Jalan Soekarno di Mesir
Jalan Soekarno di Mesir: MENARA BABYLONE PUN RUNTUH
oleh JJ. Kusni
Foto Jalan Soekarno di Mesir ini kuanggap foto penting dan mempunyai arti sejarah. Pertama ia memperlihatkan peran Indonesia di masa pemerintahan Soekarno di dunia, terutama di negeri-negeri Asia-Afrika dan Amerika Latin dan dunia; 2. Memperlihatkan hubungan akrab antara Mesir dan Indonesia pada suatu kurun sejarah, terutama pada masa Soekarno dan Abdel Gamal Nasser, presiden Mesir pada waktu itu. Soekarno danNasser sama-sama menjadi tokoh penting dalam gerakan yang kemudian dikenal sebagai Gerakan Non Blok; 3. Jika lebih rinci lagi, maka adanya Jalan Soekarno di Mesir ini memperlihatkan peran Konfrensi Bandung atau Konfrensi Asia-Afrika [Konfrensi AA]tahun 50-an. Setelah Konfrensi AA yang mempunyai arti sejarah ini, muncul gerakan pengarang Asia-Afrika dengan Konfrensi Pengarang Asia-Afrika, Konfrensi Wartawan Asia-Afrika dan Ganefo [Game of the New Emerging Forces] dengan Stadion Senayan sebagai salah satu peninggalannya.
Betapa pun sederhananya Jalan Soekarno di Mesir itu, dengan latar belakang demikian, jalan tersebut merupakan sebuah jalan bersejarah sehingga kita pantas berterimakasih kepada yang mengambil foto jalan tersebut. Sebuah foto langka atas sebuah jalan yang dilupakan sejalan dengan perkembangan politik di negeri kita. Foto Jalan Soekarno ini adalah sebuah foto sangat berharga, sama berharganya dengan filem tentang Ganefo [yang entah bagaimana nasibnya sekarang. Juga sama berharganya tentang filem "Jayalah Partai Dan Negeri" yang dibuat pada tahun 1945, dan entah di mana dokumen ini sekarang bisa ditemukan].
Memelihara dan menghargai dokumentasi sejarah merupakan salah satu titik kelemahan kita sehingga tidak sedikit dokumen hanya bisa diperoleh di mancanegara, terutama Leiden , Negeri Belanda — perpustakaan terbesar tentang Indonesia. Kelemahan kita dalam menghargai serta merawat dokumentasi ini, nampak bagaimana kita menghancurkan patung-patung, hotel-hotel, taman-taman misalnya yang terjadi di Makassar. Berapa orang yang tahu misalnya tentang Taman Vagina di Makassar? Masih mendingan rumah penarung Karaeng Galesong masih terurus dan sudah diabadikan dalam foto oleh Daeng Kammarudin Azis. Melalui penghancuran monumen-monumen bersejarah ini, aku melihat tingkat kesadaran sejarah dan pemahaman makna dokumentasi kita sekali pun dibaluti oleh nasionalisme — jenis nasionalisme yang perlu dipertanyakan ketepatan pemahamannya. Penghancuran sejarah dan dokumentasi seperi halnya pemutarbalikkan sejarah, bisa menjadikan angkatan berikutnya sebagai angkatan tanpa sejarah, jika menggunakan ungkapan orang Prancis. Padahal masa lalu, hari ini dan esok tidak terpisahkan bagi perkembangan dan pengembangan suatu nasion dan negeri yang berwacana. Tekhnologi , tingkat penguasaan tekhnologi pun tidak lepas dari wacana — masalah yang pernah jadi debat sengit di Kalimantan Tengah ketika aku bekerja sebagai guru kecil di propinsi muda tersebut.
Adanya Jalan Soekarno di Mesir, mengingatkan aku akan pengalaman seorang mahasiswa Indonesia yang sedang mengambil program S2 arsitektur di Sorbonne Paris.
