel, Swiss, untuk membaca ulang buku
tersebut serta tulisan dan surat-surat Erasmus. "Ketika saya membaca The
Praise of Folly, saya terkejut karena tak banyak yang berubah dalam 500 tahun
ini," katanya.
Seniman lulusan The Amsterdam Rijks Academy for the Visual
Arts dan Amsterdam Academy for Architecture itu kemudian memutuskan untuk
menafsir pikiran-pikiran Erasmus dalam sejumlah karya, terutama sketsa, jenis
ekspresi seni yang banyak dia lakukan selama ini. Dari ratusan sketsa yang dia
hasilkan, 82 di antaranya ditampilkan dalam pameran ini. Sketsa-sketsa itu juga
akan dibukukan bersama karya sejumlah sastrawan terkenal Belanda, termasuk
Gerrit Komrij, dan akan diterbitkan tahun depan.
Beberapa sketsa Korteweg menggambarkan kritik-kritik pedas
Erasmus, yang sebenarnya tak suka pada kemalasan dan kebodohan. Ada sketsa
seorang perempuan gendut yang memberaki sebuah buku, yang bisa dianggap sebagai
sebuah pelecehan terhadap karya sastra atau karya intelektual. Ada pula seorang
bodoh dan seorang terpelajar berangkulan-sebuah kritik bahwa keduanya
sebenarnya bisa jadi setara. Sketsa-sketsa Korteweg juga menggambarkan berbagai
ekspresi manusia sebagaimana dipaparkan dalam karya Erasmus.
Khusus untuk pameran di Jakarta ini, Korteweg membuat
sejumlah sketsa yang menggambarkan apabila Erasmus bertemu dengan Raden Mas
Jodjana. Jodjana (1893-1972) adalah penari dan musisi Jawa terkenal di Eropa
pada awal abad ke-20. Jodjana pernah ke Belanda, tapi pastilah tak pernah
bertemu dengan Erasmus, yang hidup lima abad sebelumnya. "Sekiranya
Erasmus bertemu dengan Raden Mas Jodjana, mereka akan saling memuji pakaian
mereka dan akan bertukar ikat kepala dengan topi," kata Korteweg.
"Keduanya sama-sama kosmopolit dan suka mengenakan pakaian yang
bagus."
Korteweg menampilkan 10 sketsa mengenai perjumpaan ini. Ada
-sketsa yang menggambarkan Jodjana mengenakan topi Erasmus dan, sebaliknya,
Erasmus berjubah batik dan menge-nakan blangkon. Korteweg juga membayangkan
bagaimana kalau -Erasmus masih hidup di masa kini. Dia lalu menggambarkan
Erasmus tua mengenakan kimono hitam sedang mendalami ajaran Zen Buddha. Namun,
"Ini semua tetaplah sebuah karya seni. Semuanya adalah imajinasi
saya," kata Korteweg.
Langkah-langkah Korteweg ini tentulah sebuah anakronisme,
tapi dengan cara demikian Erasmus tak terkesan kuno, tapi jadi aktual dan
inspiratif. Dari sketsanya yang diangkat dari kitab Erasmus, kita menangkap
bentuk visual dari kritik Erasmus. Tapi menghadirkan Erasmus di masa kini
adalah upaya menghidupkan kembali gagasan-gagasan besar humanismenya.
Sumber : Tempointeraktif.com.
Comments