Seks di Masa Kolonial

Koloni Tanpa Perempuan
Demi membangun masyarakat mestizo, penguasa VOC mengurusi dan mencampuri urusan perkawinan dan seksualitas warga di koloninya.

GUBERNUR Jenderal Jan Pieterszoon Coen punya gagasan untuk mengisi kota Batavia. Kepada dewan pengurus di Amsterdam, Coen meminta kiriman anak-anak gadis dan mengusulkan agar banyak keluarga Belanda dari kalangan baik-baik bermigrasi ke Batavia, agar semua sifat-sifat baik keluarga Belanda dan kaum perempuan Belanda seperti kesopanan, kebersihan, dan kesalehan bisa ditanamkan di sini.

“Siapa yang tidak tahu, bahwa manusia tak bisa hidup tanpa perempuan,” ujarnya, sebagaimana ditulis Leonard Blusse dalam Persekutuan Aneh.

Sejak awal VOC tak berminat membangun sebuah koloni. VOC tak merekrut pegawai perempuan; melarang keberadaan mereka di atas-atas kapal. Pergundikan, juga pelacuran, pun menjadi fenomena umum di Batavia. Para pegawai senior VOC mengambil perempuan setempat atau budak sebagai gundik untuk melayani kebutuhan seksual mereka. Pegawai berpangkat rendah melakukannya karena tak bisa menikah tanpa persetujuan atasan, selain ada larangan menikah dengan perempuan non-Kristen.

Sebagai penganut Calvinis yang taat, bahkan cenderung fanatik, Coen membenci dan hendak menghapus pergundikan, yang menurutnya membahayakan kepentingan kolonial. Dia mengeluarkan larangan memelihara seorang gundik atau lebih dan larangan hubungan seksual perempuan Eropa dengan “orang-orang kafir atau Muslim”.

Pada 1622, sesuai permintaan Coen, tibalah untuk kali pertama para perempuan Belanda, yang berasal dari rumah-rumah yatim piatu. Tapi, menurut Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, politik pengantin perempuan kulit putih ini menimbulkan protes di Belanda maupun koloninya. Mereka khawatir perkawinan itu akan menciptakan trekker, yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kembali ke tanah air dengan istri dan anak mereka begitu mengumpulkan uang.
selanjutnya di majalah-historia.com


Nyai dalam Kekuasaan Patriarki
Nyai adalah mitra dagang. Tapi dalam sejarah kolonial, nyai adalah kelas terpinggirkan

“HAMPIR setiap keluarga di Indies memiliki seorang nyai pada generasi sebelumnya, seorang nenek moyang pribumi,” tulis Reggie Baay di bagian akhir bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. “Tapi masih ada beberapa orang yang tetap diam, seolah-olah kehadirannya memalukan.”

Putri Laurentien, istri Pangeran Constatijn –putra bungsu Ratu Beatrix yang kini memerintah Belanda, tak terkecuali. Darah Indo mengalir dari kakek buyutnya, Peter Schön, seorang kapten kapal, yang hidup dengan seorang nyai bernama Mankam, perempuan pribumi asal Bali. Menurut wartawan Theo Haerkens dalam artikel berjudul “Laurentien Staat Symbol voor Emancipatie Indo”, dimuat di situs http://gpdhome.typepad.com/boeken_royalblognl, status sebagai seorang nyai-lah yang membuat Mankam terbunuh pada 1830.

Nyai memiliki citra negatif, yang terutama dilanggengkan oleh karya sastra dan pandangan penguasa koloni atau kolonial masa itu. Padahal kebiasaan seorang lelaki asing mengambil perempuan pribumi bukan hal baru; ia sudah ada sebelum zaman prakolonial.

Dalam Being Dutch in The Indies Ulbe Bosma dan Remco Raben mencatat bahwa praktik itu tak bisa dilepaskan dari komunitas pedagang di kota-kota dagang besar di Asia seperti Malaka dan Ayyuthaya. Di Ayyuthaya, sejak abad ke-17, muncul permukiman pendatang sesuai daerah asal mereka: Gujarat, Coromandel, Pegu, Malaka, Jawa, China, Jepang, Portugis, Prancis, dan Belanda. Raja Thailand saat itu membiarkan mereka menerapkan aturan dan hukum mereka di wilayah masing-masing. Terciptalah sistem pemisahan yang oleh Bosma dan Raben disebut legal pluralism.

Lazim bagi para pedagang mengambil perempuan lokal sebagai mitra atau teman hidup. Ikatan ini biasanya bersifat sementara; hanya bertahan selama si lelaki tinggal di sana. Tapi, selain memperkenalkan kebiasaan lokal kepada pasangan, para perempuan itu punya peran vital dalam proses perdagangan –biasanya bertindak sebagai perantara. Banyak dari mereka juga pedagang. Di masa awal Asia modern, keturunan mereka seringkali memegang posisi penting di kota-kota itu.

Inilah yang membedakannya dari VOC, dan kemudian pemerintah kolonial Belanda, yang secara perlahan menurunkan status “nyai” dan anak-anaknya. Penguasa menggunakan nyai atau pergundikan untuk memenuhi kebutuhan pemerintah kolonial itu sendiri, tulis Ann Stoler dalam “Carnal Knowledge and Imperial Power”, yang masuk antologi The Gender/ Sexuality Reader: Culture, History, Political Economy karya Roger N. Lancaster dan Micaela di Leonardo.

Meski tak terang-terangan, hidup tanpa ikatan dengan seorang perempuan pribumi dianjurkan. Buku panduan bagi para calon pegawai perkebunan yang akan dikirim ke Tonkin, Sumatra, dan Malaya mendorong para lelaki segera mencari seorang “pelayan sekaligus teman tidur” sebagai cara tercepat untuk beradaptasi. Hidup bersama seorang nyai akan mengajarkan adat, kebiasaan, dan bahasa setempat. Ini terutama terjadi ketika budidaya tanaman ekspor meledak pada 1870.
selanjutnya di majalah-historia.

Comments

Popular Posts