Waktu itu, aku bekerja pada sebuah LSM internasional terbesar di Prancis dan bertugas mengurus masalah Indonesia sebagai salah satu seksi dari Departmen Asia-Pasifik lembaga tersebut. Aku menganggap penting masalah pembinaan sumber daya manusia berkesadaran dan berketrampilan tinggi guna esok bangsa dan negeri. Untuk itu aku memasukkan program beasiswa untuk tingkat S2 dan S3. Setelah berkonsultasi dengan beberapa teman di lapangan, maka kami akhirnya memutuskan untuk mengirim seorang teman muda, sebagai percobaan, dengan tuntutan tinggi, guna melanjutkan studi di Paris. Karena di Mesir ada seorang arsitek unik yang menghargai arsitektur rakyat dan merakyat, maka ia kami kirim ke Mesir selama setahun untuk mempelajari pengalaman arsitek Mesir tersebut.
Ketika berjalan di Kairo, teman mahasiswa ini kemudian singgah makan di sebuah restoran kecil. Sebagaimana biasa pemilik restoran berbincang-bincang denga pelanggannya. Dari perbincangan ini maka pemilik restoran mengetahui bahwa pelanggannya itu berasal dari Indonesia. Sampailah saatnya mahasiwa Indonesia itu akan membayar harga makanannya.Sang mahasiswa menjadi sangat tercengang oleh jawaban pemilik restoran:
“Anda tak perlu bayar”.
“Apa? Tidak usah bayar”
Pemilik restoran menegaskan: “YA, Anda tidak usah bayar”.
“Mengapa?” mahasiswa kita bertanya dengan rasa tak habis keheranan.
“Anda kan dari Indonesia?”
“Benar. Lalu? Apa hubungannya Indonesia dengan bahwa saya tak usah membayar makanan saya?” .
“Bagi saya Indonesia adalah Indonesianya Soekarno. Saya pengagum Soekarno dan Nasser. Naser dan Soekarno adalah sahabat seperjuangan. Bisa dihitung dengan jari orang Indonesia makan di restoran saya. Untuk menghormati Soekarno maka Anda saya bebaskan dari pembayaran”, jelas pemilik restoran dengan bangga dan entah dengan bayangan dan kenangan apa lagi saat ia melihat masa silam yang pasti ada di pikirannya. Hanya ia yang tahu. Sedangkan mahasiswa kita hanya bisa mengucapkan terimakasih serta merenung.
Merenungi periode sejarah Indonesia masa Soekarno yang pernah dihujatnya sebagai dampak dari pendidikan sejarah dan pengetahuan tanggung tentang sejarah yang ia miliki tapi ia lahap sebagai kebenaran tanpa dicerna. Ini adalah pengakuannya kepadaku yang turut mengirimkannya ke Kairo. Jalan Soekarno yang masih ada sekarang di Mesir, sekarang membuatku bertanya-tanya pada diri: Apa gerangan hakekat “Jalan Soekarno”? Adakah Jalan Soekarno sebagai salah satu jalan menjadi republiken dan Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul seketika berbarengan dengan kejadian yang dialami oleh Soeharto ketika berkunjung di Filipina di mana ia disambut oleh para pengunjuk rasa dengan spanduk: “Soeharto bukan Indonesia” atau di Conakry di mana wartawan-wartawan Conakry yang meliput Konfrensi Non-Alligne Countries berucap sambil menari-nari: “Indonesia, American puppet”. Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian di manca negara yang mengejek Indonesia Soeharto, termasuk di Perancis di mana Soeharto hanya disambut di bandara Orly hanya oleh Menteri Luar Negeri — yang secara protokoler kenegaraan sangat melecehkan. Merasa adanya hinaan ini maka Soeharto memperpendek kunjungannya di Perancis dan cepat-cepat kembali ke Indoesia. Demikian penjelasan penterjemah resmi kepadaku ketika berbincang-bincang tentang kunjungan Soeharto di Perancis seusai pertemuan Conakry.
Ketika berjalan di Kairo, teman mahasiswa ini kemudian singgah makan di sebuah restoran kecil. Sebagaimana biasa pemilik restoran berbincang-bincang denga pelanggannya. Dari perbincangan ini maka pemilik restoran mengetahui bahwa pelanggannya itu berasal dari Indonesia. Sampailah saatnya mahasiwa Indonesia itu akan membayar harga makanannya.Sang mahasiswa menjadi sangat tercengang oleh jawaban pemilik restoran:
“Anda tak perlu bayar”.
