Kritik yang tidak membangun

oleh F. Rahardi 
APAKAH kritik harus selalu membangun seperti tukang kayu, tukang batu, dan pemborong bangunan? 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dengan jelas tertulis bahwa yang disebut kritik adalah kecaman atau tanggapan.

Tidak ada satu kalimat pun yang menyebut bahwa kritik itu harus membangun. Selain itu, kekuatan kritik baru akan muncul kalau sudah disampaikan kepada publik atau masyarakat luas. Tapi kita sering mendengar pejabat yang ngomong, ''Kalau mau mengritik disampaikan saja langsung kepada saya secara pribadi, jangan dilontarkan lewat koran.''

Padahal, seorang bawahan yang datang ke atasan lalu menyampaikan keberatan atau keluhan terhadap kebijaksanaan si atasan, itu namanya menyampaikan usul dan saran-saran, bukan kritik.

Kalau kritikus sastra H.B. Jassin ngomong empat mata dengan saya: ''Rahardi, kalau menulis sajak yang benar. Jangan amburadul begitu.'' Itu bukan kritik tapi petunjuk.

Kalau suami mengatakan bahwa sambal yang dibuat istrinya terlalu asin, tapi sambil tersenyum simpul dengan bahasa yang penuh tenggang rasa, itu namanya merayu. Kritik memang perlu disampaikan dengan lugas, tajam, dan to the point.

Sebuah kritik yang penuh tenggang rasa dan basa-basi mengandung bahaya akan sampai ke tujuan secara bias. Bisa jadi, yang dikritik tidak dapat menangkap maksud si pengritik. Bisa jadi, dapat menangkap tapi dengan tafsir yang keliru. Ini menyedihkan karena tujuan utama sebuah kritik adalah menegakkan kebenaran.

Sepak terjang Mangunwijaya di Kedungombo adalah contoh kritik yang berani terhadap kebijaksanaan Pemerintah. Dia tahu kebijaksanaan Pemerintah memang tidak akan berubah 100%. Dia tahu itu tembok. Tapi tembok pun punya bagian-bagian yang miring dan retak-retak hingga perlu diluruskan dan dibuat rata. Kalau kemudian dia ditangkap dan dipenjarakan, misalnya, itu sebuah risiko. Kalau dia didiamkan saja, itu juga risiko. Yang jelas, kritik memang memerlukan keberanian.

Kritik itu sendiri sebenarnya netral. Sama dengan ilmu pengetahuan, sama dengan senjata. Kalau ilmu atau pistol dipegang polisi, ya bagus. Yang jelas, kritik yang baik adalah yang mengandung kebenaran. Yang tidak bohong. Yang tidak mengada-ada. Karena kritik harus dipublikasikan atau disampaikan di depan forum, bukan tatap muka empat mata, kalau sebuah kritik tidak mengandung kebenaran, pasti akan ditertawakan dan ditolak masyarakat.

Kritik yang mengandung kebenaran itu tetap dapat bersikap menjatuhkan maupun membangun, bergantung pada pihak yang dikritik. Kalau pihak yang dikritik memang rapuh, dia akan segera jatuh. Kalau dia kuat, justru akan menjadi semakin kukuh. Kalau saya ibaratkan dengan tanaman, kritik adalah badai. Tanaman yang biasanya hanya menerima pujian berupa pupuk, air, dan angin sepoi-sepoi, begitu ada badai atau angin kencang biasanya akan tumbang. Pujian memang lebih membesarkan hati dan atau kepala daripada mendatangkan kekuatan. Sebaliknya, tanaman yang biasa menerima kritik berupa angin kencang, akarnya menancap kuat, batangnya kukuh, dan dahan-dahannya liat hingga tahan terhadap badai yang paling keras sekalipun.

Manusia memang ditakdirkan sebagai makhluk sosial. Namun sebenarnya dia tetap merupakan individu yang unik. Tak seorang pun di dunia ini yang sama dalam segala hal dengan orang lain. Namun kecenderungan manusia sebagai makhluk sosial juga menjuruskan individu menuju keseragaman. Sekolah, media massa, etika, norma-norma, cenderung mendorong individu menjadi masa yang seragam. Kalau kecenderungan untuk menjadi seragam itu hanya menyangkut hal-hal yang sifatnya fisik, memang tidak menjadi masalah.

Namun, kalau hal yang sama juga mulai menyangkut soal berpikir, masalahnya menjadi lain. Banyak perubahan besar yang positif di dunia ini justru karena ada individu-individu yang berani berpikiran lain. Kalangan pemerintah dan militer memang harus punya pola pikir yang seragam karena sifat hierarki mereka yang berbentuk kerucut. Namun hal yang sama tidak serta-merta harus merambat ke kalangan cendekiawan, ilmuwan, wartawan, apalagi seniman.

Kritik bisa dilihat sebagai pendapat yang lain itu. Kalau mau aman, ya, jadilah pohon jati di hutan jati. Jadilah batang singkong di ladang singkong, dan jadilah rumpun padi di sawah. Jangan menjadi gulma di antara tanaman padi. Pasti dicabut dan disuruh minggir. Individu yang kuat memang siap untuk dicap aneh dan dikucilkan lantaran melawan arus masa yang kadang- kadang juga tak kalah anehnya. Sebuah kritik yang baik lazimnya memang tidak enak didengar. Tidak enak dibaca, tapi perlu. 

Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Trubus, juga seorang sastrawan

sumber : tempointeraktif.com

Comments

Popular Posts