“Apa? Tidak usah bayar”
Pemilik restoran menegaskan: “YA, Anda tidak usah bayar”.
“Mengapa?” mahasiswa kita bertanya dengan rasa tak habis keheranan.
“Anda kan dari Indonesia?”
“Benar. Lalu? Apa hubungannya Indonesia dengan bahwa saya tak usah membayar makanan saya?” .
“Bagi saya Indonesia adalah Indonesianya Soekarno. Saya pengagum Soekarno dan Nasser. Naser dan Soekarno adalah sahabat seperjuangan. Bisa dihitung dengan jari orang Indonesia makan di restoran saya. Untuk menghormati Soekarno maka Anda saya bebaskan dari pembayaran”, jelas pemilik restoran dengan bangga dan entah dengan bayangan dan kenangan apa lagi saat ia melihat masa silam yang pasti ada di pikirannya. Hanya ia yang tahu. Sedangkan mahasiswa kita hanya bisa mengucapkan terimakasih serta merenung.
Merenungi periode sejarah Indonesia masa Soekarno yang pernah dihujatnya sebagai dampak dari pendidikan sejarah dan pengetahuan tanggung tentang sejarah yang ia miliki tapi ia lahap sebagai kebenaran tanpa dicerna. Ini adalah pengakuannya kepadaku yang turut mengirimkannya ke Kairo. Jalan Soekarno yang masih ada sekarang di Mesir, sekarang membuatku bertanya-tanya pada diri: Apa gerangan hakekat “Jalan Soekarno”? Adakah Jalan Soekarno sebagai salah satu jalan menjadi republiken dan Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul seketika berbarengan dengan kejadian yang dialami oleh Soeharto ketika berkunjung di Filipina di mana ia disambut oleh para pengunjuk rasa dengan spanduk: “Soeharto bukan Indonesia” atau di Conakry di mana wartawan-wartawan Conakry yang meliput Konfrensi Non-Alligne Countries berucap sambil menari-nari: “Indonesia, American puppet”. Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian di manca negara yang mengejek Indonesia Soeharto, termasuk di Perancis di mana Soeharto hanya disambut di bandara Orly hanya oleh Menteri Luar Negeri — yang secara protokoler kenegaraan sangat melecehkan. Merasa adanya hinaan ini maka Soeharto memperpendek kunjungannya di Perancis dan cepat-cepat kembali ke Indoesia. Demikian penjelasan penterjemah resmi kepadaku ketika berbincang-bincang tentang kunjungan Soeharto di Perancis seusai pertemuan Conakry.
Kisah-kisah singkat di atas memperlihatkan bahwa Soekarno dan Soeharto memperagakan dua wajah Indonesia, baik di dalam dan di luar negeri. “Sekali-kali jangan melupakan sejarah”, pesan Soekarno dalam “Jasmerah”nya. Karena itu foto Jalan Soekarno yang disiarkan oleh milis panyingkul merupakan dokumen berharga bagi anak negeri dan bangsa bernama Indonesia. Eksistensi bangsa dan negeri ini , barangkali juga ditentukan oleh jalan apa yang ditempuh dan dipilih oleh penyelenggara negara. Kalian besar kelak, anak-anakku, akan Indonesia masih ada jika penyelenggara negara salah memilih jalan? Tapi ia pernah ada dan disegani dunia. Tak usah menangis jika kemudian lenyap dari peta bumi. Menara Babylone pun runtuh. Betapa pun, apa pun yang terjadi, aku masih percaya bahwa “masih ada hari esok” walau pun mungkin sekarang kita tak obah dari bangsa koeli di antara koeli dengan sekian banyak TKI/TKW yang dihina-hina, ujud dari ketidakmampuan kita mengelola bangsa.***
Perjalanan Pulang, Oktober 2008
——————————————–
JJ. Kusni
sumber : Jurnal Toddopuli
Comments